Lagi dan lagi. Perlindungan terhadap harkat dan martabat guru dipertanyakan. Bila sebelumnya, siswa dan orang tua menjadi pelaku perundungan terhadap guru, yang hingga kini bahkan menyisakan luka batin para guru, kini aparat penegak hukum yang 'dituding' melakukannya.
Tindakan penggundulan tiga guru SMP Negeri 1 Turi yaitu Yoppy Andrian (26), Riyanto (58), dan Danang Dewo Subroto (58). Ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam musibah susur sungai yang menewaskan 10 orang siswa dan puluhan lainnya terluka. Perlakuan yang dialami ketiga tersangka, yang masih aktif sebagai guru jelas melukai batin guru, baik sebagai pribadi maupun secara korps. Gelar kehormatan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa seolah-olah hilang begitu saja karena musibah yang jelas tidak disengaja.
Tak tanggung-tanggung, bahkan Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi, pun  menyebutkan bahwa pihaknya akan melayangkan protes langsung pada Polri (Kompas.com, Rabu, 26/2/2020).
Protes Unifah dan para guru adalah hal yang wajar. Bukan sekadar alasan korps guru, tetapi apa yang dialami ketiga tersangka sepatutnya tidak bersesuaian dengan hokum yang berlaku. Dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.Â
Seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka WAJIB dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, disingkat KUH Acara Pidana atau KUHAP), "Setiap orang yang diditahan, disangka, ditangkap, dituntut, dan/ atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap."
Berdasarkan pasal 1 dan pasal 8 di atas jelas bahwa sebagai tersangka, ketiganya BELUM menjadi orang yang salah secara hukum.
Jadi, seberapa marahnya masyarakat terhadap 'kekhilafan' yang dilakukan para guru dalam musibah susur sungai, seharusnya pada mereka harus tetap diberlakukan sebagai azas praduga tak bersalah.
Karenanya, tindakan penggundulan terhadap ketiga tersangka, patut dipertanyakan kebenarannya secara hukum. Â Apakah memang, tersangka layak dan boleh diberi sanksi sosial dan moral yang bisa menimbulkan dampak psikhologis pada ketiganya? Pada titik ini wajar, sangat wajar bila PGRI dan guru-guru meneriakkan kekecewaan dan protesnya.
Bukan Satu-Satunya PemicuÂ
Bisa dimengerti mengapa para guru berteriak terhadap perlakuan yang dialami rekan seprofesinya. Apa yang dialami ketiga tersangka, bukan satu-satunya alasan.
Banyaknya tuntutan dan tekanan yang dialami guru dapat saja menjadi alasan. Di lapangan, para guru terus dituntut untuk menunjukkan keprofesionalannya dengan setumpuk tagihan administrasi. Apalagi, bukan rahasia, tuntutan-tuntutan tersebut selalu dihubung-hubungkan dengan pemberian tunjangan profesional yang mereka terima. Tak jarang mereka dipojokkan dengan kalimat seperti, "Bapak Ibu guru itu sudah menerima tunjangan sertifikasi. Jadi harus bla, bla, bla ....!"
Apakah pegawai dan ASN lain yang menerima tunjangan profesi bahkan plus remunerasi juga menerima 'tekanan' yang sama?
Di sisi lain, perlindungan terhadap para guru juga tampak sangat lemah. Jangankan yang kemungkinan besar karena alasan kekhilafan seperti yang dilakukan ketiga tersangka di atas, untuk alasan membela diri pun, guru nyaris tak mendapat perlindungan hukum. Tak terhitung lagi guru yang mengalami penganiayaan fisik dan psikhis, bahkan sampai merenggut nyawa. Jutaan guru diam-diam menangis ketika beredar video salah seorang rekannya terpaksa diam saat dipukul oleh siswanya.Â
Simalakama yang dihadapi oleh guru memang dapat dimengerti. Dulu hukuman fisik dapat diterima saat hal itu dilakukan pada siswa yang melanggar aturan. Kini, jangankan memberi hukuman, membela diri pun banyak guru yang tak berani melakukannya. Di sisi lain, semakin banyak siswa yang berani terhadap guru. Tak hanya tidak mengerjakan PR dan membolos, metreka bahkan berani menganiaya gurunya secara fisik.
Para guru sejatinya terluka. Mereka menyimpan sakit karena merasa tak dilindungi. Karena itulah, meski ketiga tersangka disangka bersalah, dan dianggap lalai oleh banyak pihak, tetapi penggundulan yang mereka alami tetap menyakiti nurani keguruan mereka. Jiwa korsa mereka sebagai guru menuntut kesamaan hak perlindungan hukum.Â
Koruptor, pengedar narkoba, dan penjahat kelas kakap saja diperlakukan baik, bahkan ada yang mendapat keistimewaan di penjara, mengapa guru harus diperlakukan tidak manusiawi seperti itu? Penjahat-penjahat lain dikawal dengan istimewa, dengan PD berfoto sambil tersenyum, mengapa ketiga tersebut digunduli, tanpa alas kaki dipermalukan di depan umum? Apa karena guru itu pihak yang lemah, selemah maling ayam yang mencuri karena kelaparan?
Para guru tidak membela guru yang salah. Para guru tidak menuntut pembebasan bago mereka yang khilaf dan kelak bila terbukti salah menurut hokum. Tidak. Mereka menuntut keadilan dan kesamaan perlakuan hukum. Kalau mereka digunduli, seharusnya, semua tersangka kasus apa pun WAJIB digunduli dan dipertontonkan pada massa dengan jalan nyeker! Jangan Cuma guru!
Ah, nasibmu guru. Kau telah mendidik anak-anak bangsa menjadi orang-orang hebat di bidangnya. Kini, dengan kehebatan hasil didikanmu pula mereka mempermalukanmu.
Mari kita tunggu hasil perjuangan PGRI, Kemendikbud Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan ditunggu jutaan guru. Kita tunggu perlindungan pada guru, termasuk yang sedang bermasalah secara hukum sesuai Pasal 2 Permendikbud Nomor 10 tahun 2017 bahwa dijelaskan, regulasai tersebut memberikan perlindungan pada pendidik dan tenaga kependidikan yang menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas, meliputi hukum, profesi, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak atas kekayaan intelektual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H