PULANG
Duduk santai sembari menyeruput teh, memang kegemaran Kakek. Di bangku pekarangan rumah, berpayung pohon tanjung. Kali ini meski mendung sudah menggelayuti awan, Kakek masih duduk menanti kepulangan Nenek dari pengajian.
Nenek terkadang cemburu melihat Kakek. Sekali waktu dia berseloroh,
"Memangnya Nenek sudah kalah wangi sama pohon? Kok ya Kakek senang lama-lama di situ?". Meski begitu, bunga pohon tanjung yang gugur masih menjadi favorit Nenek untuk mengusir tengik perabotan kayu lapuk di dalam rumah.
 "Apa lagi yang tersisa dari rumah jompo dan sepasang sepuh di sini? Cuma kerinduan ditinggal anak merantau. Tapi merawatmu dan melihatmu bertumbuh sudah cukup membayar. Karena kamu tak akan beranjak kemana-mana. Di sini membersamai kami menghabiskan hari tua." gumam Kakek menepuk-nepuk batang pohon tanjung, masih menunggu Nenek pulang pengajian.
Hujan deras akhirnya mendahului kepulangan Nenek kali ini. Si pohon tanjungpun tak lagi cukup teduh memayungi Kakek. Juga tak lagi cukup kekar menahan sambaran petir. Seiras dengan si empunya, yang juga tak lagi cukup kuat menopang dahan tanjung yang patah menimpanya. Kakek terjerembab ke tanah basah.
"Salahkah aku yang selama ini tak pernah benar-benar meyukai pohon itu" gumam Nenek di penghujung sesi pemakaman Kakek esoknya.
Tamat
Cerita mini ini telah dibukukan dalam antologi "Aksara" terbitan @puspamalapustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H