Mohon tunggu...
Farah Nabila
Farah Nabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Satu dari sekian banyaknya Farah Nabila di Indonesia. Mahasiswa Gizi di Universitas Airlangga.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Apakah Kebijakan Cukai Minuman Berpemanis itu Efektif? Pembahasan dan Solusinya

22 Desember 2024   13:08 Diperbarui: 22 Desember 2024   19:21 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deretan minuman berpemanis. Foto oleh Shutterstock.

Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBK) terus meningkat di Indonesia. Indonesia menjadi negara peringkat ketiga dengan konsumsi MBDK terbanyak di Asia Tenggara pada 2020. Minuman berpemanis diketahui berkontribusi pada berbagai masalah kesehatan seperti obesitas, diabetes, dan penyakit tidak menular (PTM) lainnya. Menurut penelitian Wahyu Sulistiadi dkk (2023), prevalensi anak-anak Indonesia usia 5--17 yang kelebihan berat badan (overweight) berada di antara 5,5% sampai 27,5%. Sebagian wilayah di Sumatra dan Papua memiliki kasus overweight dan obesitas yang lebih banyak dibandingkan wilayah lain.

Kelebihan berat badan adalah kondisi saat Indeks Massa Tubuh (IMT) mencapai nilai 25.0--29.9. Obesitas adalah kondisi saat IMT berada di angka 30.0 atau lebih. Dengan kata lain, obesitas adalah kondisi kelebihan berat badan yang sudah parah. Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah gaya hidup dan pola makan tidak sehat pada anak, khususnya banyak mengkonsumsi Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK).

Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) adalah minuman ringan yang ditambahkan pemanis berkalori sebagai salah satu bahan atau kandungannya. Minuman berpemanis terkenal di kalangan anak-anak karena rasanya yang manis. Beberapa minuman berpemanis disajikan dengan warna yang mencolok untuk menarik perhatian, contohnya minuman soda, teh, kopi, dan minuman berperisa buah dengan gula tambahan, minuman energi, dan sebagainya.

Konsumsi gula per hari untuk setiap usia berbeda. American Heart Association (AHA) menyarankan anak-anak usia 2--18 tahun untuk mengonsumsi kurang dari 25 gram gula per hari. Sementara itu, laki-laki dewasa disarankan untuk mengonsumsi kurang dari 36 gram gula/hari, dan 25 gram gula untuk wanita dewasa. Meskipun metabolisme anak-anak lebih cepat dibandingkan metabolisme orang dewasa, anak-anak tetap rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan gula, seperti diabetes dan kadar gula darah tinggi.

Faktanya, anak-anak sangat suka dengan rasa manis. Itulah alasan es krim dan cemilan manis lainnya didominasi oleh konsumen yang muda. Selain itu, ada beberapa faktor lain yang mendorong intensitas minuman berpemanis. Minuman berpemanis tersedia di mana-mana dan diproduksi massal dengan harga yang terjangkau. Perusahaan beverage juga bersaing untuk mengembangkan inovasi-inovasi baru agar mereka tetap bisa memproduksi minuman berpemanis meskipun cukai mulai berjalan, seperti membuat inovasi sugar-free atau less sugar.

Cukai Minuman Berpemanis: Kebijakan yang Belum Efektif

Sebagai upaya mengurangi masalah ini, pemerintah berencana untuk menerapkan kebijakan cukai pada MBDK sebesar 2,5%, meskipun beberapa kali tertunda. Rencananya, kebijakan ini akan mulai berjalan pada 2025. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan harga jual produk sehingga diharapkan mampu mengurangi daya beli masyarakat.

Namun, kebijakan ini belum sepenuhnya efektif. Rendahnya kenaikan harga sehingga tidak cukup memengaruhi kebiasaan konsumen, kurangnya edukasi publik tentang bahaya konsumsi gula berlebih, dan belum adanya pengawasan ketat terhadap penerapan cukai ini. Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) mendorong pemerintah untuk menerapkan cukai MBDK minimal 20% dari harga jual. Diprediksi, tarif sebesar 20% dapat menekan konsumsi minuman berpemanis sebesar 17,5% dan menghemat beban ekonomi hingga Rp40,6 triliun.

Sudah banyak negara di dunia yang menerapkan kebijakan cukai untuk minuman berpemanis. Beberapa negara menerapkan kebijakan cukai pada umumnya, negara-negara lainnya menerapkan cukai bertingkat (two-tired levy). Britania Raya menerapkan dua jenis cukai berdasarkan kadar gula pada minuman. Jika kadar gula melebihi 8 gram/100 ml, maka akan dikenai cukai sebesar 0.24 (sekitar Rp5.000) per liter. Jika kadar gula sekitar 5--8 gram/100 ml, maka akan dikenai cukai sebesar 0.18 (sekitar Rp4.000) per liter. Karena kebijakan cukai Indonesia masih dalam tahap rencana, pemerintah bisa mempertimbangkan tentang jenis cukai yang dipakai. 

Solusi yang Lebih Efektif

Untuk benar-benar menekan tingginya konsumsi minuman berpemanis, diperlukan kebijakan yang lebih holistik. Tidak cukup hanya dengan menerapkan kebijakan cukai minuman berpemanis, pemerintah juga bisa menerapkan sistem pelabelan gula seperti yang dilakukan Singapura. Nutri-Grade adalah pintasan milik Singapura untuk mengkategorikan minuman berpemanis berdasarkan kadar gula dan lemak jenuh per 100 ml dengan label A, B, C, atau D. Kelompok A mengandung gula dengan jumlah yang sangat sedikit, yaitu kurang dari 1g/100 ml; sementara kelompok D mengandung gula sebesar 10g/100 ml. Kemudian, pada Desember 2023, kebijakan ini merambat ke minuman siap saji.

Usaha preventif lainnya adalah pemerintah perlu mengedukasi masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja, tentang bahaya konsumsi gula berlebihan melalui kampanye di sekolah, media sosial, dan iklan layanan masyarakat.  Promosi Gaya Hidup Sehat juga harus digencarkan. Pemerintah dan pelaku usaha dapat mendorong masyarakat untuk memilih minuman yang lebih sehat, seperti air mineral, susu rendah gula, atau jus alami, melalui program promosi.

Pemerintah juga harus membatasi periklanan dan promosi minuman berpermanis. Banyak iklan minuman di TV yang ditampilkan dengan gaya kekinian yang dikhususkan untuk audiens muda. Dikutip dari CNN Health, Singapura melarang promosi minuman berpemanis dalam media apapun, mulai dari media cetak, broadcast, dan online sejak 2019. Selain itu, Indonesia juga bisa mendorong promosi minuman sehat untuk menggantikan minuman berpemanis , diantaranya dengan cara memberikan subsidi atau insentif bagi produsen minuman sehat agar dapat membantu menciptakan pilihan yang lebih terjangkau dan menarik bagi masyarakat.

Kesimpulan

Tingginya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan adalah masalah yang tidak bisa diabaikan. Perlu perhatian serius untuk mengatasi dampak kesehatannya, terutama pada anak-anak. Meski cukai menjadi salah satu cara untuk menekan konsumsi, kebijakan ini perlu didukung oleh langkah-langkah lain yang lebih komprehensif. Sebagai kebijakan yang masih dalam rencana, ada baiknya pemerintah mengkaji kembali kebijakan tersebut dan mempertimbangkan rekomendasi dari pihak-pihak lain. 

Dengan belajar dari negara lain, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengurangi risiko kesehatan akibat konsumsi gula berlebih dan mendorong pola hidup sehat di masyarakat. Dengan pendekatan yang tepat, bukan hanya kesehatan masyarakat yang akan meningkat, tetapi juga beban sistem kesehatan nasional akibat penyakit terkait gula dapat berkurang secara signifikan. 

Ditulis oleh Mahasiswa Gizi Universitas Airlangga,

Farah Nabila T.S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun