Mohon tunggu...
Fara AnandaPratiwi
Fara AnandaPratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

A Public Relations and Digital Communication student at Jakarta State University with a strong interest in public speaking, editing, videography and social media. Can work in a team, have good time management skills, be responsible and adaptable.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pernikahan Dini: Antara Tradisi dan Dampak Negatif bagi Generasi Muda

20 April 2024   05:22 Diperbarui: 20 April 2024   21:19 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernikahan dini, sebuah realitas yang menghiasi kehidupan sosial, pernikahan yang dilakukan oleh seseorang pada usia yang relatif muda yang dianggap belum ideal untuk menikah, di mana mereka belum mencapai kematangan fisik, mental, emosional, dan sosial yang diperlukan untuk menjalani pernikahan dengan baik. 

Usia yang dianggap sebagai pernikahan dini dapat bervariasi. Seseorang yang menikah dibawah usia 18 tahun dianggap sebagai pernikahan dini dan pernikahan di bawah usia ini sering dianggap sebagai masalah karena risiko yang terkait dengan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial anak-anak yang menikah pada usia tersebut. Namun, di beberapa tempat, usia pernikahan dini bisa lebih rendah lagi, tergantung pada norma budaya dan agama setempat. 

Pernikahan dini muncul dari berbagai faktor seperti ekonomi, status sosial, agama, seperti upaya untuk menghindari zina. Namun, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah menikah adalah satu-satunya cara untuk menghindari zina? Mengapa tidak fokus pada pendidikan yang komprehensif dan memberikan pemahaman tentang hubungan yang sehat dan bertanggung jawab?

Sumber: Yosep Budianto - kompas.id
Sumber: Yosep Budianto - kompas.id

Dari data yang disajikan, ini menunjukkan bahwa pernikahan dini di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Barat, berada dalam tahap yang menimbulkan kekhawatiran yang signifikan. 

Fenomena pernikahan dini menunjukkan bahwa beberapa individu terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan tersebut. Ini membuka pintu bagi sejumlah dampak negatif yang dapat merusak masa depan mereka. 

Survei dari lembaga kesehatan global, khususnya dari UNICEF dan WHO, menunjukkan bahwa pernikahan dini dapat meningkatkan risiko kesehatan yang signifikan, khususnya bagi anak perempuan. Survei ini dilakukan pada tahun 2013 dan mencatat bahwa setiap hari terjadi lebih dari 39.000 pernikahan anak, dengan lebih dari 140 juta anak perempuan yang diperkirakan akan menikah antara tahun 2011 dan 2020. 

Menunjukkan bahwa pernikahan dini dapat meningkatkan risiko kesehatan fisik dan mental bagi para pelakunya. Wanita yang menikah pada usia muda memiliki tingkat komplikasi kehamilan yang lebih tinggi, sementara risiko gangguan mental seperti depresi dan kecemasan juga cenderung meningkat. Data ini mencerminkan dampak serius pernikahan dini pada kesejahteraan perempuan. Hal tersebut memberikan isyarat yang jelas bahwa pernikahan dini bukanlah solusi untuk mengatasi masalah sosial atau moral yang lebih besar.

Selain itu, pernikahan dini juga sering kali berujung pada perceraian dini. Ketidakmatangan emosional dan keuangan, serta kurangnya keterampilan dalam mengelola konflik, dapat mengarah pada kegagalan pernikahan. Ini bukan hanya menyebabkan penderitaan bagi pasangan yang terlibat, tetapi juga dapat berdampak negatif pada anak-anak yang mungkin terlahir dari pernikahan tersebut.

 Untuk anak muda yang ingin meningkatkan nilai diri mereka sebelum memutuskan untuk menikah, serta untuk mengantisipasi dampak negatif dari pernikahan dini, berikut adalah beberapa saran yang dapat diambil:

1. Pendidikan dan Pelatihan

Mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai sangat penting. Ini mencakup pendidikan formal, pendidikan non-formal, dan pelatihan keterampilan yang dapat meningkatkan kemampuan kerja dan kemampuan hidup. Pendidikan juga dapat meningkatkan kesadaran dan kemampuan untuk membuat keputusan yang lebih baik dalam kehidupan.

2. Pengembangan Keterampilan Sosial dan Emosional

Mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang baik sangat penting. Ini mencakup keterampilan komunikasi, empati, dan kemampuan untuk menyelesaikan konflik. Keterampilan ini tidak hanya membantu dalam hubungan interpersonal, tetapi juga dalam menjalani kehidupan sehat dan produktif.

3. Pengembangan Diri

Menghabiskan waktu untuk pengembangan diri sendiri, seperti olahraga, seni, atau hobi lainnya, dapat membantu meningkatkan kesejahteraan emosional dan fisik. Ini juga dapat meningkatkan kepuasan hidup dan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang.

4. Dukungan Sosial dan Emosional

Mendapatkan dukungan dari orang-orang yang penting dalam hidup mereka, seperti keluarga, teman, dan mentor, dapat memberikan kekuatan dan motivasi untuk mencapai tujuan mereka. Dukungan ini juga dapat membantu mereka mengatasi tantangan dan hambatan yang mungkin mereka hadapi.

Dengan mengambil langkah-langkah ini, anak muda dapat lebih fokus pada pengembangan nilai diri mereka dan mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang dan produktif, sebelum memutuskan untuk menikah.

Fara Ananda Pratiwi, Mahasiswa Program
Studi Hubungan Masyarakat dan
Komunikasi Digital, Universitas Negeri Jakarta angkatan 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun