Konflik agraria di Indonesia memang selalu menjadi permasalahan serius bagi masyarakat buruh tani untuk mempertahankan mata pencahariannya serta tanah tempat tinggalnya di pedesaan. Sehingga, mereka membutuhkan sebuah upaya berupa kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi isu-isu terkait sengketa tanah di wilayah masyarakat pertanian.
Kebijakan reforma agraria menjadikan salah satu instrumen yang memberikan sebuah tindakan kepada masyarakat petani untuk mencapai sebuah tujuan berupa kesejahteraan dan kemakmuran dengan upaya pemerataan sosial dan ekonomi melalui sektor agraria yang berkeadilan (Earlene & Djaja, 2023).
Untuk mencapai keadilan sosial dan ekonomi masyarakat buruh tani, mereka tidak hanya berlandaskan pada kebijakan reforma agraria saja, tetapi juga berpegang teguh kepada dasar hukum yang diatur pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menjadikan komitmen awal terhadap reforma agraria.
Dalam sejarahnya, kebijakan reforma agraria sudah terbentuk sejak era orde lama di masa pemerintahan Presiden Soekarno dengan dibentuknya UUPA No. 5 Tahun 1960 yang mengatur redistribusi tanah untuk menciptakan keadilan sosial masyarakat.
Kemudian pada era orde baru, Presiden Soeharto lebih menekankan kepada infrastruktur pembangunan ekonomi dengan proyek-proyek besar dan mengalihkan prioritas utamanya dari redistribusi tanah menjadi transmigrasi. Presiden Soeharto juga memberikan peluang kepada perusahaaan besar baik domestik maupun asing untuk berinvestasi.
Di masa reformasi dari tahun 1998 hingga 2014, reforma agraria kembali diusung kembali dengan pembentukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bertujuan untuk menangani urusan pertanahan dengan lebih efektif. Implementasi dari kebijakan ini memiliki sebuah capaian redistribusi tanah dan peningkatan sertifikasi tanah.
Secara aspek historis kebijakan reforma agraria memang mengalami adanya kemajuan dan kemunduran dalam adopsi kebijakan di setiap periode pemerintahan. Hal itu memang disebabkan dengan fokus tujuan pemerintahan masing-masing
Dalam pengertiannya evaluasi kebijakan publik menurut William N. Dunn (2003) memiliki arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program (Yunida, 2017). Â Selain itu, menurut Bryan & White (1987) mengatakan bahwa evaluasi adalah sebuah upaya untuk melakukan dokumentasi dan penilaian tentang apa yang terjadi.
Dengan begitu dapat diartikan bahwa evaluasi kebijakan merupakan rangkaian terakhir dari prosedur kebijakan dimana evaluasi kebijakan merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mengukur dan menganalisis kinerja, dampak, dan efektivitas kebijakan publik yang diimplementasikan kepada masyarakat.
Teknik-Teknik Evaluasi Kebijakan