Ibnu Wijaya, SST, M.Int.Tax, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi Perjanjian dan Kerja Sama Perpajakan Internasional lll Direktorat Perpajakan Internasional, DJP, menjadi salah satu pembicara dalam acara TAXFES yang diselenggarakan oleh Universitas Padjadjaran.Â
Dalam kesempatan tersebut beliau membahas terkait penghindaran pajak oleh Perusahaan multinasional, tantangan yang dihadapi negara-negara berkembang seperti Indonesia, serta berbagai upaya global untuk mengatasinya.
Fenomena penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional menjadi isu global yang mendesak. Perusahaan besar seperti Google, Amazon, dan Uber, meskipun meraup keuntungan besar, sering kali membayar pajak dengan jumlah yang sangat sedikit. Dari hal tersebut memicu pertanyaan jika perusahaan-perusahaan kaya ini menghindari pajak, mengapa kita sebagai orang biasa harus mematuhi membayar pajak? Hal tersebut yang menjadi perhatian.
Perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan skema kompleks seperti Double Irish Dutch Sandwich, memanfaatkan perbedaan peraturan pajak internasional untuk meminimalkan pembayaran pajak. Kondisi ini diperparah dengan digitalisasi ekonomi yang memungkinkan perusahaan beroperasi lintas negara tanpa kehadiran fisik, sehingga lolos dari kewajiban pajak di banyak yurisdiksi.
Dampak Skema Penghindaran Pajak
Skema seperti Double Irish Dutch Sandwich memanfaatkan celah dalam hukum domestik dan perjanjian pajak bilateral (P3B). Perusahaan multinasional mendirikan entitas di negara-negara seperti Irlandia dan Bermuda, yang memiliki kebijakan pajak yang menguntungkan. Skema ini menyebabkan negara-negara berkembang kehilangan potensi pendapatan pajak yang signifikan. Contohnya, Indonesia sering tidak bisa memajaki keuntungan dari sumber daya alam yang dijual melalui holding company luar negeri.
Usaha Global Mengatasi Masalah
Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang diluncurkan oleh G20 dan OECD bertujuan untuk mengatasi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, yang sering kali memanfaatkan celah-celah dalam peraturan pajak internasional untuk mengurangi kewajiban pajaknya. BEPS mencakup 15 rencana aksi yang berfokus pada upaya untuk mengurangi pengalihan laba yang tidak wajar ke negara-negara dengan pajak rendah atau tanpa pajak (tax havens) serta erosi basis pajak di negara tempat perusahaan sebenarnya beroperasi. Salah satu inovasi penting yang diperkenalkan oleh BEPS adalah Multilateral Instrument (MLI), yang dirancang untuk mempermudah renegosiasi dan pembaruan perjanjian perpajakan bilateral antara negara-negara. Dengan MLI, negara-negara yang menandatangani perjanjian ini dapat secara bersamaan mengamandemen atau memperbarui banyak P3B yang ada, sesuai dengan rencana aksi BEPS.
Pajak atas Ekonomi Digital
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mengakui bahwa digitalisasi telah memperburuk masalah penghindaran pajak. Ini karena banyak perusahaan digital besar, seperti Google, Facebook, dan Amazon, dapat menjalankan bisnis mereka secara global tanpa memiliki kehadiran fisik (Bentuk Usaha Tetap/BUT) di banyak negara. Dengan demikian, mereka sering kali tidak diwajibkan membayar pajak penghasilan di negara tempat mereka memperoleh pendapatan, termasuk Indonesia. Hal ini terjadi karena pajak penghasilan di banyak negara bergantung pada konsep kehadiran fisik---misalnya, perusahaan harus memiliki kantor atau cabang di negara tersebut agar dikenai pajak penghasilan. Sebagai respons terhadap masalah ini, banyak negara mulai mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penjualan atas Layanan Digital untuk memastikan perusahaan-perusahaan besar ini tetap membayar pajak atas layanan yang mereka sediakan kepada konsumen di negara tersebut. Misalnya, Indonesia mengenakan PPN pada layanan digital seperti Netflix dan YouTube Premium. Dengan cara ini, pemerintah Indonesia dapat mengenakan pajak atas transaksi yang terjadi di negara tersebut, meskipun perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia.
Langkah Unilateral oleh Negara
Beberapa negara telah mengambil langkah unilateral untuk mengenakan pajak atas layanan digital atau withholding tax sebagai respons terhadap penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional, terutama yang bergerak di sektor digital. Pajak ini dikenakan pada perusahaan asing yang memberikan layanan digital di negara tersebut tanpa memiliki kehadiran fisik (Permanent Establishment / PE). Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan digital, seperti Google, Facebook, dan Netflix, yang menghasilkan pendapatan dari negara tersebut, berkontribusi pada pajak di negara sumber pendapatan.
Masalah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Meskipun upaya global seperti BEPS dan MLI telah menunjukkan hasil, tantangan dalam menerapkan kebijakan ini tetap signifikan. Solusi tambahan, seperti mengenakan pajak atas kehadiran ekonomi digital dan memperkuat regulasi domestik, menjadi langkah penting untuk memastikan keadilan fiskal. Hanya dengan cara ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia dapat melindungi hak pajaknya dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Jadi kesimpulanya, Penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional merugikan negara dan menciptakan ketidakadilan. Skema seperti Double Irish Dutch Sandwich menunjukkan bagaimana celah dalam hukum pajak dan perjanjian pajak bilateral dapat dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk menghindari kewajiban pajak di negara tempat mereka beroperasi.Â