Ditengah maraknya permasalahan lingkungan, sampah plastik telah menjadi momok besar yang menakutkan di kehidupan masyarakat dewasa ini. Berdasarkan penelitian dari McKinsey & Co, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah China sebagai negara penghasil sampah terbesar di dunia. Hal ini tentunya bukanlah prestasi yang membanggakan.Â
Sampah memang menjadi problematika berkelanjutan dan belum dapat terselesaikan dibanyak negara di dunia, namun bukan tidak mungkin beberapa negara di dunia telah berhasil mengembangkan industri daur ulang sampah dan mengubahnya menjadi energi terbarukan (renewable energy) sebagai sumber pembangkit listrik disetiap sudut kotanya.
Sebut saja Denmark, Swedia, dan Singapura telah berhasil mengubah ribuan ton sampah melalui sistem insinerator yang kemudian panas dari pembakaran sampah di insenerator tersebut dapat digunakan untuk sumber pembangkit listrik. Yang mengejutkan, negara-negara tersebut bahkan mengimpor sampah dari negara lain, karena kekurangan sampah.Â
Dilansir dari laman kumparan.com bersama Rasmus Abildgaard Kristensen, Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Timor-Leste, Papua New Guinea dan ASEAN, Denmark sampai mengimpor sampah dari Inggris untuk memenuhi kebutuhan pabrik pengolahan sampah agar tetap berproduksi. Â Pihaknya juga menjelaskan bahwa pada 2015 Denmark telah mengimpor sekitar 300 ribu ton sampah dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahunnya.Â
Sementara itu, di Swedia, sejak beberapa tahun terakhir negara tersebut telah mengimpor lebih dari 700 ribu ton sampah dari negara lain. Bagaimana tidak, 99 persen sampah di negara tersebut didaur ulang sehingga habis tidak bersisa, sementara pabrik pengolahan harus tetap berproduksi. Swedia memang mahir dalam memilah dan mendaur ulang sampah.Â
Sebanyak 50 persen dari sampah tersebut diolah menjadi energi, lalu sebagian menghasilkan listrik bagi 250 ribu rumah, dan pemanas bagi 950 ribu rumah di saat musim dingin. Lain lagi dengan Singapura, negara tersebut memiliki sebuah pulau buatan yang jauh dari pantai untuk membuang abu sisa pembakaran sampah. Dan di pulau tersebut, sudah ada bendungan yang diisi dengan air khusus, lalu abu tersebut akan dimasukkan ke dalam bendungan dan tidak akan muncul kembali.
Lalu bagaimana dengan Indonesia ?. Dilansir dari laman The Jakarta Post, setiap harinya diperkirakan Indonesia menghasilkan sampah sebesar 25.000 ton dimana kurang lebih 20 persennya bermuara disungai dan pesisir pantai.Â
Permasalahan sampah telah menjadi permasalahan global saat ini, terutama di Indonesia sebagai negara dengan letak geografis yang strategis tentunya akan ada trade off sampah plastik dari negara-negara di dunia.Â
Terkait dengan hal ini, beberapa waktu yang lalu Amerika Serikat justru mengirim sejumlah kontainer berisi sampah, tidak hanya sampah kertas tetapi juga membawa banyak sampah plastik yang sulit untuk didaur ulang.Â
Hal ini tentunya semakin memperparah keadaan sampah di Indonesia. Kementrian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai telah berupaya untuk menindak lanjuti permasalahan ini dengan mengupayakan untuk mengembalikan sampah tersebut ke negara asal.Â
Adanya upaya impor sampah plastik ini, merupakan akibat yang ditimbulkan dari fenomena "trade war"yang terjadi antara China dan Amerika beberapa waktu ini, sehingga pemerintah China membatasi jumlah impor sampah dari Amerika Serikat. Sebagai dampaknya beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina menjadi korban atas keadaan ini dengan menerima sejumlah limbah impor dari Amerika Serikat.
Kemunculan kejadian ini turut memicu reaksi dari Sri Mulyani, Menteri Keuangan untuk mengeluarkan rancangan kebijakan terkait peredaran sejumlah sampah di Indonesia, dengan pemberlakuan cukai sampah plastik.Â
Dilansir dari laman katadata.co.id pihaknya sudah menyusun draft atau rumusan kebijakan cukai plastik dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) namun rumusan kebijakan ini belum bisa ditetapkan karena masih memerlukan koordinasi dengan Komisi XI DPR RI, selaku lembaga legislatif pemerintah.Â
Di kesempatan yang sama, saat rapat kerja membahas Asumsi Dasar RAPBN 2020, Sri Mulyani juga menyatakan telah menarget pungutan cukai sebesar Rp 500 miliar. Wacana kebijakan ini, tampaknya belum mendapat respon positif dari sisi pelaku usaha produsen plastik dan kementerian perindustrian.Â
Menurut Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menilai yang dibutuhkan untuk menangani permasalahan dalam pengelolaan sampah plastik di Indonesia adalah insentif untuk industri daur ulang. Permasalahan proses daur ulang sampah selama ini cukup terhambat pada proses pemilahannya lantaran jumlahnya yang sangat besar.Â
Sedangkan, pada sektor perdagangan akan terjadi penurunan terhadap produksi dan investasi pada industri tersebut, sebagai dampak dari akibat penerapan kebijakan cukai plastik terutama pada kantong belanja plastik (KBP). Selain itu, pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) juga akan ikut terkena imbas dari penetapan cukai plastik.
Dalam menghadapi tantangan permasalahan lingkungan, sampah plastik dianggap sebagai eksternalitas negatif yang akan merugikan kelangsungan hidup masyarakat.Â
Bagai dua sisi mata uang, pemerintah tentunya ingin meningkatkan daya beli masyarakat agar penerimaan negara bertambah. Namun dalam konteks ini, daya beli masyarakat tersebut akan menghasilkan efek negatif salah satunya adalah peningkatan jumlah sampah plastik yang akan berdampak pada sistem ekologi.Â
Belum lagi, isu lingkungan tentang perubahan iklim (climate change) yang salah satunya ditandai dengan ketidakstabilan iklim dan cuaca diberbagai belahan bumi. Hal ini juga turut ditandai dengan meningkatnya jumlah sampah di laut sehingga diperkirakan pada 2050 jumlah sampah akan lebih besar dari pada populasi ikan.
 Kembali lagi pada isu kebijakan cukai plastik di Indonesia, diperlukan adanya kerja sama dan keterlibatan antara pemerintah sebagai pemerhati lingkungan, dari sisi keuangan, dan perindustrian agar kebijakan yang diambil dapat tepat sasaran dan tidak menimbulkan ketimpangan antar unsur lembaga serta perlu adanya pertimbangan cost-benefit analysist dalam kebijakan tersebut.Â
Selain itu, faktor terpenting dari pengendalian sampah plastik ini berasal dari kesadaran masyarakatnya, caranya sangat mudah yaitu dengan mengurangi konsumsi plastik sehari-hari dan baiknya lagi apabila mampu mendaur ulang sampah dan menerapkan konsep reduce, reuse, recycle.Sudah selayaknya, permasalahan sampah menjadi tanggung jawab dan kesadaran bersama sehingga bumi yang sudah tua ini akan hidup bahagia dimasa tuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H