Salah satu tolak ukur kemajuan keuangan syariah di Indonesia ditunjukkan oleh banyaknya bank syariah yang mulai menguasai perbankan Indonesia. Meskipun demikian, disebagian besar bank syariah yang beroperasi di Indonesia, akad yang digunakan dalam produk perbankan masih bergantung pada akad murabahah, terutama pada produk pembiayaan. Padahal ekonomi islam juga memiliki lebih banyak akad maslahah, misalnya musyarakah dan mudharabah. Dominasi ini terlihat dari laporan OJK yang mencatat bahwa peredaran pembiayaan BUS dan UUS untuk akad murabahah lebih besar dibandingkan dengan mudharabah dan musyarakah.
Murabahah adalah kesepakatan dan perolehan produk pada biaya pertama dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dimana bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah bertindak sebagai pembeli. Dalam hal ini, penjual harus memberitahu biaya produk yang di jual dan mengungkapkan jumlah keuntungan yang di tambahkan ke biaya. Akad murabahah merupakan kesepakatan juai-beli antara bank dan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah, kemudian menawarkan kepada nasabah yang bersangkutan sebesar biaya produk ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Perbankan syariah menggunakan akad murabahah sebagai salah satu produk pembiayaan prioritasnya. Ini dikarenakan kemudahan sistem dan teknik penghitungannya yang mampu di pahami dengan baik oleh nasabah maupun pihak bank. Sebagian besar nasabah tertarik pada akad murabahah untuk pembiayaan properti, pembelian kendaraan, membeli kebutuhan saham dan terutama kebutuhan konsumtif seperti pembelian barang-barang pribadi dan keluarga.
Saat ini, produk murabahah telah menguasai portofolio perbankan syariah, baik berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) bahkan sampai pada tingkat Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Bank lebih memilih murabahah karena di dalam fiqh tidak pernah mengatur perihal portofolio produk sebuah lembaga keuangan syariah seperti bank, tidak ada istilah halal atau haram dalam mengelola pengaturan portofolio produk atau jasa perbankan syariah. Dengan cara ini, halal dan diperbolehkan jika bank syariah fokus menjual produk dengan pembiayaan murabahah. Dengan demikian, hal ini merupakan kebijakan bisnis untuk lembaga keuangan syariah dan jelas bergantung pada kepentingan di balik pengaturan tersebut. Kemudian, berdasakan para ahli Ekonomi Islam bahwa produk murabahah, selain menguasai portofolio perbankan syariah, ternyata produk murabahah lebih menarik daripada produk mudharabah dan musyarakah.
Produk murabahah lebih diminati nasabah karena produk ini hampir mirip dengan sistem bunga, yang terdapat kelebihan didalam pembiayaan pada biaya pokok. Akan tetapi, melalui Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Dewan Syariah Nasional telah memberikan izin operasional sesuai syariah terhadap produk pembiayaan murabahah. Dengan spirit Surat Al-Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba", serta beberapa ayat lainnya yang terdapat dalam Al-Quran, seperti yang terdapat pada QS. An-Nisa' ayat 29 yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu". (QS. An-Nisa ayat: 29)
Beberapa ketetapan harus dipenuhi dalam melakukan akad murabahah sehingga transaksi akad terhindar dari riba dan sesuai dengan syari'ah. Salah satunya adalah syarat dari produk yang diakadkan, dalam hal ini adalah barang yang dijual belikan. Sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, disebutkan bahwa BMT harus terlebih dahulu membeli aset yang diminta oleh nasabah. Adapun rincian pasal yang menjadi objek akad dalam akad murabahah, standar barang yang di perjual belikan harus sudah menjadi milik BMT. Tidaklah sah menjual barang-barang yang akan berubah menjadi miliknya.
Akad murabahah yang dipandang minim resiko, justru masih menguasai pembiayaan bank syariah baik bank umum Syariah maupun unit Syariah. Akad murabahah digunakan secara luas karena memiliki resiko yang relatif rendah baik dari sisi bank dan nasabah. Dari sisi bank, jaminan pelindung lebih tinggi dari jumlah pinjaman atau pembiayaan yang diberikan ke nasabah. Dari sisi nasabah, ada kepastian jumlah angsuran karena dalam skema jual beli ini ditetapkan nilai margin atau keuntungan bank yang tidak berubah sampai pembiayaan lunas. Pembiayaan murabahah memberikan banyak keuntungan bagi bank syari'ah atau nasabahnya. Salah satu keuntungan yang diperoleh bank adalah adanya keuntungan dari perbedaan antara harga jual dari penjual dan biaya penawaran kepada nasabah.
Keunggulan pembiayaan produk murabahah adalah nasabah dapat membeli barang sesuai keinginan dan kemampuan ekonominya, selain itu pembiayaan dapat dilakukan secara angsuran sehingga tidak menyusahkan nasabah sendiri. Adapun keunggulan lainnya adalah dalam produk murabahah tidak mengenal riba atau sistem bunga, tetapi dalam hal ini terdapat transparansi antara bank dan nasabah, bahwa bank memberikan informasi tentang produk yang akan dibeli sesuai keinginan nasabah dan biaya yang telah ditentukan oleh pengembang diketahui oleh nasabah. Kemudian, bank menjualnya kembali ke nasabah sesuai dengan harga pembelian dari pihak pengembang, dan ditambahkan keuntungan bagi bank. Tambahan keuntungan bagi bank ini, ditawarkan di awal transaksi yang didasarkan atas kesepakatan bersama antara pihak bank dengan nasabah, jadi untuk situasi ini tidak ada unsur saling mendzalimi.
Produk murabahah juga mudah disetarakan dengan pola perbankan konvensional. Dengan demikian, produk ini mudah dirasakan oleh bank dan masyarakat umum secara bersamaan. Oleh karena itu, produk ini mudah di sosialisasikan karena bentuknya yang mudah dipahami. Selain itu mudah untuk dihitung, sehingga produk murabahah relatif mudah dijual, dan mengandung risiko kecil di mata bank. Akibatnya, wajar jika perbankan syariah lebih menyukai dan menambah portofolio nya sebagai produk murabahah.
Salah satu masalah dalam akad murabahah di bank syariah yaitu terkait risiko penolakan nasabah. Pada teorinya, nasabah berhak menolak barang yang akan dibeli jika terjadi ketidaksesuaian. Akan tetapi, bank syariah menghindari risiko ini dengan adanya uang muka atau jaminan. Dengan tujuan agar nasabah mau tidak mau harus membeli barang tersebut. Sehingga dapat dilihat bahwa ada ketidaksesuaian antara teori yang ada dengan apa yang terjadi dalam kenyataan.