Mohon tunggu...
Farchan Noor Rachman
Farchan Noor Rachman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, Backpacker, Punker, Penikmat Musik, Pembaca Buku, Pemain Futsal, Penulis, Pemain Game, Penggila Film dan Pendukung Manchester United.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sekerat Senja Pagatan

29 Juni 2014   19:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:17 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja mungkin adalah momen yang paling diburu para pendamba perjalanan. Senja adalah eskapisme yang dinanti. Banyak orang berlomba-lomba menjari senja merah, senja yang meriah merona, senja yang membuat sosok-sosok pejalan sampai tak bernafas saat menikmatinya.

Mungkin senja bisa dipadankan kemewahan duniawi, walaupun senja sebenarnya bisa saja dinikmati cuma-cuma. Tapi memang adalah kemewahan tersendiri untuk menikmati senja yang sempurna, senja yang orang bilang adalah senja yang takkan terlupa, senja dengan lidah merah menyala-nyala.

Padahal perihal senja Seno Gumira Ajidarma pernah bicara. Begini katanya “Setiap hari ada senja, tapi tidak setiap senja adalah senja keemasan, dan setiap senja keemasan itu tidaklah selalu sama”. Ya, dia benar. Ada banyak bentuk senja. Tiap hari bisa saja berbeda, bisa sempurna, bisa biasa saja.

Tapi soal menikmati senja adalah soal menikmati hati. Dus, ada cara lain menikmati senja. Yaitu menikmati senja dengan kesederhanaannya, bukan senja megah dengan segala kesempurnaannya.

Menikmati senja yang sederhana, tak mendamba senja bulat sempurna atau langit merah merona, tapi menikmati senja sekedar menatap matahari tergelincir detik demi detik, menikmati momen senja itu sendiri.

Saya bertemu dengan senja biasa saja itu di Pagatan, seruas pantai di Kalimantan Selatan. Senja ini menemani para pelintas jalan ruas Banjarmasin – Batulicin.

Dan jika ditengok lebih dekat sebenarnya tidak ada yang istimewa dari senja di Pagatan. Tidak ada eksotisme macam senja merekah merah dan menggelora. Semua biasa-biasa saja.

Senja ini selintas lalu. Terkadang orang tidak peduli. Hanya ada pantai segaris dengan penahan ombak, pasirnya pun hitam dan airnya tak terlalu jernih. Tapi bagaimanapun senja adalah pelepas dari rasa penat yang melanda.

Para pelintas terkadang berhenti di Pagatan. Menikmati debur pantai Laut Jawa. Maka lantas di Pagatan muncul ragam penjual untuk mereka yang berhenti di Pagatan. Senja datang, uang datang.

Para pelintas memang maklum jika berhenti di Pagatan. Lintas Kalimantan Selatan yang jaraknya jauh dan butuh tenaga ekstra untuk dilintasi, di Pagatan-lah mereka beristirahat sejenak. Menikmati nyanyi ombak pelepas lelah.

Menikmati senja di Pagatan artinya menikmati debur angin ditambah dengan segar kelapa muda yang dijajakan di tepi jalan. Atau bisa juga sekerat jagung bakar manis yang aromanya menggugah selera. Lantas menjemput angin di tepi pantai.

Pagatan tak hanya milik para pelintas, para pasangan yang dimabuk asmara pun menepi. Mereka dengan sedikit malu-malu saling berpegangan tangan, menikmati surup mentari, seolah nikmatnya senja hanya tercipta untuk mereka saja.

Tapi senja semacam ini pun tetap bisa dinikmati. Bukan dinikmati kemegahannya, tapi justru dinikmati kesahajaannya. Senja yang tercipta untuk melepas lelah. Senja yang sederhana, bisa dinikmati sambil lalu begitu saja.

Keindahan itu tergantung bagaimana persepsi. Sayang keindahan terlalu dibentuk dengan laut yang biru, matahari tenggelam dengan lidah merah yang menyala-nyala, ombak yang berdebur gahar. Padahal nilai keindahan itu tidak ternilai, bisa dinikmati dalam bentuk apapun, keindahan adalah soal rasa, bukan soal ejawantah dari indera.

Dari lalu-lalang kendaran di Pagatan ada keindahan yang terselip dan kadang terlewat. Keindahan yang sungguh sederhana. Keindahan yang murah tapi mewah. Keindahan yang tidak membuat sampai dada membuncah atau tarikan nafas yang harus tertahan karena rasa kagum.

Keindahan senja di Pagatan ini sederhana saja. Dengan kopi di tangan kanan, saya menikmati senja indah yang membasuh rasa lelah. Keindahan atas rasa syukur kaki ini masih tetap menapak di tanah.

Tabik

Simak catatan lain di blog pribadi saya di Efenerr.com

NB : Kutipan senja Seno Gumira Ajidarma tadi dari dikutip dari Trilogi “Jazz, Parfum dan Insiden”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun