Negara Indonesia telah mengatur definisi mengenai pernikahan atau perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut mendefinisikan bahwasannya perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan dalam agama Islam pun turut diatur dalam firman-firman Allah dalam Al-Quran baik secara tersirat maupun tersurat, salah satu firman Allah mengenai pernikahan atau perkawinan terdapat dalam Q.S An-Najm ayat 45 yang memiliki arti "Dan bahwasanya Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan". Oleh karena itu, hakikat mengenai pernikahan atau perkawinan telah diatur secara jelas baik dalam konstitusi negara maupun agama. Namun, eksistensi pernikahan atau perkawinan di Indonesia saat ini adalah Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak yang menuai pandangan pro dan kontra di masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut mengenai Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak, marilah simak penjelasannya mengenai Nikah Mut'ah atau Kawin Kontrak sebagai berikut.
Pengertian
Dalam Islam, Kawin kontrak dikenal dengan mut'ah yang dalam etimologis diartikan sebagai "kesenangan dan kenikmatan" dengan tujuan dalam perkawinan tersebut hanyalah merujuk pada keinginan untuk memperoleh kesenangan seksual. Menurut syariat, mut'ah berarti laki-laki mengawini perempuan dengan imbalan harta (uang) dalam jangka waktu tertentu. Dalam perkawinan mut'ah , perkawinan berakhir tanpa perceraian, dan laki-laki tidak wajib memberikan nafkah anak, perumahan, atau kewajiban lainnya. Tentu saja hal ini sangat merugikan seorang wanita dan keturunannya. Oleh karena itu, pernikahan kontrak tidak diizinkan berdasarkan hukum agama maupun hukum dalam suatu negara . Menurut istilah, nikah mut'ah memiliki arti yaitu seseorang pria yang melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu dan memberinya sesuatu berupa harta, makanan, pakaian, atau yang lainnya. Ketika waktunya habis, otomatis mereka berpisah tanpa talak atau warisan. Kemudian, setelah keduanya sepakat, seorang wanita itu mengucapkan, ``Kamu kunikahkan,'' atau ``Kamu kukawinkan,'' atau ``Kamu ku mut'ah kan denganku dengan mahar sekian, selama sekian hari(bulan atau tahun atau selama masa tertentu yang harus disebutkan dengan pasti)," Dalam hal ini, pria tersebut harus segera dan tanpa berkata-kata mengatakan "Saya menerima".
Pengertian Menurut Para Ahli
a. Ibnu Qudamah
Nikah mut'ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang belum.
b. Sayyid Saabiq
Perkawinan mut'ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut'ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.
Oleh karena itu, dari definisi yang telah disampaikan oleh para ahli maka dapat disimpulkan bahwa nikah mut'ah adalah suatu ikatan perkawinan yang berdasar pada waktu yang telah ditentukan, sehingga apabila waktu dari perkawinan tersebut sudah habis maka berakhir pula ikatan perkawinan tersebut serta kewajiban sebagai seorang istri ataupun seorang suami dalam suatu ikatan perkawinan tersebut.
Sejarah Nikah Mut'ah
Nikah mut'ah merupakan warisan tradisi masyarakat pra-Islam yang bertujuan melindungi perempuan dalam suku pada masa itu. Di masa Islam, pernikahan seperti itu mengalami pasang surut. Pada masa Nabi Muhammad SAW, Nikah mut'ah mengalami beberapa kali reformasi hukum, yaitu dua kali diperbolehkan, dua kali dilarang, dan terakhir dilarang permanen. Nikah mut'ah sempat diperbolehkan karena terdapat masa perang yang merupakan masa peralihan dari zaman jahiliyah dengan kata lain seperti halnya masa transisi, banyak hal yang masih perlu membutuhkan penyesuaian terutama dalam hal yang menyangkut suatu ketetapan atau peraturan. Pada zaman tersebut yaitu zaman jahiliyah, perempuan merupakan objek yang bisa diperoleh kapan saja, layaknya sebuah barang atau komoditas. Jarak medan perang dari rumah wanita tersebut membuat para sahabat kesulitan untuk berperang. Oleh karena itu, aturan ini diturunkan sebagai solusi atas kondisi tersebut.