Mohon tunggu...
farah hikmah cahyani
farah hikmah cahyani Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa Prodi Pendidikan IPA, Universitas Pancasakti Tegal

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Tes Klasik, Teori Respons Butir, Perbedaan Teori Tes Klasik dan Teori Tes Modern

19 Maret 2023   19:15 Diperbarui: 19 Maret 2023   20:34 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asumsi Teori Skor Murni Klasik
1. e (X) = T
Skor Tampak (T) merupakan nilai harapan (expected value) yang didapatkan dari pengukuran, dalam hal ini adalah skor X sehingga simbolnya adalah e (X) = T. Nilai harapan ini didapatkan dari rerata dari skor tampak. Dengan demikian menunjukkan bahwa M (X) = T. Misalnya dilakukan pengukuran, didapatkan fruktuasi skor tampak ada yang meningkat ada yang menurun, namun ketika dirata-ratakan, rata-ratanya akan setara dengan setara skor murni.
Ketika dites dengan menggunakan alat yang sama, skor tampak kadang tinggi dan kadang rendah. Rerata skor tampak (X) yang sama dapatkan adalah mendekati skor murni (T).
2. e (E) = 0
Rerata dari eror pengukuran yang saya dapatkan adalah 0. Eror adalah sesuatu yang membuat skor tampak menjadi bias sehingga menjauhi skor murni.
Eror pengukuran dapat membuat skor tampak saya menjadi melebihi skor murni atau lebih rendah dari skor murni. Namun jika dirata-ratakan, maka rerata eror adalah 0.
Eror ada yang bersifat positif dan negatif.
Ketika dites dengan alat ukur yang sama sebanyak ribuan kali (tanpa kelelahan, kebosanan, faktor belajar) maka skor murni mendekati rerata skor tampak yang didapatkan.
3. pET = 0
Tidak ada hubungan antara eror dan t.
Prinsip ini menyatakan bahwa eror pengukuran menimpa pada individu secara acak. tidak pandang bulu, kemampuannya tinggi atau rendah semuanya mendapatkan eror. Baik ukurannya besar atau kecil, maupun arahnya positif atau negatif. Dengan demikian, skor individu dengan kemampuannya tinggi dan rendah sama-sama memiliki eror pengukuran yang bisa sama-sama besar.
Ada yang mendapatkan eror yang harganya positif, namun ada yang negatif, hal ini terjadi secara acak.
perumpamaannya semakin tinggi pohon, semakin besar angin yang menerpanya, korelasi antara T dan E sangat tinggi. Prinsip ini tidak berlaku di teori pengukuran klasik, karena besarnya angin (eror) menerpa siapa saja dengan kuantitas yang secara acak. Karena tidak didapatkan hubungan antara tingginya pohon dengan eror yang menimpa pohon tersebut.
4. pE1E2 = 0
Besarnya eror (E1) pada satu tes tidak berhubungan dengan eror pada tes di waktu yang lain atau tes dengan bentuk yang lain (E2).
Artinya eror pengukuran menimpa pada individu pada pengukuran pertama, kedua dan selanjutnya tidak berkolerasi.
Bisa jadi pada pengukuran pertama individu mendapatkan eror yang besar , tetapi belum tentu pada pengukuran selanjutnya mendapatkan eror yang besar lagi.
5. pE1T2 = 0
Besarnya eror (E1) pada satu tes tidak berhubungan dengan skor murni pada tes di waktu yang lain atau tes dengan bentuk yang lain (T1). Artinya eror pengukuran pada trial pertama (E1) tidak memiliki kaitan dengan kemampuan individu (T2) pada pengukuran setelah pengukuran pertama. Mengapa eror tidak berkolerasi dengan apapun, ini dikarenakan semua yang bersifat acak tidak memiliki kaitan dengan apapun. Di dalam eror pengukuran ada unsur keacakannya, di sisi lain distribusi eror akan mendekati kurva normal dengan rata-rata 0.

B. Teori Respons Butir
Suatu konsep yang dianggap sebagai sesuatu yang ideal dan sederhana yang dibuat untuk menilai atau menjelaskan fenomena empiris merupakan definisi dari model. Teori Respons Butir (Item Response Theory-IRT) juga dikenal dengan Teori Ciri Laten (Latent Trait Theory-LTT) atau lengkungan karakteristik butir (Item Characteristic Curve-ICC) atau Fungsi Karakteristik Butir (Items Characteristic Function-ICF) (Dali S.Naga, 1992: 160). Dengan adanya teori ini yaitu berdasarkan untuk memperbaiki kelemahan yang terdapat pada teori tes klasik yaitu adanya sifat group dependent dan item dependent.

Pada Model Linier, Misalnya menggunakan model linier untuk meninjau data, maka akan dilihat datanya dengan cara padang sesuatu yang linier. Semua data akan dilihat dengan menggunakan kaca mata linier. Dari berbagai macam model linier akan ditetapkan satu model yang paling tepat dengan kriteria yang ditetapkan. Sedangkan Model non linier, Misalnya menggunakan model non linier untuk meninjau data, maka akan melihat data dengan cara padang sesuatu yang linier.

Jenis-jenis model:

  • Model Kaku (strict), merupakan model yang cerewet, terlalu banyak hal yang harus dipenuhi. Misalnya tidak boleh ada lekukan dan lain sebagainya.
  • Model Luwes (loose), merupakan model yang tidak cerewet.

IRT tidak hanya berisi satu model, akan tetapi memiliki tiga jenis model.

  • Teori Response Butir menggunakan Model Kurva Logistik Ogive dan Model Kurva Normal Ogiver
  • Kedua kurva tersebut berbentuk seperti huruf "S"

Model-model teori respons butir 

Persamaan yang digunakan oleh IRT terdiri dari dua komponen, yaitu orang (sumbu x) dan butir (sumbu y).
Parameter butir ada tiga (sekarang empat) jenis, yaitu
- daya diskriminasi
- tingkat kesulitan
- Tebakan semu

Masing-masing peneliti memiliki asumsi yang berbeda. Sehingga, dengan adanya perbedaan tersebut memunculkan perbedaan model-model di dalam teori respons butir.

  • Model logistik 3 parameter (3 PL)
    (Daya Beda, Tingkat Kesulitan, Efek Tebakan)
  • Model Logistik 2 Parameter (2 PL)
    (Daya Beda, Tingkat Kesulitan)
    Daya beda butir bervariasi yang terlihat dari kemiringan yang berbeda-beda, baseline mendekati 0.
  • Model Logistik 1 Parameter (1 PL)
    (Tingkat Kesulitan)
    Daya beda butir bervariasi yang terlihat dari kemiringan yang sama dan baseline mendekati 0.

Perbandingan Model

Model-model teori respons butir

Teori Pengukuran terdapat 2 jenis yaitu Teori Klasik dan Teori Modern yang dibagi lagi menjadi 4 yaitu Rasch, 1 PL, 2 PL, 3 PL)

  • Model IRT 1 PL sederhana dan membutuhkan ukuran sampel yang tidak sebesar model 2 PL atau 3 PL, namun kurang dapat menunjukkan adanya butir yang problematik karena memiliki daya diskriminasi negatif.
  • Model IRT 3 PL memberikan informasi yang lebih lengkap dibanding dengan model yang lain akan tetapi membutuhkan ukuran sampel yang sangat besar dan seringkali menghasilkan proses analisis yang lama.
  • Model IRT 2 PL menjadi kompromi dari antara kelemahan dan kelebihan antara model IRT 1 PL dan Model IRT 3 PL.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun