A. Kaidah-kaidah Hukum
Dalam hukum Islam, judi atau maysir dilarang keras, dan ada beberapa kaidah hukum yang mendasari larangan ini. Berikut adalah kaidah-kaidah hukum terkait judi dalam Islam:
1. Kaidah Larangan Perjudian (Maysir)
Kaidah ini menegaskan bahwa segala bentuk perjudian, baik yang bersifat tradisional maupun modern seperti judi online, dilarang dalam Islam. Larangan ini berlaku tanpa memandang jenis atau nilai taruhannya.
 2. Kaidah Gharar (Ketidakpastian)
 Gharar adalah ketidakpastian atau ketidakjelasan dalam transaksi yang dapat menimbulkan perselisihan atau kerugian bagi salah satu pihak. Judi termasuk dalam kategori gharar karena hasilnya tidak pasti dan didasarkan pada spekulasi murni, yang dapat menyebabkan kerugian besar.
3. Kaidah Dzulm (Kezaliman)
Judi sering kali menyebabkan kerugian yang besar dan mengakibatkan kezaliman bagi individu maupun keluarga. Oleh karena itu, setiap aktivitas yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian harus dicegah dan dihilangkan.
4. Kaidah Maqashid Syariah (Tujuan Syariah)Â
Tujuan utama syariah adalah menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Judi merusak aspek harta, akal, dan jiwa karena dapat menyebabkan kecanduan, kebangkrutan, dan konflik sosial, sehingga bertentangan dengan maqashid syariah.
5. Kaidah Tasarruf Fii Maa Yumlaku (Pengelolaan Harta)
Pengelolaan harta harus dilakukan dengan cara yang menghasilkan manfaat dan tidak mendatangkan kerugian. Judi tidak menghasilkan nilai tambah bagi harta, malah berpotensi menghilangkan harta secara sia-sia.
6. Kaidah 'Urf (Kebiasaan)
Meskipun judi online adalah fenomena modern, kaidah ini menegaskan bahwa segala bentuk kebiasaan atau praktik baru tetap harus dinilai berdasarkan prinsip-prinsip dasar syariah. Karena judi online mengandung unsur maysir dan gharar, maka tetap diharamkan meskipun menjadi kebiasaan di sebagian masyarakat.
7. Kaidah Al-Mushawirun (Persetujuan Pihak)
Setiap transaksi atau aktivitas yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain harus dihindari. Judi sering menyebabkan kerugian finansial bagi pelaku dan dapat menyebabkan masalah bagi keluarga dan masyarakat.
8. Kaidah Nahi 'An al-Batil (Larangan Terhadap Kebatilan)
Mengambil harta orang lain melalui cara yang batil, seperti perjudian, dilarang dalam Islam. Judi online sering kali mengandalkan tipu daya dan manipulasi, sehingga termasuk cara memperoleh harta yang batil.
9. Kaidah Sadd adz-Dzara'i (Menutup Celah)
Aktivitas yang dapat menjadi pintu masuk ke perbuatan dosa atau maksiat harus dicegah. Judi online tidak hanya menyebabkan kerugian finansial tetapi juga bisa mendorong pelaku ke tindakan kriminal lainnya, seperti penipuan atau pencurian untuk menutupi kerugian.
Kaidah-kaidah ini digunakan oleh para ulama dan ahli hukum Islam untuk menentukan fatwa dan aturan terkait larangan judi, termasuk judi online, agar sesuai dengan prinsip-prinsip dasar syariah dan menjaga kemaslahatan umat.
B. Norma-norma Hukum
Norma hukum terkait judi online dalam konteks hukum nasional Indonesia dan hukum Islam dapat dibagi menjadi dua aspek utama, yaitu norma hukum positif (hukum negara) dan norma hukum syariah (hukum Islam).
1. Norma Hukum Positif (Hukum Negara)
Dalam hukum nasional, judi termasuk judi online, diatur dan dilarang oleh beberapa undang-undang dan peraturan sebagai berikut:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 303 dan 303 bis
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat 2
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
2. Norma Hukum Syariah (Hukum Islam)
Dalam Islam, norma hukum tentang judi (maysir) bersumber dari Al-Qur'an, Hadis, dan kaidah fikih:
a. Larangan dalam Al-Qur'an
 - QS. Al-Baqarah (2): 219: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya..."
 - QS. Al-Maidah (5): 90: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan."
b. Larangan dalam Hadis
- Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang bermain dadu, maka seakan-akan dia mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi." (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan kerasnya larangan berjudi dalam Islam, baik bentuk tradisional seperti dadu maupun modern seperti judi online.
c. Kaidah Fikih
Hukum Islam memandang judi sebagai bentuk mencari keuntungan dengan cara yang tidak adil, penuh spekulasi, dan merugikan, sehingga dilarang keras.
3. Norma Sosial dan Moral
Selain norma hukum negara dan syariah, judi juga bertentangan dengan norma sosial dan moral yang berlaku di masyarakat Indonesia, seperti norma kesusilaan dan ketertiban umum serta norma agama
C. Aturan-aturan Hukum
Berikut adalah beberapa aturan hukum yang terkait dengan perjudian, termasuk judi online, di Indonesia:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  - Pasal 303: Mengatur tentang perjudian dan menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menawarkan perjudian, baik sebagai penyelenggara atau pemain, dapat dikenakan pidana penjara dan denda.
  - Pasal 303 bis: Mengatur tentang perbuatan yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain melalui perjudian, yang juga dapat dikenakan sanksi pidana.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian
  - Undang-Undang ini berisi ketentuan tentang pengaturan dan larangan segala bentuk perjudian di Indonesia. Perjudian dianggap bertentangan dengan norma kesusilaan dan membahayakan ketertiban umum.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
  - Pasal 27 Ayat 2: Melarang distribusi dan akses informasi elektronik yang berkaitan dengan perjudian. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan sanksi pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp 1 miliar.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
  - Menetapkan ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, termasuk perlunya memblokir akses ke situs judi online yang melanggar hukum.
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE
  - Menambah ketentuan sanksi bagi pelanggaran yang lebih berat terkait konten ilegal di dunia maya, termasuk judi online.
6. Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo)
  - Menetapkan kebijakan pemblokiran situs-situs judi online. Dalam hal ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika memiliki wewenang untuk memblokir akses ke situs-situs yang terindikasi melakukan perjudian.
7. Regulasi Lain yang Terkait
  - Peraturan Daerah: Beberapa daerah di Indonesia memiliki peraturan daerah yang lebih spesifik terkait perjudian dan perjudian online, mengingat dinamika dan kebutuhan lokal.
8. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
  - MUI mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa perjudian, termasuk judi online, adalah haram menurut syariat Islam. Fatwa ini menjadi rujukan bagi umat Islam dalam memahami hukum perjudian.
9. Norma Sosial dan Kebijakan Preventif
  - Masyarakat dan organisasi non-pemerintah seringkali terlibat dalam kampanye kesadaran untuk mencegah perjudian, mengedukasi tentang risiko dan dampak negatifnya.
D. Pandangan Aliran Positivisme Hukum dan Sociological Jurisprudence dalam Menganalisis KasusÂ
Pandangan aliran positivisme hukum dan sociological jurisprudence memberikan dua perspektif berbeda dalam menganalisis kasus perjudian online, termasuk masalah hukum, sosial, dan moral yang terkait.Â
Positivisme hukum berfokus pada hukum yang tertulis dan aturan-aturan yang ada, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau etika yang mendasarinya. Dalam konteks perjudian online, aturan-aturan hukum seperti KUHP, UU ITE, dan Undang-Undang tentang Penertiban Perjudian menjadi dasar analis. Jadi, dalam kasus judi online, setiap tindakan yang melanggar undang-undang tersebut harus dikenakan sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.Â
Analisis kasus perjudian online akan lebih berfokus pada pelanggaran hukum yang dilakukan, seperti tindakan penyelenggaraan perjudian, promosi judi online, atau partisipasi dalam perjudian tersebut, serta akibat hukum bagi pelanggar.Â
Positivisme menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas. Ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus bertindak untuk menindak praktik perjudian online berdasarkan hukum yang berlaku, meskipun ada kemungkinan adanya protes sosial atau moral dari masyarakat.Â
Sedangkan Sociological Jurisprudence, lebih menekankan hubungan antara hukum dan masyarakat, dan bagaimana hukum dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya.Â
Dalam kasus judi online, analisis akan mencakup bagaimana faktor sosial, seperti kemiskinan, pendidikan, dan pengaruh budaya, mempengaruhi perilaku perjudian di masyarakat.Â
Dampak perjudian online terhadap individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Ini mencakup masalah kesehatan mental, kecanduan, dan konflik sosial yang timbul akibat judi.Â
Sociological jurisprudence juga akan mengamati bagaimana masyarakat berperan dalam mendukung atau menolak hukum terkait perjudian. Ini bisa mencakup kampanye anti-judi, organisasi yang membantu pemulihan kecanduan, dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan.
Kesimpulannya kedua aliran ini memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap masalah perjudian online, di mana positivisme menekankan kepastian hukum dan sanksi, sedangkan jurisprudensi sosiologis mengedepankan konteks sosial dan kebutuhan masyarakat. Kombinasi dari kedua pendekatan ini dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang tantangan dan solusi terkait masalah perjudian online di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H