Melakukan hal-hal yang tidak baik bagi health and well-being hanya akan membuat hidup kita sengsara pada akhirnya, seperti minum alkohol dan obsesitas, merokok juga merupakan salah satu perilaku yang berdampak buruk bagi health and well-being karena dihubungkan dengan kualitas hidup yang menurun dan memperpendek harapan hidup. Â Pada tahun 2014, Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat Amerika Serikat menyatakan 30% perokok dari seluruh dunia berada di Cina, 10% berada di India dan tambahan 25% berasal dari negara gabungan Rusia, Amerika Serikat, Indonesia , Brasil, Jepang, Turki dan Jerman (Grison & Gazzaniga, 2019).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan data bahwa  991 juta orang di dunia pada tahun 2020 merupakan perokok berusia 15 tahun keatas, dan mengalami penurunan sebanyak 3,41% atau 35 juta orang dengan tahun 2015 yang berjumlah 1026 miliar orang (Rizaty, 2021). Pada Indonesia sendiri terdapat kenaikan 8,8 juta orang jumlah perokok dewasa, dengan 60,3 juta di tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok di tahun 2021, dan penurunan persebaran perokok di Indonesia dari 1,8% menjadi 1,6% (Humas Litbangkes, 2022).
Health and well-being dalam bidang psikologi merupakan sesuatu yang  mempelajari tentang bagaimana perilaku dan sistem sosial mempengaruhi kesehatan sesesorang, juga memastikan seseorang hidup sehat dan sejahtera dari usia dini hingga lanjut usia (Grison & Gazzaniga, 2019).
Health atau kesehatan adalah aktif secara fisik dengan tidak merokok, minum alkohol, tidak memiliki banyak lemak dalam tubuh atau tidak kelebihan berat badan dan makan-makanan yang bergizi, dimana hanya beberapa persen orang di dunia yang memenuhi kriteria tersebut (Loprinzi et al., 2016). Sedangkan well-being atau kesejahteraan merupakan keadaan positif dimana seseorang sedang merasakan kondisi terbaik dalam hidupnya. Untuk mencapai posisi tersebut seseorang perlu berjuang untuk kesehatan dan kepuasan hidup yang optimal (Grison & Gazzaniga, 2019).
Merokok merupakan suatu perilaku yang menjadi hal biasa dikehidupan sehari-hari  mulai dari remaja, dewasa bahkan lansia. Dalam bukunya yang berjudul "Psikologi Kesehatan", Smet memberitahukan bahwa umur sebelum 19 tahun merupakan awal dari seseorang untuk mulai merokok (Smet, 1994).Â
Awalnya hanya coba-coba, kemudian membeli, menghisap dan menghembuskan asap rokok yang  dilakukan dalam kehidupan sehari-hari mencakup kedalam perilaku merokok. Tak jarang merokok dianggap sebagai pengurang kadar stres yang dialami seseorang dengan respon spesifik dari seluruh respon (Chaplin, 2000). Benar bahwa nikotin bisa memberikan efek ketenangan yang menyebabkan stres berkurang, namun hal tersebut hanya berlangsung selama nikotin tersebut masih ada,  ketika kandungan nikotin hilang mereka menjadi lebih mencari rokok lagi hingga akhirnya ketergantungan  (Parrott, 1999).
Dampak dari perilaku merokok jika dilihat dari  berbagai perspektif sangatlah buruk dan merugikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain (Komasari & Helmi, 2000). Jika dilihat dari kacamata kesehatan, kandungan bahan kimia seperti nikotin dan karbon monoksida atau CO pada rokok akan menyebabkan terpacunya susunan kerja dari saraf pusat sampai saraf simpatis sehingga mengakibatkan meningkatnya tekanan darah dan detak jantung yang berdegup cepat  (Kendall & Hammen, 1998).Â
Kanker dan berbagai penyakit kronis yang membahayakan seperti paru-paru, jantung, penyempitan pembuluh darah, dan bronchitis merupakan akibat dari mengonsumsi rokok (Kaplan et al., 1993).
Asap yang dikeluarkan ketika seseorang menghembuskan rokok juga berdampak buruk yang kemudian berimbas pada lingkungan dan orang di sekitar perokok tersebut Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perokok pasif mendapatkan dampak negatif lebih banyak dibandingkan dengan perokok aktif itu sendiri. Seperti pada ibu hamil  yang terpapar asap rokok atau bahkan merokok merupakan salah satu penyebab bayi lahir dengan mortalitas prenatal, prematur, berat badan bayi rendah dan kemungkinan cacat ketika lahir (Davison et al., 1995).Â
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di tahun 2008 memaparkan bahwa rokok menyebabkan 5,4 juta jiwa di dunia meninggal setiap tahunnya (Grison & Gazzaniga, 2019). Hal tersebut dikarenakan kandungan zat adiktif  dan berbahaya pada rokok seperti bahan kimia, nikotin, timah hitam (PB), gas karbon monoksida (CO), yang terakhir tar (Herawati, 2010).
Para perokok biasanya baru akan berhenti saat berada di titik terendah mereka. Seperti pada seseorang yang dirawat karena masalah  jantung, paru-paru dan penyempitan pembuluh darah (Kaplan et al., 1993). Proses mereka berhenti untuk merokok pun tidak mudah. Sebagian besar perokok yang sedang mencoba untuk berhenti merokok dan menggantinya dengan rokok elektrik, mereka berpikir bahwa rokok elektrik tidak mengandung tembakau dibandingkan rokok biasa(Grison & Gazzaniga, 2019).Â
Padahal belum ditemukan studi tentang rokok elektrik tidak lebih membahayakan daripada rokok biasa, meskipun beberapa penelitian menunjukkan rokok elektrik sedikit lebih membantu perokok untuk berhenti merokok (Bullen et al., 2013). Â
Namun, solusi terbaik untuk berhenti merokok memiliki beberapa tindakan seperti, obat resep bernama Chantix yang bertindak sebagai agonis parsial untuk reseptor nikotin dengan memberikan efek yang diinginkan dari merokok tanpa harus merokok, lalu dengan mengunyah permen karet juga bisa membuat seseorang mengalihkan perhatiannya dari rokok dan yang terakhir adalah mencari kesibukan agar perhatian kita untuk merokok teralihkan, (Grison & Gazzaniga, 2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H