Mohon tunggu...
Faradian ardiani
Faradian ardiani Mohon Tunggu... -

Menulis bukan hanya memburu kepuasan, tapi juga berjelajah menelusuri alam pikir diri sendiri sejauh jauhnya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengembalikan Orde Baru, Jadi Pilihankah?

14 April 2019   12:08 Diperbarui: 14 April 2019   12:15 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Penak jamanku to?' tentu hampir semua yang pernah berkendara atau melewati jalan raya setidaknya pernah atau bahkan sering melihat tulisan tersebut dari atas kendaraan kita. Tulisan dengan sandingan gambar Presiden kedua indonesia Soeharto sangat banyak dijumpai ketika kita melewati jalan tol atau jalan raya antar provinsi.

Waw, seketika saya berfikir bahwa lukisan itu muncul karena memang ada masyarakat yang sudah 'engap' dengan kehidupan ekonomi mereka yang begitu begitu saja, atau rezim yang sudah lama ditinggalkan ini secara diam diam sedang bergerilya mengambil bagian dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia untuk kembali bangkit dari kuburnya. Ahh seram sekali, tapi apakah memang seseram itu?

Kembali mengingat twit yang sempat dilontarkan oleh anak kedua Soeharto pada beberapa pekan lalu, yang menyebutkan akan mengembalikan kejayaan masa kepemimpinan sang ayah, sepertinya Ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya Titiek Soeharto sudah menantikan momen pergantian presiden ini dan segera mewujudkan keinginannya itu.

Sepertinya sudah menjadi rahasia umum jika dikatakan pemerintahan di masa 32 tahun Soeharto mempimpin sebagai Presiden Indonesia segala sesuatu menjadi tertutup, tidak transparan dan memaksa. Pers dibatasi perannya, Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela dari eksekutif, legislatif hingga ke akar akarnya secara brutal. Penggunaan aparatur negara seperti Komando Operasi  Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) sebagai 'tangan' untuk mengendalikan rakyat dalam merespon kebijakan pemerintah saat itu. Sehingga tidak ada yang berani untuk berpendapat apalagi mengkritik kebijakan kebijakan pemerintah. Salah satu contoh peristiwa yang santer terdengar pada saat adalah peristiwa Tanjung Priuk, akibat dari tindakan tindakan represif yang dilakukan ABRI saat itu berakhir dengan tewasnya beberapa orang. Serta banyak lagi kasus kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa kelam itu.

Keberhasilan pada masa Soeharto yang digadang-gadang ingin diulangi lagi oleh keturunan orde baru adalah terwujudnya swasembada pangan. Ditambah lagi Presiden Soeharto pernah menerima penghargaan dari FAO dan mendapatkan kehormatan untuk berpidato dalam forum resmi karena capaiannya dalam swasembada pangan pada tahun 1984.

Indonesia pada saat itu juga dapat menyumbangkan 100.000 ton padi ke korban kelaparan di Afrika. Kejayaan itu sangatlah membuat mata dunia terbelalak dan mengakui kuatnya kemandirian pangan Indonesia. Namun, fakta lain yang terjadi adalah swasembada pangan yang dibanggakan ini tidaklah berlangsung lama alias fatamorgana. Jika kita buka kembali sejarahnya pemerintahan Soeharto kala itu hanya mampu mempertahankan swasembada pangan selama lima tahun selama 32 tahun menjabat, itupun kita masih mengimpor beras sebanyak 414 ribu ton ditahun yang sama, 1984.

Indikator ketahanan pangan kala itu adalah pada terjangkaunnya harga beras oleh masyarakat. Namun benarkah demikian? Apakah masyarakat Indonesia hanya butuh beras untuk makanan sehari hari nya? Pemerataan penanaman lahan pertanian yang hanya difokuskan pada padi ternyata membuahkan ketahanan pangan yang rapuh. Dengan hanya mengandalkan definisi ketahanan pangan berdasarkan kemampuan masyarakat membeli beras dan terfokus pada stabilitas harga saja. Nyatanya ketahanan pangan yang kokoh tidaklah sesederhana itu.

Memasuki 1990 Indonesia akhirnya kembali mengimpor beras bahkan mencapai 3 juta ton di tahun 1995,  meningkat hingga 5 juta ton dan pada puncaknya rekor impor beras tertinggi pada tahun 1998 sebanyak 6 juta ton yang seketika juga merupakan akhir dari masa kejayaan Soeharto dengan dilengserkannya dari kursi kepresidenan.

Jadi dengan fakta diatas apakah lukisan bak truk yang beredar di jalan raya 'lebih penak jamanku' ini masih relevan untuk kita pertimbangkan bahkan sekedar sebagai pilihan? Sepertinya masyarakat pun perlu sesekali menengok kebelakang dan melihat kembali sejarah Indonesia secara lebih dekat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun