Mohon tunggu...
Meilina Faradiba
Meilina Faradiba Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional di UPN “Veteran” Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi Diplomasi Olahraga pada Asian Games 2018

2 April 2023   19:47 Diperbarui: 2 April 2023   20:13 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan "diplomasi publik" mengacu pada tindakan yang diambil oleh individu atau kelompok untuk mendorong hubungan persahabatan antar bangsa (Peterson, 2014). Ketika menulis tentang dampak opini publik terhadap perumusan dan implementasi pilihan kebijakan luar negeri pada tahun 1965, diplomat Amerika Edmond Gullion memperkenalkan frasa "diplomasi publik" untuk pertama kalinya dalam sejarah (Charles Nattier, 2015). Pada awalnya, diplomasi publik berupa pendefinisian seperti apa kewajiban seorang diplomat kepada publik (Pigman, 2010). Gullion menggunakan frasa ini untuk menggarisbawahi perlunya diplomasi publik---seperti yang dikenal dalam tradisi Wilsonian---untuk dicakup dalam program pelatihan diplomat AS. Istilah "diplomasi publik" dimodifikasi untuk merujuk pada operasi diplomat yang secara tradisional disebut sebagai "propaganda" atau "informasi", yaitu praktik diplomasi yang ditujukan untuk mempengaruhi masyarakat secara langsung, bukan hanya pemerintah. Kegiatan ini telah berubah secara signifikan sejak Perang Dunia Pertama (Pigman, 2010).

Untuk memahami diplomasi publik, Signtzer menggunakan dua definisi dari Coombs (1992: 138--39), yaitu sebagai sarana yang melaluinya pemerintah, rakyat, dan organisasi swasta dapat secara langsung atau tidak langsung memengaruhi pilihan kebijakan luar negeri negara lain. Menurut interpretasi mereka, diplomasi publik memperluas bidang aktivitas diplomasi tradisional, bergerak melampaui lingkup tertutup pemerintah dan diplomat dan politik tinggi, yang berurusan dengan berbagai isu dan aspek kehidupan sehari-hari, ke aktor baru dan populasi sasaran. seperti orang, organisasi, dan institusi. Banyak kelompok yang berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi internasional dan antarbudaya dan berdampak pada politik internasional. Berdasarkan referensi diatas, semua pihak dapat menjadi pelaku diplomasi. Keterbatasan yang ada kemudian memudar dan berubah dengan konteks yang mampu mengakomodasi ketertarikan mereka. Salah satu contoh inovatif dari diplomasi publik adalah diplomasi pendidikan (Murphy, 2013). Diplomasi olahraga jatuh dalam kawasan diplomasi publik.

Diplomasi publik menurut Nye memiliki tiga dimensi. Yang pertama adalah komunikasi reguler, yang memerlukan penjabaran keadaan pilihan kebijakan domestik dan internasional. Aspek ini sangat penting dalam menyoroti dan menguraikan posisi pemerintah di era internet yang kaya informasi, terutama ketika merencanakan krisis di mana komunikasi intensif pemerintah diantisipasi lebih diutamakan daripada konten yang tampaknya bertentangan dengan cita-cita negara. Pada komponen kedua, komunikasi strategis, seperti dalam kampanye politik atau periklanan, kumpulan topik langsung dikembangkan.

Diplomasi olahraga tidak diragukan lagi telah digunakan di Indonesia yang memiliki sejarah panjang, termasuk sekali di Asian Games 2018. Semua atlet dari berbagai negara di Asia bersaing dalam turnamen kontinental multi-olahraga yang dikenal sebagai Asian Games yang diadakan setiap empat tahun sekali. bertahun-tahun. Sejak Asian Games pertama di New Delhi, India, hingga perhelatan Asian Games 1978 diawasi oleh Asian Games Federation (AGF). Dengan pembubaran AGF, Dewan Olimpiade Asia (OCA) bertugas menyelenggarakan Asian Games sejak 1982. International Olympic Organization (IOC) telah mengakui Asian Games sebagai kompetisi multi-olahraga kedua setelah Olimpiade (Huebner, 2016).

Asian Games sudah diselenggarakan sebanyak 18 kali hingga tahun 2018, dan Indonesia sudah menjadi tuan rumah sebanyak 2 kali. Pada tahun 1962 pada masa Soekarno dan tahun 2018 pada masa Jokowi. Tujuh belas tahun setelah mengumumkan kemerdekaannya, pada 1962, Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah Asian Games ke-4. Asian Games 1962 digerakkan oleh Presiden Soekarno dan alasan dibangunnya berbagai fasilitas megah, seperti: Stadion Gelora Bung Karno di Senayan, TVRI, Hotel Indonesia, Persimpangan Semanggi, Monumen Selamat Datang. Diikuti 1.460 atlet yang mewakili 17 negara di Asia, Asian Games 1962 menampilkan hanya 13 cabang olahraga atletik, akuatik (renang, lomcat indah, dan polo air), bola basket, tinju, balap sepeda, hoki, sepak bola, menembak, tenis meja, tenis, bola voli dan gulat. Indonesia ingin menunjukan pada dunia bahwa Indonesia merupakan negara yang besar. Seperti yang dikatakan oleh Soekarno kita tunjukan pada dunia, Indonesia bangsa yang besar, yang mampu maju ke muka memimpin pembebasan bangsa-bangsa di dunia menuju dunia barunya. Meski saat itu banyak negara yang menyaksikan, Indonesia mampu membuktikan kemampuannya secara gemilang. Selain berhasil menduduki posisi kedua terbaik dalam kompetisi, berkat kesuksesan acara, Indonesia mulai disegani negara-negara di dunia saat itu (Asian Games, 2018).

Fakta bahwa Asian Games 2018 berjalan relatif sukses dan aman serta mampu menampilkan Indonesia dan budaya Indonesia melalui Bhinneka Tunggal Ika menegaskan keberhasilan acara tersebut. Para peneliti percaya perlunya mengkaji motivasi dan efek penyelenggaraan event olahraga internasional, yang lebih dari sekadar event olahraga tetapi juga merupakan salah satu bentuk diplomasi, dan telah mengangkat kajian tentang penyelenggaraan event atletik seperti Asian Games sebagai instrumen diplomasi Indonesia. Kementerian Pemuda dan Olahraga, juga dikenal sebagai INASGOC, badan penyelenggara Asian Games 2018, merilis dua film promosi, yang digunakan Indonesia sebagai bagian dari pendekatan awal mereka untuk menyampaikan monolog.

Film-film iklan yang merupakan bagian dari kampanye Asian Games 2018 ini dipublikasikan untuk mengiklankan Indonesia (Jakarta dan Palembang) sebagai negara tuan rumah Asian Games 2018. Video pertama berjudul Asian Games 2018 Energy of Asia, menggunakan bahasa Inggris, dan berdurasi 1 menit 31 detik. Konten video ini menggambarkan keragaman Indonesia dan persiapan tak kenal lelah para atlet menuju Asian Games 2018. Ia juga menggunakan slogan "Energy of Asia", yang menggambarkan kesatuan dalam keragaman, serta kualitas video hingga 720p. Film kedua yang berjudul Asian Games 2018 Energy of Asia menggunakan bahasa Indonesia dan memiliki konten yang sama dengan yang pertama, namun memiliki runtime yang lebih lama yaitu 16 hari dan kualitas video yang lebih tinggi yaitu mencapai 720p. Dua video yang dimaksud telah dihapus dari saluran YouTube Asian Games 2018 ke-18 oleh INASGOC. Cerita pertama di film kedua adalah tentang Indonesia yang menjadi negara terkemuka di Asia, khususnya di Jakarta dan Palembang. Ini juga menyoroti energi negara dan menyoroti para atlet yang berlaga di ajang multi-olahraga terbesar di Asia. Film ini menggambarkan bahwa kemanusiaan kita bersama tidak akan hancur dan perbedaan tidak selalu menjadi masalah.

Indonesia dapat memanfaatkan Asian Games 2018 sebagai medium untuk memamerkan pencapaian-pencapaian besar bangsa Indonesia kepada dunia, tidak saja dalam olah raga, namun juga ekonomi, budaya, sosial, dan politik, dengan tujuan hampir sama dengan apa yang telah dicapai China dan negara-negara di atas itu. Alhasil, segala usaha, termasuk pembuatan film Asian Games, tersebut tidak hanya menampilkan Indonesia (Jakarta dan Palembang) sebagai tuan rumah Asian Games 2018, tetapi juga menyoroti keberagaman Indonesia. Inisiatif ini sangat tepat mengingat INASGOC secara efektif memanfaatkan momentum Asian Games 2018 untuk mendongkrak reputasi baik Indonesia. 5.000 peliput dari 45 negara, ditambah 150.000 turis asing, tentu saja tidak hanya ingin mengabarkan dan menyaksikan apa yang bakal terjadi di gelanggang olah raga, namun juga mengenai bagaimana atlet seluruh Asia bisa bertanding dan berlomba dengan nyaman dan aman selama Asian Games 2018. Konsekuensinya mereka datang untuk turut menikmati, mencerap, dan mengalami bagaimana Indonesia menyediakan fasilitas-fasilitas olah raga, sistem akomodasi dan transportasi, sampai pelayanan atlet. Ketika mereka menyimpulkan betapa megah, modern, tertata, berbudaya, dan profesionalnya Indonesia dalam menyelenggarakan Asian Games, maka mereka pasti akan mencari tahu mengapa Indonesia bisa melayani peserta Asian Games 2018 dengan semodern, seprofesional, seteratur dan seburbadaya seperti yang mereka bayangkan dan harapkan, bahkan mungkin jauh lebih besar dari ekspektasi mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun