Latar Belakang
Latar belakang terjadinya terorisme ini terbagi menjadi beberapa faktor. Faktor utamanya ialah ketegangan semasa konflik Indonesia dan Malaysia. Indonesia merupakan negara yang meyakini bahwa negara Malaysia merupakan proyek neokolonialisme dari Inggris. Indonesia menilai fakta tersebut sebagai ancaman bagi kedaulatan serta integritasnya sebagai negara. Oleh karena itu, Indonesia mengirimkan pasukannya untuk menyabotase Malaysia dan Singapura. Disisi lain, para penyabotase mengambil langkah pengeboman di wilayah-wilayah yang telah di rencanakan yang mana merupakan langkah yang salah.
Faktor lainnya ialah faktor pemicu. Faktor pemicu dari kasus ini ialah keinginan Presiden Soekarno untuk menunjukkan kekuasaan nya dan kontrol atas wilayah-wilayah yang dianggap integral negara. Selain itu, serangan ini juga di nilai untuk mengacaukan konfrontasi dari Indonesia dan Malaysia sendiri secara fisik. Ketiga pemuda tersebut merupakan pemuda terlatih yang mana memang diinstruksikan untuk menganggu aktivitas Singapura dalam membentuk Malaysia.
Kronologi
Eksekusi serangan dilakukan pada 10 Maret 1965. Kronologi penyerangan yang terjadi di McDonald's di Singapura merujuk pada insiden yang lebih dikenal sebagai MacDonald Bombing.
1.Kedatangan pelaku
 - Pada pukul 11:00, para pelaku tiba di Singapura dari Jawa dengan mengenakan pakaian sipil.
- Mereka awalnya diarahkan untuk menyerang sebuah pembangkit listrik tetapi kemudian memutuskan untuk menargetkan MacDonald House.
2.Pemasangan bom
 - Sekitar pukul 15:00, mereka menempatkan tas berisi bahan peledak nitrogliserin di dekat lift di lantai mezzanine gedung.
- Setelah memasang bom, mereka meninggalkan lokasi dan naik bus.
3.Ledakan
- Â Pada pukul 15:07, bom meledak, menyebabkan kerusakan parah pada gedung.
 - Ledakan tersebut mengakibatkan tiga orang tewas dan 33 lainnya terluka. Korban tewas termasuk dua pegawai bank dan seorang supir.
4.Reaksi dan penangkapan
- Dalam waktu tiga hari setelah ledakan, polisi Singapura berhasil menangkap Harun Said dan Osman bin Haji Mohamed Ali. Sementara Gani bin Arup berhasil melarikan diri.
- Kedua pelaku yang tertangkap kemudian diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Dampak bagi Pemerintahan dan Masyarakat
Reaksi pemerintah Singapura terhadap pengeboman MacDonald House pada 10 Maret 1965 sangat cepat dan tegas. Setelah ledakan yang menewaskan tiga orang dan melukai 33 lainnya, pemerintah segera mengerahkan petugas dari Departemen Keamanan Dalam Negeri dan Kepolisian untuk menyelidiki insiden tersebut. Dalam waktu tiga hari, dua pelaku, Harun Said dan Usman bin Haji Mohamed Ali, berhasil ditangkap. Pemerintah Singapura menganggap tindakan ini sebagai terorisme yang serius, mengingat ledakan tersebut terjadi di lokasi publik yang ramai dan melibatkan korban sipil. Akibatnya, kedua pelaku dijatuhi hukuman mati pada tahun 1968, yang mencerminkan sikap keras pemerintah terhadap ancaman keamanan nasional.
Di sisi masyarakat, pengeboman ini menciptakan ketakutan dan kecemasan yang mendalam. Warga Singapura merasa terancam oleh kemungkinan serangan teror di tempat-tempat umum, terutama di pusat-pusat bisnis yang padat. Insiden ini juga memperburuk ketegangan etnis, karena dua dari tiga korban tewas adalah warga keturunan Tionghoa, sementara satu korban lainnya adalah orang Melayu. Masyarakat menjadi lebih waspada terhadap isu keamanan dan mulai mendukung pembentukan barisan sukarelawan untuk membantu menjaga keamanan publik. Secara keseluruhan, pengeboman MacDonald House menjadi titik balik dalam kesadaran masyarakat akan pentingnya keamanan di tengah ketegangan politik regional.
Peran pemerintah dalam Menanggulangi Kasus Terorisme Ini
Dalam menindaklanjuti kasus tersebut, pemerintah Singapura membuat kebijakan seperti penguatan kemanan darat, laut, dan udara. Kebijakan tersebut memiliki nama lain yaitu Singapura’s National Security Strategi. Tujuan dari kebijakan ini ialah menceggah ancaman terorisme lainnya dan merupakan respon terhadap ancaman serta bentuk proteksi. Kebijakan ini dijalankan bersama antara Teknokrat, Civil Soceity, hingga masyarakat umum. Dibawahi oleh NCSC ( National Security Coordination Secretariat yang mana bertugas mengoordiknasikan para pekerja. Capaian dari kebijakan ini ialah proteksi yang dihasilkan oleh pemerintah Singapura terhadap warganya.
Selanjutnya, Singapura juga membuat kebijakan Internal Security Act ( ISA) yang mana menghasilkan undang-undang khusus untuk wewenang preventif dengan kata lain memberikan otoriras dalam menahan dan menangkap pelaku terorisme tanpa adanya surat perintah. Kebijakan ini juga melibatka NCSC dalam perjalananya. Tujuan NCSC kali ini ialah untuk menguatkan kerjasama dan integritas antar lembaganya. Dalam keamanan kemaritimannya, Singapurra menjadi anggota dari Custom Container Security Initiative yang mana berfungsi untuk mengawasi adanya pengiriman dari senjata pemusnah massal.
Peran ASEAN melalui ACCT dalam Kasus Terorisme MacDonald Singapura
Asean merupakan organisasi internasional yang melayani segala permasalahan yang dihadapi negara-negara di wilayah Asia Tenggara. ASEAN menyediakan summit hingga kerangka negosiasi untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan hingga konflik bagi negara Asia Tenggara. Selanjutnya, ASEAN juga merupakan organisasi yang bertugas menjaga stabilitas dan keamanan dari wilayah Asia Tenggara. ASEAN menggembangkan kerjasama dan integrasi antar negara anggotanya demi mewujudkan keamanan dan stabilitas regional.
Negara-negara di ASEAN memandang terorisme dengan pandangan yang berbeda -beda seperti sesuatu yang mengancam kemerdekaan, separatisme, munculnya sekelompok pemberontak, dan lain sebagainya. Secara umum beberapa kebijakan yang diajukan oleh ASEAN dalam menanggulangi terorisme ialah kebijakan seperti undang-undang, pembentukan armed forces di suatu negara, Act, pembentukan pasukan khusus, hingga pertemuan seperti ACCT.
ACCT atau ASEAN Convention on Counter Terrorism merupakan konvensi yang dibentuk oleh negara-negara ASEAN dalam menghadapi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Tujuan utama dari ACCT ialah meperkuat kerjasama antar negara anggota dalam mencegah, membasmi, dan menangani terorisme. ACCT juga memfasilitasi pertukaran informasi terkait terorisme bagi negara-negara anggotanya. Selanjutnya, ACCT juga memfasilitasi negara anggota dalam pembentukan latihan militer dan operasi taktis sebagai tindakan preventif dan pembendungan terorisme.
Singapura menjadi negara pertama yang meratrifikasi ACCT dengan tujuan menjadikan regulasi ini dan konvensi ini sebagai dasar hukum tentang terorisme. ACCT berisikan asas-asas non intervensi bagi Singapura sehingga dapat meningkatkan keamanan dari negara tersebut. Selanjutnya, Singapura bergabung pada Terrorist Bombing Convention pda tahun 1997 yang mana pada tahun 2007 memberlakukan undang-undang Anti-Terorisme. Hal ini merupakan bentuk tindaklanjut dari Singapura untuk pengeboman di MacDonanld Singapura.
Peran ASEAN melalui ARF dalam Kasus Terorisme MacDonald Singapura
ARF atau ASEAN Regional Forum merupakan forum untuk membangun kerjasama multilateral antar negara anggota ASEAN. Dalam hal ini ARF memiliki peran sebagai fasilitator dialog keamanan antara negara anggota. Beberapa negara membahas isu-isu keamanan salah satunya ialah terorisme. Selanjutnya, ARF juga mengembangkan kebijakan bersama dalam menangani kasus terorisme yang mana mencakup strategi pencegahan, respon terhadap serangan, serta penguatan kapasitas lembaga penegak hukum. ARF juga membantu membangun kepercayaan dan stabilitas regional dengan cara mengadakan pertemuan-pertemuan antar negara.
Sementara itu, peran ARF dalam kasus ini ialah memfasilitasi dialog antara Singapura dan Indonesia setelah kasus terorisme tersebut terjadi. Tujuan dari dialog tersebut ialah mebangun kepercayaan satu dengan lainnya dan kembali mengintegrasi sebagai negara di bawah pantauan ASEAN. Faktanya, ARF sebenarnya menyediakan fasilitas lebih terkait isu-isu keamanan yang ada di asean.Â
Kemungkinan lainnya yang dapat dilakukan Singapura antara lain ialah melakukan dialog dengan sikap preventiv melalui PD atau preventif diplomacu yang mana juga dapat meningkatkan kepercayaan, norma perilaku, dan komunikasi antara negara yang berkonflik. Selanjutnya, melalui CR ( Conflict Resolutinn) dapat menjadi salah satu intrument eskhalasi konflik ini dengan cara dialog dengan fokus resolusi konflik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H