Di zaman sekarang pemikiran manusia sudah dapat dibilang sangat berkembang pesat. Â Keterbukaan pemikiran banyak di gaungkan oleh banyak kalangan, hal ini bisa dipicu dari adanya perkembangan teknologi informasi yang sangat masif dan cepat. Era globalisasi juga menjadi pendukung adanya keterbukaan pemikiran, beberapa hasil dari pemikiran menhasilkan produk-produk yang membantu kehidupan manusia. Pemikiran adalah sebuah aset paling berharga yang manusia milik, karena hanya manusia mahluk yang mempunyai akal dan pikiran yang cerdas dibandingkan dengan mahluk yang ada di dunia.Â
Kehidupan yang saat ini kita jalani memberikan banyak kesempatan untuk belajar mengenai berbagai macam hal. Keterbukaan akses informasi menjadi kunci mudahnya mempelajari sesuatu. Hal baru dapat dengan mudah dipelajari asalkan mempunyai kemauan dan tekad yang kuat, melalui internet ribuan bahkan jutaan informasi dan ilmu pengetahuan bisa di akes dengan mudah. Dibalik kemudahan itu ada sesuatu hal yang mungkin masih terdengar asing di telinga, yaitu the paradox of tolerance atau paradoks toleransi.Â
Paradoks ialah pendapat yang bertentangan degan dengan pendapat pada umumnya namun dapat dibuktikan kebenarannya. Singkatnya pardoks adalah sebuah sudut pandang berbeda dari melihat suatu peristiwa. Sedangkan the paradox of tolerance atau paradoks toleransi menyatakan bahwa apabila masyarakat tidak membatasi sikap toleranya, kemampuan toleransi mereka akan dikikis secara perlahan oleh kaum intoleran. Paradoks ini di di kemukaan oleh Karl Popper pada tahun 1945. Inti dari parodoks toleransi adalah bagaimana masyarakat membatasi sikap toleransi dalam bermasyarakat terhadap kaum yang intoleran. Â
Toleransi merupakan sebuah hal yang sepatutnya dilakukan untuk menjaga kerukunan ditengah perbedaan, baik perbedaan ras, agama, budaya, bahkan perbedaan cara berfikir harus dihargai meski hal itu bertentangan dengan diri kita sendiri. Namun didalam bertoleransi ada batasan batasan tertentu seperti yang sudah di kemukaan Popper. Ada sebuah ungkapan bahwa level tertinggi toleransi adalah menghargai pandangan orang-orang intoleran.Â
Namun hal tersebut bisa di bilang kurang tepat karena jika terus menerus seperti itu maka kaum toleran akan tergerus atau bahkan dilenyapkan oleh kaum intoleran, maka dari itu perlu ada batasan dalam bertoleransi. Fakta bahwa setiap individu mempunyai latar belakang keluarga pendidikan, serta pola pikir yang berbeda memang sepatutnya ada toleransi didalamnya.
Ada sebuah spekulasi bahwasanya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang toleran. Dilihat dari kehidupan masyarakat yang beragam ras, budaya, bahasa dan agama, memang betul adanya. Namun apakah toleransi adalah sebuah hal yang ada pada tiap individu, memaklumi sebagaian masyarakat yang tidak toleran apakah bentuk dari sebuah toleransi itu sendiri. hal ini tentunya masih menjadi pertanyaan.
Ada sebuah hal yang membingungkan dimana banyak individu yang merasa open minded mengartikan "ke-open minded'nya" Dengan keharusan mentoleransi kebebasan berekspresi dengan hal-hal yang menentang norma, namun menganggap mereka yang berekspresi dengan memegang norma yang diyakini sebagai hal yang tida open minded.Â
Jadi individu tersebut seakan mempunyai dobel standard. Seperti contohnya Mereka yang katanya open minded menyatakan harus menghargai orang yang memakai pakaian yang menyalahi norma di suatu masyarakat. Namun disisi lain mereka menyatakan bahwa pakaian dari kebudayaan atau agama lain adalah sebuah pengekangan.
Sekarang ini fenomena yang katanya menyangkut toleransi dan HAM sedang naik. Seperti salah satunya LGBT yang sangat marak , tentu hal tersebut tidak senada dengan norma , kesopanan dan moril ala orang timur ( Indonesia ), terlebih bertentangan dengan kondisi sosial budaya baik agama maupun suku yang menjunjung tinggi nilai - nilai luhur dan budi pekerti yang mulia berdasarkan ketuhanan dan akal sehat.Â
Dalam konstitusi jelas negara Indonesia adalah negara hukum dengan sumber Pancasila ( Ketuhanan yang maha esa ) pun pada pasal 28 B ayat 1 dan UU HAM poin 2 tekanan " hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan " sudah jelas bahwa negara melarang fenomena tersebut selain sebagai gerakan perusak moral dan kualitas anak bangsa juga sebagai sumber kepunahan manusia.Â
Banyak orang zaman sekarang yang self claim dirinya open minded, akan tetapi kerap kali menyerang orang yang konservatif yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Kebebasan yang paling baik adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Jangan merasa menjadi kaum minoritas yang tertindas padahal sebenernya secara tidak sadar dialah yang menindas kebebasan orang lain. Harus ada sebuah pembatas antara open minded dan cara hidup yang tidak merugikan orang lain.Â
Jika sebuah penyimpangan dibiarkan dengan dalih toleransi dan keterbukaan pemikiran maka hal tersebut akan terasa legal dan toleransi akan memudar oleh kaum intoleran. Toleransi harus ada batasan, toleransi adalah sebuah kebebasan yang mana kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Menghargai orang itu seharusnya menjadi common sense yang diterapkan seluruh umat manusia. Lantas apakah oknum yang mengemban title open minded benar benar open minded?. Tanyakan pada mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H