Kami saling berpelukkan, melepas rindu. Kami hampir sudah dua tahun tidak bertemu, bahkan berkomunikasi. Fionna mendapat beasiswa di Australia dan sangat fokus dengan kuliahnya. "Apakabar? Gue kangen banget sama lu" Fionna memelukku semakin erat. "Lu yang sibuk sendiri!" sambil tertawa kecil. "Kesini sendiri?" Fionna bertanya sambil melepaskan pelukkannya.Â
"Iya nih, lagi jenuh di rumah" sambil menggaruk kepala yang tak gatal. "Jenuh apa galau nih?" seraya menggodaku "Yaudah kita makan siang bareng yuk! Udah lama ga cerita -- cerita. Kangen gue" ajak Fionna dengan sangat antusias. Aku mengiyakan ajakan Fionna.
Kami bercerita panjang lebar, tentang kuliah S2 Fionna, pekerjaan aku, hingga saling menanyakan kabar keluarga kami. Entah mengapa kami jadi membicarakan tentang Adrian. Mulai dari prestasi dan tingkah bodohnya di SMA. Fionna kebetulan satu SMA dengan Adrian dan aku berbeda SMA.Â
Aku menjadi tahu penyakit Adrian yang dia alami, entah sekarang masih mengidap atau tidak karena aku benar -- benar tidak tahu soal penyakitnya itu. Penyakitnya serius, aku sangat khawatir.Â
Namun bagaimana aku tidak tahu soal penyakitnya? Dari semua obrolan dengan Fionna ku mendapatkan banyak hal yang tidak aku ketahui sebelumnya dan jawaban dari keresahan hatiku. Namun hatiku menjadi parau. Seperti kupu -- kupu yang sudah ku pelihara dengan baik dalam hati, seketika terbang. Gelap, pikiranku buram. Membawa pulang mendung dan gusaran ombak dalam dada.
"Zoya? Apakah kita bisa bertemu sore ini?" aku baca pesan Adrian dalam pagi yang penuh risau. Terasa mentari enggan untuk bersinar pagi ini. Angin seakan berbisik dan menusukku dengan ribuan pertanyaan. "Aku juga ingin sekali bertemu denganmu. Baik, nanti sore kita bertemu di tempat biasa ya. Have a nice day, Adrian!" ku ketik dengan jari yang lemas. "Apakah aku sanggup untuk berbicara dengannya?" tanyaku dalam benak. Aku beranikan diri untuk datang dan memperjelas semuanya.
Aku datang ke sebuah caf dan mencari sosok yang aku kenal. "Hai Zoya! Disini" Adrian memanggilku sambil melambaikan tangan. Aku menghampirinya dengan jutaan rasa. "Hai" sapaku dengan senyum yang kupaksakan hadir di bibirku.Â
Kami memesan makanan kesukaan kami. "Zoyaa.." Adrian membuka pembicaraan. "Ada yang ingin kubicarakan kepadamu". Jantungku berdebar, entah aku siap atau tidak mengetahuinya dari bibirnya langsung. "Silahkan bicara, aku akan siap mendengarkan". Adrian mengetuk -- ngetuk meja yang sedang diam itu. Ia menyiapkan diri untuk berbicara.
"Aku tahu kalau aku sangat salah dalam hal ini. Jujur, aku sangat mencintaimu, Zoya. Aku yakin dengan pernikahan kita. Namun, ada seseorang datang ke dalam hidupku lagi. Seseorang yang belum selesai urusan perasaannya dan dia bawa pergi. Aku tahu ini berat bagi kamu. Tapi aku butuh waktu lagi. Apakah kita bisa menunda pernikahan kita? Aku hanya ingin memastikan perasaan ini, Zoya".Â
Akhirnya dia mengatakannya juga. Aku sekuat tenaga untuk menopang tubuhku yang sangat lemas. "Maksud kamu seseorang itu Fionna kan?" ku tanya dengan pedih. Adrian melongo kaget mendengar ucapanku. "Kamu... kok?".Â
Aku menahan jutaan air mata yang ingin jatuh. "Lalu bagaimana penyakitmu? Apakah sudah sembuh?" aku mengalihkan sejenak pembicaraan ini. "Kanker Limfoma Hodgkin ku waktu itu baru menginjak stadium satu dan langsung ditangani oleh dokter, sekarang aku sudah sembuh" jawabnya. "Baguslah kalo gitu" aku tersenyum yang tak bisa diartikan.