Kita semua tahu bahwa otak kita memiliki batasan.
Jika kita belajar sesuatu dari film Inside Out buatan Pixar, salah satunya adalah tentang cara kerja otak kita dalam mengatur dan menyimpan memori. Di film tersebut, beberapa memori disimpan di alam bawah sadar, hampir terlupakan. Ini bukan hanya gambaran fiksi belaka; pada kenyataannya, pikiran kita juga kadang melakukan hal serupa untuk melindungi kita dari emosi yang sulit dihadapi. Di lain waktu, kita secara sengaja mengubur memori tersebut karena bahkan sekilas ingatan itu bisa terasa terlalu berat.
Dalam beberapa tahun terakhir, saya melihat banyak ahli produktivitas yang membicarakan konsep "second brain." Konsep ini mengajarkan kita untuk membuat sistem eksternal untuk menyimpan ide, daftar tugas, dan proyek, sehingga kita bisa "berbagi" beban kognitif dengan menaruhnya di tempat lain. Dengan begitu, pikiran kita lebih bebas untuk fokus pada hal-hal yang membutuhkan perhatian penuh.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya: jika kita bisa menciptakan "second brain" untuk produktivitas, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama untuk kesejahteraan emosional dan refleksi diri?
Langkah Pertama Saya dalam Menulis Jurnal
Terinspirasi oleh ide ini, saya memulai jurnal harian. Tujuannya bukan untuk membuat tulisan yang rapi seperti blog, tetapi untuk menciptakan tempat yang aman dan bebas, di mana saya bisa menuliskan setiap pikiran dan perasaan yang muncul. Di sini, saya bisa jujur, tanpa filter, tanpa topeng. Jurnal ini hanya untuk saya, tempat di mana saya bisa menjadi rentan sepenuhnya.
Awalnya, saya menulis jurnal untuk melepaskan beban perasaan. Menuliskan pikiran saya terasa seperti berteriak di tepi laut—membebaskan dan menyembuhkan. Menulis jurnal menjadi cara yang aman untuk melepaskan hal-hal yang tidak bisa saya bagikan di tempat lain. Tapi seiring waktu, saya menemukan sesuatu yang lebih.
Kekuatan dari Napak Tilas
Ketika saya mulai membaca entri jurnal yang lama, saya mulai melihat pola. Saya menemukan masalah yang pernah saya hadapi beberapa bulan sebelumnya, dan menyadari, "Oh, saya pernah melalui ini sebelumnya." Entri-entri lama tersebut sering kali memberikan sudut pandang baru yang tidak saya lihat saat itu, dan menunjukkan cara saya mengatasi masalah serupa. Rasanya seperti menemukan petunjuk dari pengalaman saya sendiri.
Beberapa entri mengingatkan saya pada saat-saat ketika saya merasa kewalahan, hanya untuk menyadari kemudian bahwa masalahnya tidak sebesar yang saya pikirkan saat itu. Seringkali, saya melihat bahwa saya hanya belum cukup bijak untuk menghadapinya pada saat itu, atau terlalu hanyut dalam emosi untuk mendapatkan perspektif. Tapi dengan berjalannya waktu dan jarak, saya bisa melihat kembali apa yang sudah terjadi dan mengambil pelajaran yang berharga.
Proses refleksi, belajar dari pengalaman yang sudah ada, dan mengenali perkembangan diri membuat menulis jurnal menjadi lebih dari sekadar kebiasaan. Ini menjadi alat untuk membangun arsip emosional saya sendiri—“second brain” untuk kesehatan mental saya.