Mohon tunggu...
Faqrullah Ajengnurjannah
Faqrullah Ajengnurjannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Second Account sebagai Panggung Belakang dan Pengaruhnya pada Kesehatan Mental

23 Mei 2022   01:49 Diperbarui: 23 Mei 2022   02:01 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibuat pada platform online oleh penulis

Dewasa ini kehidupan manusia seolah sudah berpindah pada ruang digital. Berbagai aspek kehidupan telah memanfaatkan perkembangan ruang digital, salah satunya ialah aspek sosial. 

Masyarakat semakin banyak dan sering bersosialisasi melalui ruang virtual, yakni media sosial. Dilansir dari laman Investopedia (2021), media sosial merupakan teknologi berbasis komputer yang memungkinkan individu untuk berbagi ide; gagasan dan informasi melalui jaringan dan komunitas digital. Media sosial memungkinkan komunitas digital untuk berbagi konten seperti informasi pribadi, dokumen, film, dan gambar secara cepat. 

Luddin (2016) menjelaskan bahwa pada media sosial, masyarakat digital dapat berdiskusi, sharing, memberikan edukasi, bermain bahkan bekerja secara virtual. Individu pengguna media sosial saling terkoneksi melalui perangkat lunak atau aplikasi berbasis web di komputer, tablet, atau smartphone yang terhubung dengan jaringan internet. 

Saat ini pengguna media sosial aktif sebanyak 3,6 milliar dengan rata-rata penggunanya menghabiskan waktu 2 jam 25 menit berselancar di media sosial (Statista dalam Melnick, 2021).

Penggunaan media sosial sendiri membawa berbagai dampak bagi penggunanya, dampak tersebut tidak hanya dampak positif namun juga dampak negatif. 

Salah satunya ialah dampak kesehatan mental. Kesehatan mental mengacu pada komponen fisik dan psikologis dari pertumbuhan individu. Hal tersebut meliputi bagaimana menangani stress, upaya untuk berinteraksi dengan individu lain, penyesuaian diri, juga cara mengambil keputusan (Fakhriyani, 2019). 

Dampak tersebut umumnya banyak dialami oleh pengguna usia remaja, berupa depresi; gangguan kecemasan; gangguan tidur; takut tertinggal notifikasi ataupun informasi terbaru dan sebagainya. 

Belum lagi fitur gelembung penyaring atau lebih dikenal sebagai filter bubble yang membuat pengguna semakin nyaman dengan sajian konten yang sudah dipersonalisasi sesuai konten yang diminati dan sering diakses individu pengguna. Filter bubble juga memicu efek kecanduan media sosial yang dapat memberikan dampak pada kesehatan mental. Hal ini disebabkan karena pada media sosial apa yang kita lihat sering kali adalah apa yang kita inginkan. 

Paparan konten hasil personalisasi filter bubble dapat meningkatkan pikiran dan perasaan negatif pada media sosial, sehingga muncul pikiran yang membanding-bandingkan diri sendiri dengan individu lain; kurang puas dengan apa yang dimiliki; atau keinginan untuk memberikan komentar juga pendapat dengan bahasa yang kurang baik pada konten yang diakses. 

Dampak-dampak diatas muncul salah satunya karena penggunaan media sosial yang kurang bijak, baik oleh diri sendiri maupun individu lain yang dikenal melalui media sosial. Penyebab lainnya ialah media sosial menjadi pelarian bagi individu pengguna dari kehidupan aslinya. Media sosial juga menjadi ruang rehat dari aktifitas sehari-hari, yang tak jarang menimbulkan rasa penat.

Bagi remaja media sosial seolah menjadi teman dikala perhatian yang ia terima dari lingkungan sekitar, terutama keluarga dirasa kurang. 

Pada akhirnya remaja merasa kesulitan mengekspresikan perasaan atau pikirannya, karena mereka merasa tidak ada yang memberikan respon atau perhatian pada mereka. 

Alasan tersebut yang kemudian memicu remaja menggunakan media sosial untuk mencari hiburan atau mengalihkan perhatian, namun konten yang disajikan di akun utama media sosial, umumnya digunakan untuk membangun citra diri, sehingga sekali lagi remaja tidak bisa mengekspresikan perasaan atau pikirannya secara leluasa. 

Respon dan interaksi digital pada akun utama juga terkadang tidak sesuai harapan, sehingga justru membuat pengguna semakin merasa terbebani. Perasaan terbebani inilah yang dapat memicu gangguan kesehatan mental karena menimbulkan rasa cemas pada diri individu. Penjelasan tersebut bertolak belakang dengan ciri-ciri kejiwaan sehat yang dipaparkan Sikun dalam Fakhriyani (2019) pada poin pertama yaitu merasa aman dan terbebas dari kecemasan.

Mengatasi permasalahan diatas, maka dipilihlah alternatif second account atau akun kedua yang menggunakan identitas tidak identik dengan identitas asli penggunanya. Akun kedua digunakan untuk mengekspresikan diri lebih bebas tanpa terikat perhatian dari pengguna lain. 

Beberapa remaja juga menggunakan akun kedua sebagai ruang pribadi mereka. Ruang dimana mereka dapat membagikan atau menggunakannya untuk kepentingan yang tidak ingin dibagikan pada publik, seperti mencari tahu hal tertentu; mengikuti akun pengguna lain secara diam-diam atau sekedar menjadi galeri penyimpanan pribadi dengan ruang tidak terbatas. 

Pada akun kedua,pengguna dapat mengungkapkan gagasan dan perasaannya secara jujur tanpa perlu khawatir dengan respon yang mungkin diberikan pengguna lain. Kebebasan berekspresi ini membebaskan individu dari rasa tertekan dan cemas yang mungkin bisa timbul melalui respon yang diperoleh dari pengguna lain. 

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Permana dan Sutedja (2021) yang menyebutkan kebebasan berekspresi sebagai salah satu alasan membuat akun kedua khususnya pada platform instagram. Alasan tersebut disebutkan pada poin ke 10 dengan persentase 4% dari total 15 poin alasan. Alasan lain yang relevan dengan alasan tersebut ada pada poin ke 1 (18%); 3 (11%) dan 8 (6%).

Fenomena akun kedua ini merupakan gambaran dari teori dramaturgi yang digagas oleh Erving Goffman pada tahun 1959. Teori dramaturgi digambarkan sebagai sebuah sandiwara yang diperankan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dilansir dari website Sosiologi Info, nama dramaturgi berasal dari kata drama dalam bahasa inggris, yakni dramaturgy maknanya ialah pertunjukkan drama pada seni theater. 

Teori tersebut menggambarkan bahwa masing-masing individu memiliki panggung depan atau front stage dan panggung belakang atau back stage (Dwi & Alnashava, 2018). Panggung depan terdiri dari setting dan personal front, apa yang ditampilkan pada panggung depan merupakan citra diri yang ingin ditampilkan oleh aktor. Dalam konteks media sosial, panggung depan merujuk pada akun pertama, dimana konten yang disajikan pengguna dibatasi. 

Pada akun pertama dimana citra diri pengguna dibangun, penting untuk melakukan persiapan setting dan personal front, karena akan mempengaruhi kesan pertama publik saat melihat konten dan aktifitas penggunanya. Setting merupakan kondisi yang diciptakan aktor (dalam konteks media sosial adalah pengguna atau pemilik akun) untuk membangun suasana pertunjukannya. Sementara personal front merupakan gaya dan penampilan yang ditunjukkan oleh aktor pada publik. Berbeda dengan panggung depan, panggung belakang merupakan kondisi sebenarnya yang tidak ingin diperlihatkan pada publik, salah satunya untuk menjaga citra penampilan dari panggung depan. 

Dalam konteks media sosial, panggung belakang merujuk pada akun kedua, dimana konten disajikan tanpa terikat aturan atau batasan yang dibuat penggunanya pada akun utama. Pengguna media sosial secara bebas mengunggah hal yang mereka inginkan tanpa takut adanya respon atau label yang diberikan pengguna lain.

Keberadaan akun kedua sejatinya bukanlah alternatif terbaik untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental, dengan catatan apabila akun kedua digunakan benar-benar secara pribadi dan dominan (membatasi pertemanan dengan pengguna lain, sehingga pengguna cenderung terisolasi dari lingkar sosial). Hal tersebut karena meskipun pengguna merasa bebas berekspresi di panggung belakang, namun terdapat sikap defensif dari diri individu, dimana terdapat hal yang tidak bisa ditunjukkan secara bebas. 

Hal ini bertentangan dengan karakteristik mental sehat yang dikemukakan Yusuf (2011) dalam Fakhriyani (2019), yaitu pribadi yang sehat mental secara psikis bersifat tidak defensif dan secara sosial dapat berhubungan dengan orang lain secara sehat. Penggunaan akun kedua juga dapat memicu permasalahan kesehatan mental lain, karena perbedaan antara panggung depan dan panggung belakang dapat memicu perasaan memiliki dunia sendiri, juga dualisme media sosial.  

Oleh karenanya, untuk menjadikan akun kedua sebagai panggung belakang yang dapat digunakan untuk mencegah gangguan kesehatan mental, ada baiknya pengguna membuat lingkar pertemanan baru yang jauh berbeda dengan lingkar pertemanannya pada akun pertama, atau pengguna bisa tetap berteman dengan teman yang sama pada akun pertama hanya saja dengan jumlah yang terbatas dan merupakan hasil filter dari penggunanya, sehingga individu tetap terlibat dalam proses komunikasi. 

Akun kedua juga dapat digunakan untuk mencari informasi yang dibutuhkan, bertukar cerita atau media untuk mencari solusi untuk mengatasi permasalahan yang kita alami. Dengan meningkatkan penggunaan positif dan bijak pada akun kedua tentu dapat memberikan dampak yang baik pada kesehatan mental. 

Penjelasan tersebut relevan dengan pendapat Sarah (2021) pada kanal youtube Menjadi Manusia yang menjelaskan bahwa media sosial merupakan sumber informasi dan alat komunikasi, dimana meskipun tidak digunakan informasi tetap dapat diterima dan apabila digunakan dapat mempermudah pekerjaan. Pada kanal youtube tersebut Sarah juga bercerita, bahwa tanpa media sosial ia bisa tetap merasa bahagia dan justru menemukan teman yang sesungguhnya di dunia nyata. 

Pada akhirnya dampak negatif dan positif dari penggunaan media sosial tidak akan memiliki akhir pembahasan. Hal tersebut bergantung pada disudut mana seseorang berdiri untuk memandang fenomena yang ada, artinya penilaian baik buruk dari eksistensi media sosial juga berkaitan dengan bagaimana media sosial tersebut digunakan serta sejauh mana penggunanya dapat mengontrol diri dan bukan sebaliknya dikontrol oleh media sosial yang merupakan sebuah alat. 

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menggunakan media sosial ialah pemahaman yang baik mengenai kesehatan mental, sehingga dalam menggunakan media sosial individu akan senantiasa aware apabila terdapat gejala atau trigger yang muncul pada pengguna ataupun orang sekitar.

Daftar Pustaka

Dollarhide, M., & Drury, A. (2021, August 31). Investopedia. Retrieved from www.investopedia.com: https://www.investopedia.com/terms/s/social-media.asp#:~:text=Social%20media%20is%20a%20computer-based%20technology%20that%20facilitates,Content%20includes%20personal%20information%2C%20documents%2C%20videos%2C%20and%20photos.

Dwi, R., & Alnashava, P. (2018). Dramaturgi dalam Media Sosial: Second Account di Instagram sebagai Alter Ego. Jurnal Ilmu Komunikasi 8 (3), 340-347. (Online) DRAMATURGI DALAM MEDIA SOSIAL: SECOND ACCOUNT DI INSTAGRAM SEBAGAI ALTER EGO | Dewi | Jurnal Ilmu Komunikasi (JKMS) (unri.ac.id)

Fakhriyani, D. V. (2019). Kesehatan Mental. Pamekasan: Duta Media. (Online) SalinanKesehatanMental_NaskahDianaVF.pdf

Luddin, M. R. (2016). Memaknai Kehidupan dalam Panggung Sosial Media. Depok: PT. Rajagrafindo Persada. (Online) Ipusnas e-Book

Manusia, M. (Director). (2021). Dikontrol atau Mengontrol Media Sosial? [Motion Picture]. (Online) https://www.youtube.com/results?search_query=dikontrol+atau+mengontrol+media+sosial

Melnick, L. (2021). Plannthat. Retrieved from www.planthat.com: https://www.plannthat.com/social-media-stats-2021/#:~:text=Social%20Media%20Usage%20Statistics%20in%202021%20%E2%80%A2%20There,minutes%20on%20social%20media%20every%20day.%20%28Statista%202020%29

Permana, P. H., & Sutedja, D. M. (2021). Analisis Perilaku Pengguna Akun Kedua di Media Sosial Instagram. Jurnal Inovasi Penelitian 2 (4). (Online) View of ANALISIS PERILAKU PENGGUNA AKUN KEDUA DI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM (e-journal.id)

Tim Redaksi Sosiologi Info. (2021, July 4). Sosiologi Info. Retrieved from sosiologi.info: https://www.sosiologi.info/2021/07/teori-dramaturgi-erving-goffman-penjelasan-dan-contohnya.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun