Sistem Ekonomi Ali Baba dicetuskan Menteri Perekonomian, Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo pada kabinet Ali Sastroamidjojo 1 pada tahun 1954-1955. Istilah "Ali" merupakan sebutan untuk para pengusaha pribumi, sedangkan istilah "Baba" merupakan sebutan bagi pengusaha Tionghoa. Ali Baba merupakan sistem ekonomi yang berusaha untuk membangkitkan perdagangan lokal, sehingga lebih menekankan pada kebijakan Indonesianisasi yang mendorong perkembangan para pengusaha swasta nasional pribumi.Â
Adanya sikap pemerintah Indonesia terhadap modal asing sepanjang tahun 1950-an dipengaruhi oleh pengalaman sejak zaman kolonial Belanda. Pandangan terhadap modal asing, khususnya modal Belanda menjadi penghambat terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia.Â
Pada saat itu, modal asing dijalankan hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dari Indonesia, tanpa berpartisipasi dalam perbaikan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup rakyat secara umum. Pengaruh modal asing yang menguasai perekonomian Indonesia pada awal pasca penyerahan kedaulatan menjadi hal yang menyulitkan bagi pemerintah Indonesia.Â
Perusahaan-perusahaan asing tersebut masih beroperasi karena Indonesia terikat komitmen yang tercantum dalam KMB yaitu mewajibkan pemerintah Indonesia untuk menghormati legitimasi keberadaan perusahaan-perusahaan asing, khususnya perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Tujuan sistem ekonomi Ali-Baba yaitu sebagai berikut :
1.Memajukan dan mensejahterakan para pengusaha pribumi.
2.Membangun kerja sama antara pengusaha pribumi untuk memajukan ekonomi nasional.
3.Mengembangkan pengusaha swasta nasional pribumi untuk merombak sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
4.Untuk menjalin kerjasama antara pengusaha pribumi dan non-pribumi.
Selain itu, terdapat kebijakan-kebijakan dalam sistem ekonomi Ali Baba yaitu sebagai berikut :
1.Bagi pengusaha asing wajib untuk memberikan pelatihan dan memberikan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia untuk menduduki jabatan-jabatan staf.
2.Mendirikan perusahaan-perusahaan negara.
3.Menyediakan kredit dan lisensi baru bagi perusahaan swasta nasional yang disediakan oleh pemerintah.
4.Pemerintah memberikan perlindungan bagi perusahaan-perusahaan swasta nasional agar mampu bersaing dengan perusahaan asing.
Sistem ekonomi Ali Baba didukung oleh serangkaian kebijakan yang bertujuan untuk memfasilitasi kerja sama dan mendorong pertumbuhan bisnis masyarakat adat. Kebijakan-kebijakan tersebut meliputi:
1.Partisipasi masyarakat adat.
Yaitu mendorong perusahaan-perusahaan masyarakat adat untuk berperan dalam usaha patungan dengan mitra-mitra non-asli, mendorong transfer pengetahuan, dan meningkatkan kapasitas lokal.
2.Akses terhadap Modal.
Yaitu memberikan dukungan keuangan dan akses terhadap modal bagi pengusaha pribumi, sehingga memungkinkan mereka untuk membangun dan memperluas usaha yang dijalaninya.
3.Kontribusi terhadap Perekonomian Indonesia.
4.Promosi Kewirausahaan.
Yaitu dengan memfasilitasi kerja sama antara bisnis masyarakat adat dan non-pribumi. Sistem ini telah menciptakan peluang bagi calon wirausaha untuk memasuki pasar dan mewujudkan ide bisnis mereka.
5.Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja.
Sifat kolaboratif sistem Ali-Baba telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, sehingga mendorong pembangunan secara keseluruhan di Indonesia.
Meskipun terdapat sejumlah kebijakan yang membantu perekonomian Indonesia, namun sistem ekonomi Ali Baba mengalami kegagalan. Faktor penyebab kegagalan tersebut yaitu sebagai berikut :
1.Banyak pengusaha pribumi yang mengalihkan usahanya ke pengusaha non-pribumi. Hal ini terjadi karena pengusaha pribumi masih belum berpengalaman dalam menjalankan usahanya.
2.Bantuan kredit yang diberikan pemerintah tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pengusaha pribumi. Sehingga banyak dijumpai kasus penyimpangan penggunaan bantuan kredit yang berasal dari pemerintah.
3.Pengusaha pribumi masih belum berpengalaman.
Kemampuan yang dimiliki oleh pengusaha pribumi masih sangat minim, sehingga pengusaha pribumi harus belajar lebih banyak dari pengusaha asing, sehingga hal ini menyebabkan pengusaha pribumi sulit untuk bersaing dengan pengusaha asing di pasar bebas.
4.Pengusaha pribumi menciptakan makelar lisensi.
Pada awalnya sistem ekonomi Ali-Baba bertujuan untuk mendorong pengusaha pribumi agar dapat berkembang. Namun, dalam pelaksanaannya sistem ekonomi Ali Baba justru menciptakan makelar lisensi.
      Pada masa kepemimpinan Kabinet Ali Sastroamodjojo I, kebijakan ekonomi yang dilakukan lebih menekankan Indonesianisasi perekonomian dan memberi bantuan kepada para pengusaha pribumi melalui sistem ekonomi Ali-Baba. Namun, dalam pelaksanaanya program ini justru memberikan banyak kerugian bagi Indonesia. Pasalnya, banyak perusahaan-perusahaan baru yang hanya merupakan kedok-kedok palsu bagi persetujuan antara para pendukung pemerintah dan orang-orang Cina, yang disebut dengan perusahaan "Ali-Baba", dimana seorang Indonesia ("Ali") mewakili seorang pengusaha Cina ("Baba") yang sebetulnya merupakan pemilik perusahaan tersebut. Selama pemerintahan Kabinet Ali I, persediaan uang meningkat hingga 75% dan nilai tukar rupiah pada pasar bebas turun dari 44,7% menjadi 24,6%. Banyak terjadi kasus penyelundupan dan satuan-satuan tentara yang miskin ikut serta dalam kasus tersebut. Sistem ekonomi Ali-Baba juga memberikan dampak negatif pada kaum pribumi pada masa itu. Salah satu dampak negatif yaitu bantuan kredit yang diberikan oleh pemerintah tidak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh kaum pribumi. Selain itu adanya penjualan lisensi secara ilegal yang sangat merugikan pengusaha pribumi. Namun, meskipun begitu juga terdapat dampak positif dari diterapkannya sistem ekonomi Ali Baba yaitu peranan pengusaha pribumi semakin berkembang untuk kemajuan perekonomian Indonesia.
Sumber:
Iskaq Tjokrohadisuro adalah Menteri Perekonomian Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1953-1955).
Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2001, hlm. 37.
Ibid., hlm. 41.
Sistem Ekonomi Ali-Baba merupakan fase ke-2 dari Program Benteng. Pada sistem ini, Ali Mengambil langkah lebih tegas. Jika pada awal tahun 1953 para importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor-impor, maka mereka telah menerima 80-90% pad bulan ke-14 Pemerintahan Kabinet Ali. Jumlah importir pribumi juga meningkat pesat. Kelompok Benteng yang berjumlah 700 Perusahaan pada awal Kabinet, hingga bulan November 1954 jumlahnya telah meningkat sampai 4000-5000 perusahaan. Bondan Kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2001, hlm.9.
Ricklefs M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta, Serambi, 2005, hlm.489-490
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI