Pada hari selasa (2/5/23) terdapat kasus seorang ayah membunuh putri keduanya yang baru berusia tiga bulan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pelaku mengaku membunuh anaknya karena tidak bisa menenangkan ketika menangis, sementara itu istrinya sedang berjualan.Â
Pelaku juga mengungkapkan bahwa dia tidak bisa menghidupi kedua anaknya karena merupakan seorang pengangguran. Dari contoh kasus ini dapat kita lihat dampak pernikahan dini apabila secara fisik dan material belum matang.Â
Selain itu, dampak negatif lainnya adalah menyebabkan sulitnya peningkatan pendapatan keluarga, kurangnya pengetahuan tentang kehamilan yang menyebabkan resiko bayi lahir prematur, mengurangi kesempatan untuk menempuh Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, meningkatnya kekerasan rumah tangga, dan masih banyak lagi.Â
Menurut Setiyaningrum dampak positif pernikahan dini adalah terhindar dari perilaku seks bebas, belajar memikul tanggung jawab di usia dini, dapat mengurangi beban orang tua. Namun, dari dampak positif tersebut menikah bukan solusi yang tepat, karena hal-hal tersebut dapat dicari solusi lainnya seperti berprestasi dalam bidang akademik dan non akademik, mengikuti organisasi, dan menghindari pergaulan bebas. Â
Berdasarkan data dari UNICEF, Indonesia menempati peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di Kawasan ASEAN dengan jumlah pernikahan dini terbanyak. Sedangkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah presentase pernikahan di usia dini yang tinggi di dunia.Â
Hal itu dibuktikan dengan data BKKBN yang mengatakan bahwa, “Perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 sebanyak 0,2% atau lebih dari 22.000 (dua puluh dua ribu) sudah menikah (BKKBN).Â
Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapaty mengatakan bahwa jumlah remaja di Indonesia yang sudah memiliki anak cukup sangat tinggi yaitu 48 dari 1000 (seribu) remaja. Penyebab utama tingginya pernikahan dini di Indonesia antara lain adat dari masyarakat yang masih melekat.Â
Masyarakat berpandangan bahwa Wanita yang sudah berusia 16 tahun dianggap cukup dewasa untuk menikah. Apabila sudah melebihi usia tersebut biasanya menjadi bahan ejekan masyarakat dengan sebutan perawan tua. Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah dapat memicu pergaulan bebas yang menyebabkan kehamilan diluar pernikahan.
Dalam kasus ini pemerintah telah mengatur dalam Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak bahwa perkawinan akan diizinkan apabila anak laki-laki dan perempuan telah mencapai usia 19 tahun.Â
Selain itu, pemerintah juga memiliki beberapa upaya untuk meminimalisir angka pernikahan dini di Indonesia antara lain, penguatan regulasi dan penegakkan hukum yang proporsional terhadap kepentingan terbaik anak, penguatan kapasitas SDM seperti menyediakan pendidikan formal yang memadai, mendorong kesetaraan gender, pembinaan dan peningkatan kesadaran terkait Kesehatan reproduksi dan seksualitas  serta meningkatkan partisipasi anak dalam komunitas, Lembaga masyarkat, media massa agar turut aktif menuangkan kemampuan berpikir kritis, ide, dan bakat yang dimiliki.
Saat ini kasus pernikahan dini meningkat secara signifikan terutama di Indonesia sendiri. Seiring berkembangnya zaman pernikahan dini dianggap menjadi budaya dan sudah menjadi hal yang biasa di kalangan masyarakat.Â
Budaya masyarakat inilah yang menjadi faktor utama meningkatnya pernikahan dini. Hal tersebut menyebabkan banyak kerugian pada segala bidang serta berdampak besar bagi peningkatan kualitas SDM di Indonesia.Â
Pemerintah harus segera membuat strategi agar dapat menekan angka pernikahan dini di Indonesia. Pemerintah harus cepat dan tanggap menangani permasalahan ini. Karena, jika dibiarkan terus menerus Indonesia akan kehilangan remaja yang berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H