Pertemuan pertamaku dengan Julia dimulai saat kulihat dirinya di pesta dansa Capulet. Julia mengenakan gaun putih panjang; menggulung hampir semua rambutnya ke atas. Poninya yang panjang jatuh terurai menghiasi wajahnya yang mungil. Ia nampak bagaikan bidadari dan membuatku merasa berada di surga. Hanya beberapa detik aku bertemu dengannya, telah menghilangkan perasaanku terhadap Rosaline, gadis yang kusuka. Bayang-bayang Rosaline kini telah digantikan sosok Julia yang begitu indah.
Setelah memberanikan diri untuk menyapanya, akhirnya aku berhasil berkenalan dengannya. Aku sangat bahagia saat ia membalas jabatan tanganku. Ia menyebutkan namanya, demikian juga denganku. Ia begitu ramah dan lembut. Aku benar-benar ingin memilikinya. Dengan keras aku memikirkan bagaimana cara untuk dapat bertemu kembali dengan Julia. Ah! Kuajak saja ia untuk bertemu di taman, pikirku dalam hati. Aku pun segera memintanya untuk menemuiku di taman lima hari lagi. Wajah manis nan elok itu pun menyetujui usulanku.
Sejak saat itu, aku telah jatuh cinta pada Julia. Ia begitu memesona, aku tak pernah bertemu dengan gadis seperti ia. Aku terus mencari cara agar ia menjadi kekasihku. Namun, tak banyak yang bisa kulakukan. Mungkin ini hal yang konyol, tetapi aku percaya kekuatan doa. O, Tuhan Yang Maha Pengasih, aku mohon pada-Mu agar Julia mempunyai perasaan yang sama denganku, amin, pintaku pada Tuhan sebelum aku memejamkan mata.
Hari bergulir dengan lama saat aku sangat merindukan Julia. Waktuku habis untuk merancang kata-kata lamaranku untuknya. Aku yakin bahwa Julia adalah pasangan hidupku selamanya. Di sisi lain, aku tahu bahwa Paris adalah calon suami Julia. Begitu sakit hatiku saat mengingat hal ini. Paris memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Capulet, ayah Julia, sedangkan aku? Tentu saja, keluarga kami satu sama lain saling bermusuhan. Entah apa yang terjadi di masa lalu mereka. Aku kehilangan harapan, tetapi aku terus berdoa kepada Tuhan hingga hari yang kutunggu pun datang.
Romeo : ”Ah, Julia, aku sangat bahagia kita dapat bertemu kembali. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku dan sangat ingin aku sampaikan kepadamu,” ucapku dengan penuh perasaan.
Julia : “Ya, Romeo, aku juga bahagia melihatmu lagi di taman ini. Sampaikanlah maksud hatimu itu agar terbebaslah dari segala belenggu.”
Romeo : “Begini, aku tahu dirimu akan segera menikah dengan Paris, aku akan sangat bahagia bila kau juga.”
Julia : “Lalu?”
Romeo : “Ah, ya, aku merasa tidak pantas mengucapkan ini. Entah mengapa sejak bertemu denganmu, aku menjadi jatuh cinta kepadamu dan ingin sekali mempersuntingmu. Aku tahu ini tidak masuk akal, tetapi inilah yang aku rasakan terhadapmu. Maafkan aku terlalu lancang, aku yakin kau adalah pasanganku yang abadi.”
Julia : “Romeo, aku sungguh bahagia mendengar ucapanmu. Kautahu? Aku pun merasakan hal yang sama. Selama ini aku hanya dipaksa untuk menikah dengan Paris, tetapi hatiku justru membencinya. Saat melihatmu aku seperti melihat sosok lelaki yang kudamba. Kalau begitu, kita harus memikirkan cara agar kita dapat menikah dan aku pun akan terbebas dari Paris.”
Romeo : “Sungguh aku tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Terima kasih, Julia. Aku sangat berterima kasih kepadamu. Baiklah, mungkin kita harus menemui Paris agar ia mau membatalkan pernikahannya denganmu. Aku berani melakukan ini demi kita berdua. Lebih baik kita ke rumah Paris sekarang.”
--
Julia menyetujui usulanku. Sesampainya di rumah Paris, aku dan Julia disambut oleh Paris dengan tidak sopan. Ia hanya tertawa-tawa melihat kami yang berpegangan tangan dan menyampaikan maksud kami untuk segera menikah. Dengan tertawa Paris segera mengambil pedangnya dan berusaha menyerangku. Aku begitu panik. Kupaksa Julia untuk bersembunyi. Aku terus berlari menghindari amukan Paris. Tanpa sengaja aku tersandung oleh tumpukan benda panjang berwarna hitam. Aku sadar bahwa itulah sebuah pedang yang ditutup dengan sarung hitam. Aku mengambilnya sebagai senjataku melawan Paris.
Dengan sigap dan penuh keberanian kuserang Paris yang begitu gagah. Aku hanya mampu membalas setiap serangan darinya. Ia mulai terlihat kelelahan, momen ini aku manfaatkan untuk menyerangnya dengan liar. Ia semakin terlihat kepayahan, hingga akhirnya ia terjatuh karena tak tahan atas luka sayatan yang memenuhi lengannya. Aku menjadi tidak tega terhadapnya, tapi, aku tak peduli, kuputuskan untuk meninggalkannya.
Aku berjalan ke arah Julia dengan tergopoh-gopoh. Julia justru menyambutku dengan teriakan, “Awas di belakangmu!” Aku menyadari Paris sedang menyerangku kembali, dengan cepat aku berbalik badan dan memasang pedangku tepat di dada. Dan akhirnya Paris tertusuk pedangku. Dengan bersimbah darah dan menahan sakit yang amat sangat, Paris akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
Julia segera memelukku dan memaksa agar kami untuk segera ke rumahku. Kami berlari dengan perasaan yang tercampur aduk. Saat tiba, aku dan Julia segera membersihkan diri dan pergi ke gereja yang tidak jauh dari rumahku. Kami pun menikah dengan bantuan pendeta dan beberapa orang temanku. Setelah mengucapkan janji suci, aku mengecup kening Julia yang sekarang menjadi istriku. Aku sangat bahagia dapat memilikinya. Ini adalah jawaban dari doa-doaku. Tak lupa, aku berdoa agar keluarga kami menyetujui pernikahan kami dan mau berdamai. Semoga Tuhan menjawab doaku lagi.
Adaptasi kisah Romeo-Juliet, karya William Shakespeare.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H