Ada cinta yang terjalin, lembut, dan tak terlihat seperti benang yang melingkar di hati seorang ibu. Cinta yang tak lekang meski terkikis waktu, tak hilang meski tak selalu hadir. Cinta itu terjalin dalam setiap detik hidupnya, dalam setiap langkah anak-anaknya.Â
Tak pernah ia meminta lebih, hanya ingin melihat mereka bahagia dan meraih cita-citanya. Ia selalu tahu, suatu hari nanti, anak-anaknya akan tumbuh dewasa, menempuh jalan hidup mereka sendiri, meninggalkannya dalam sepi. Namun, ia tetap merajut cinta itu, dengan harapan sederhana agar suatu saat mereka bisa mengingat bahwa ibu selalu ada di setiap perjalanan mereka, meskipun tak lagi di sisi.
    Di situlah letak keajaiban dari cinta seorang ibu: dia tahu bahwa cinta tak perlu selalu diucapkan atau diperlihatkan dengan cara yang megah. Kadang, cukup dengan diam-diam menunggu kabar, mengirim doa, atau sekadar berbisik lembut pada benang merah yang diikatkan pada tas anaknya, mengharap benang itu bisa menghubungkan mereka kembali, di mana pun anaknya berada.
      Raka memandangi benang merah yang tergantung di ranselnya. Ia masih mengingat saat ibunya mengikat benang itu sebelum ia berangkat ke kota untuk mengejar cita-citanya. "Jangan pernah lupakan Ibu, Nak," begitu pesan yang selalu terngiang di benaknya, seakan benang merah itu berbisik pelan kepadanya setiap hari.
      Kehidupan di kota tidak mudah baginya. Raka bekerja keras, membagi waktunya antara kuliah dan pekerjaan paruh waktu. Setiap kali ia merasa lelah dan ingin menyerah, ingatan tentang ibunya yang setia mendoakannya di kampung halaman kembali menguatkan semangatnya. Baginya, benang merah itu bukan sekadar tali, melainkan sumber kekuatan.
     Raka memang bukan anak tunggal. Kakak-kakaknya sudah lebih dahulu merantau, menetap dan berkeluarga, memiliki hidupnya masing-masing. Mereka juga sesekali mengirim kabar dan bantuan untuk ibu, tetapi hubungan Raka dengan ibunya terasa lebih istimewa. Ibu selalu bilang, Raka-lah yang paling mirip dengan ayah. Ketika ayah meninggal beberapa tahun silam, Ibu semakin dekat dengannya. Karena itulah, benang merah itu menjadi simbol kasih sayang yang begitu dalam bagi mereka berdua.
     Namun, meski sudah berusaha keras, ada masa-masa di mana Raka merindukan rumah. Dalam kesibukan kota, ia selalu mencari waktu untuk menelepon ibunya, sekadar mendengar suaranya atau bertanya kabar. Tetapi, meski Ibu selalu menyambut panggilannya dengan hangat, ada suara getir dalam hati Raka yang mengatakan bahwa waktu terus berjalan dan jarak semakin memisahkan mereka.
      Hari-hari berlalu. Setiap kali Raka mendapat sedikit uang lebih dari pekerjaannya, ia mengirim sebagian untuk Ibu. Meski tahu Ibu tidak pernah meminta, Raka merasa itu adalah kewajibannya. Tak ada yang bisa menggantikan Ibu, dan ia ingin agar ibunya tak perlu mengkhawatirkan biaya hidup di kampung. Meski sederhana, uang yang ia kirimkan bisa membantu kebutuhan sehari-hari Ibu, dan Raka bisa bernafas lebih lega karenanya.
    Pada suatu hari, di tengah perjuangannya menjalani kuliah, Raka mendengar kabar bahwa ibunya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Di telepon, suara ibunya terdengar lemah, namun masih saja berusaha menenangkan Raka. Meski hatinya hancur, Ibu tetap bersikap tegar, tak ingin membebani anaknya dengan kekhawatiran.
    Raka tahu ia harus pulang. Namun, keterbatasan uang dan tanggung jawab di kota membuatnya bimbang. Satu sisi dari hatinya merasa bersalah karena tak bisa segera berada di samping ibunya, sementara sisi lainnya tahu bahwa ia harus tetap bertahan di kota ini, demi masa depan yang selalu diharapkan ibunya untuknya.
     Setelah berbicara dengan bosnya, Raka akhirnya diizinkan untuk mengambil cuti beberapa hari. Ia pulang dengan hati cemas, berharap dapat melihat ibu secepatnya dan memberinya kekuatan. Saat Raka tiba di kampung, ibu sudah dirawat di rumah sakit. Wajahnya tampak lebih kurus dan lemah, tetapi matanya masih penuh kasih saat melihat Raka berdiri di sampingnya.
"Ibu tidak apa-apa, Nak. Kamu jangan terlalu khawatir," kata Ibu pelan, seraya menggenggam tangan Raka. Namun, Raka bisa merasakan betapa rapuhnya tangan itu kini.
"Nak, kamu harus terus berjuang. Jangan khawatirkan Ibu," lanjut ibunya dengan senyum lembut, meski tubuhnya lemah.
    Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti harapan dan keyakinan yang tak pernah goyah. Sekali lagi, Ibu meminta agar Raka tak menyerah pada cita-citanya. Raka pulang ke kota dengan berat hati, namun tekadnya semakin besar. Ia tahu, meski ibunya tak selalu berada di sisinya, cinta kasihnya akan selalu menemani langkahnya. Benang merah yang diikatkan di tasnya menjadi pengingat abadi bahwa ada seseorang yang selalu mendukungnya, tak peduli betapa jauh jarak memisahkan mereka.
     Tahun demi tahun berlalu, dan akhirnya Raka berhasil meraih impiannya. Ia bekerja di sebuah perusahaan besar, mendapat gaji pertama, dan segera mengirimkan sebagian untuk ibunya. Hatinya penuh rasa syukur dan bangga, membayangkan senyum Ibu saat menerima kabar keberhasilannya.
     Namun pada suatu hari, sebuah surat dari kampung datang dengan kabar yang mengejutkan. Ibunya telah berpulang. Surat itu datang dari tetangganya, Pak Darto, yang telah lama mengenal keluarga Raka. Pak Darto bercerita bahwa Ibu meninggal dalam tidurnya, tanpa rasa sakit, seperti telah damai dengan hidupnya.
     Raka merasakan hatinya seakan pecah berkeping-keping. Seluruh pencapaian dan kesuksesannya tiba-tiba tak berarti lagi. Ia merasa seperti kehilangan bagian paling penting dari dirinya, sumber kekuatan yang selama ini ia pegang teguh. Di tengah rasa dukanya, Raka menemukan selembar surat yang ditinggalkan ibunya untuknya.
"Nak, jika kamu membaca surat ini, Ibu sudah tidak ada di dunia ini. Jangan bersedih, Ibu akan selalu bangga padamu. Kejarlah mimpimu sampai kamu mencapai apa yang kamu inginkan. Benang merah yang Ibu berikan adalah tanda bahwa cinta Ibu akan selalu bersamamu, di manapun kamu berada."
     Raka menangis membaca surat itu. Kata-kata sederhana itu membawanya pada tangis yang tertahan, menyadarkan bahwa benang merah itu bukan sekadar hiasan atau pengingat kecil. Ia adalah warisan cinta yang abadi, mengikatkan dirinya pada kenangan yang akan terus hidup di hatinya. Raka menyadari bahwa meski Ibu tak lagi ada di sampingnya, kasih sayang Ibu tetap melekat di setiap langkah hidupnya.
     Pada suatu malam, Raka duduk sendiri di kamarnya di kota, menggenggam benang merah itu dengan penuh rasa syukur. Ia menatap bintang-bintang di langit yang terasa lebih terang malam itu. Dalam hati, ia berbicara kepada Ibu, memohon doa dan restu untuk langkah-langkah hidupnya selanjutnya. Raka tahu, di mana pun ia berada, cinta Ibu akan selalu menuntunnya.
    Sekarang, setiap kali ia melihat benang merah itu, Raka tersenyum. Ia tahu bahwa meskipun hidup terus berjalan dan dirinya semakin jauh dari kampung halaman, ia tak pernah benar-benar sendiri. Ia menyadari, cinta ibu adalah kekuatan yang tak pernah putus, meski telah berlalu dan tersembunyi di balik jarak dan waktu. Cinta itu tidak menuntut untuk dibalas, hanya meminta untuk dikenang.Â
Dari benang merah itulah, Raka belajar untuk menghargai segala pengorbanan tanpa pamrih seorang ibu yang senantiasa menginginkan kebaikan bagi anak-anaknya. Betapa cintanya seorang ibu adalah pelita yang takkan pernah padam, memberi kehangatan dan menuntunnya menuju masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H