Mohon tunggu...
Faradia Kristanti Dewi
Faradia Kristanti Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa jurusan KPI UINSU, saya tertarik dengan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mungkinkah Hidup Bahagia Tanpa Allah?

20 Desember 2024   20:00 Diperbarui: 20 Desember 2024   19:35 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan ini, sederhana namun mendalam, telah mengusik hati manusia sejak zaman dahulu kala.  Konsep kebahagiaan sendiri relatif, bergantung pada persepsi dan pengalaman individu.  Namun, jika kita menilik akar-akar kebahagiaan sejati,  apakah mungkin meraihnya tanpa mengakui dan menghubungkan diri dengan Sang Pencipta, Allah SWT?  Banyak orang mungkin berpendapat bahwa kebahagiaan dapat diraih melalui pencapaian materi, kesuksesan karier, atau hubungan sosial yang harmonis.  Tentu saja, semua itu dapat memberikan kepuasan sementara dan rasa senang.  Namun, kepuasan tersebut seringkali bersifat fana, rapuh, dan mudah hilang seiring perubahan keadaan.  Kekayaan bisa habis, karier bisa runtuh, dan hubungan bisa retak.  Di sinilah letak perbedaan mendasar antara kebahagiaan sesaat dan kebahagiaan sejati yang abadi.


Kebahagiaan sejati, menurut perspektif Islam, bersumber dari hubungan yang erat dan tulus dengan Allah SWT.  Ini bukan sekadar ritual keagamaan belaka, melainkan sebuah ikatan batin yang mendalam,  di mana manusia menemukan ketenangan, kepuasan, dan makna hidup yang hakiki.  Dengan mengakui keberadaan Allah SWT sebagai Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, manusia menemukan tempat berpijak yang kokoh di tengah gejolak kehidupan.  Ia merasa terlindungi, terarah, dan memiliki tujuan hidup yang jelas, yaitu untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Keimanan yang kuat memberikan kekuatan batin untuk menghadapi cobaan dan tantangan hidup dengan sabar dan tawakkal.  Keteguhan hati ini, yang bersumber dari keyakinan akan rencana Allah SWT,  menjadi benteng pertahanan dari rasa putus asa, kecemasan, dan keputusasaan.

Selain itu, hubungan dengan Allah SWT juga mendorong manusia untuk berbuat baik kepada sesama.  Ajaran Islam menekankan pentingnya kasih sayang, keadilan, dan kepedulian sosial.  Dengan berbuat baik, manusia tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga merasakan kepuasan batin yang mendalam.  Inilah bentuk kebahagiaan yang berkelanjutan, yang tidak bergantung pada faktor eksternal.  Kebahagiaan yang lahir dari amal saleh, dari usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama, adalah kebahagiaan yang abadi, yang akan terus menyertai manusia baik di dunia maupun di akhirat.  Oleh karena itu,  mungkinkah hidup bahagia tanpa Allah SWT?  Jawabannya mungkin tergantung pada definisi kebahagiaan masing-masing individu.  Namun, jika kita berbicara tentang kebahagiaan sejati, yang abadi dan tidak tergoyahkan oleh gejolak dunia, maka jawabannya adalah tidak.  Kebahagiaan sejati hanya dapat diraih melalui hubungan yang tulus dan mendalam dengan Allah SWT, Sang Pemberi Kebahagiaan yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun