Mimpi Yang Tertinggal
Di sebuah kamar kos yang sempit di pinggiran kota, Aruna duduk di sudut ruangan dengan menatap cermin kecil di atas meja belajarnya. Tatapan matanya kosong, pikirannya melayang ke hari-hari yang penuh harapan yang kini terasa begitu jauh untuk dia gapai. Di sampingnya, setumpuk kertas ujian dan buku-buku berserakan. Tulisan "GAGAL" yang tertera di lembar hasil ujiannya yang terasa sangat pilu yang menghantam dadanya berkali-kali.
Sejak kecil, Aruna memiliki cita-cita igin menjadi seorang dokter. Mimpi itu tumbuh dari kekagumannya pada sang ibu yang bekerja sebagai tenaga medis di desamereka. Setiap kali ibunya pulang kerja dengan mengenakan seragam putih, Aruna selalu merasa bangga dan yakin ia akan menjadi seperti ibunya, membantu orang lain, menyelamatkan nyawa, dan membuat keluarganya bangga. Mimpi it uterus menjadi pusat hidupnya yang membuatnya terus bekerja keras selama sekolahnya, yang mengorbankan banyak hal demi belajar untuk meraih cita-citanya. Namun, hal hari ini, semua harapan itu terasa hancur berkeping-keping.
Aruna gagal dalam ujian masuk fakultas kedokteran untuk ketiga kalinya. Ketika melihat hasil ujiannya, rasanya dunianya runtuh seperti tidak mempunyai harapan lagi. Semua usaha, pengorbanan, dan malam-malamnya yang tak pernah tidur tampak sia-sia.
"Kenapa aku bisa tidak lolos lagi?" gumamnya dengan teriak penuh frustasi.
Dia teringat dengan orang tuanya di desa yang selalu menunggu kabar baik, "Kamu pasti bisa Aruna, ibu yakin bahwa kamu pasti bisa" kata ibunya dengan senyum lembut setiap kali Aruna pulang setelah ujian. Tapi kini, bagaimana dia bisa memberi tahu mereka? Bagaimana dia bisa mengakui dan mengatakan bahwa dia telah gagal lagi?
Dalam malam yang sunyi, Aruna mengambil ponselnya dan membuka pesan dari ibunya yang sudah lama ia tidak balas.
"Bagaimana hasil ujianmu nak? Ibu selalu mendoakanmu" bunyi pesan itu.
Tangannya gemetar, jari-jarinya terasa berat untuk membalas pesan dari ibunya. Akhirnya ia memutuskan untuk menutup ponselnya. Dia merasa malu, bukan hanya pada keluarganya, tetapi pada dirinya sendiri.
Aruna bangkit dari tempat duduk meja belajarnya sambil berjalan menuju jendela kamarnya. Ia melihat sekelilingnya sambal melihat pemandangan di luar jendelanya. Ia menarik napas panjang dan mencoba mengusir perasaan sesak yang menyelimuti dadanya. Namun, semakin ia mencoba melarikan diri dari kenyataan, semakin rasa kecewan menghantuinya.
Waktu yang ia rasakan semakin lambat, dan malam terasa tak pernah akan berakhir. Aruna duduk kembali di kursi meja belajarnya, menutup wajan dengan kedua tangganya sambil memikirkan kegagalan demi kegagalan yang tak ada henti-hentinya. Setiap kali ia mengingat mimpi besarnya, perasaanya semakin dalam mencekram hatinya.