Sedari awal tahun 2020 yang cukup berat, ditambah pandemi virus yang berdampak banyak banget ke segala aspek kehidupan manusia disetiap sudut dunia ini yang kita pun nggak tau kapan ini selesai.Â
Datang lagi satu masalah besar yang menyenggol masyarakat kita oleh ulah DPR dengan rancangan undang-undang cipta lapangan kerja yang terlalu terburu buru dan menuai banyak kontroversi. Terhitung sampai sekarang per tanggal 8 januari, aksi demonstran di ibukota sudah banyak mengorbankan fasilitas umum seperti halte busway, pos polisi sampai pintu masuk stasiun MRT Jakarta.
Sejak rancangan undang undang ini disahkan (terburu buru lebih tepatnya) masyarakat seperti mahasiswa, pelajar SMA dan buruh sudah mulai ramai turun ke jalan dan banyak kampanye di media sosial yang menyuarakan tentang ketidaksetujuannya tentang undang undang tersebut yang banyak berisi poin poin yang keberpihakan kepada pengusaha sehingga menyusahkan masyarakat, tapi saya ngga akan bahas soal itu, saya akan mulai dari mengapa omnibus law ini dibuat dan awal mula nya dominasi investasi asing di negara kita ini.
Dari slogan kampanye kampanye nya, Presiden kita yang menjalankan 2 periode ini memang menekan untuk Kerja, Kerja dan Kerja. Tagline yang benar benar menggambarkan kondisi saat ini, mengutarakan dan menjawab bahwa masuk nya investasi asing adalah tujuan besar dari Presiden kita yang berasal dari solo tersebut, namun dari mana awal mula pintu itu terbuka untuk investasi asing yang masuk ke Indonesia?
Tragedi Malari atau Malapetaka Limabelas Januari adalah awal mula Investasi asing besar besaran masuk ke tanah air ini, sejak menjabat jadi presiden tepanya hanya 3 minggu. Presiden Suharto tanpa ragu ragu menjual saham Freeport dan menerima tanda tangan kontrak pertamanya selama 30 tahun (yang seharusnya berakhir habis tahun 1997).Â
Setelah karya pertamanya ini terwujud, Presiden Suharto mengundang perdana mentri Jepang Kakuei Tanaka, masa yang saat itu masih dihantui buruk nya bayang bayang jepang otomatis tersontak dan berunjuk rasa di Bandara Halim Perdanakusuma menunggu kedatangan perdana mentri jepang.
Gabungan pengunjuk rasa dan mahasiswa menjadi corong penyalur rasa tidak puas tersebut. Mahasiswa mulai tidak puas terhadap kebijaksanaan pejabat pemerintah. Berbagai masalah yang disorot mahasiswa waktu itu adalah Pertamina, Proyek TMII yang dianggap mirip proyek mercusuar, hingga peranan modal asing khususnya Jepang.
Puncak aksi protes itu akhirnya terjadi pada 15 Januari 1974. Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma disambut dengan aksi demonstrasi yang berujung rusuh. Masa bulan madu antara mahasiswa dengan pemerintah, juga antara investor asing dengan masyarakat Indonesia umumnya, yang telah terjalin sejak jatuhnya Sukarno tahun 1966 pun berakhir.
Mahasiswa dan lainnya mengambil alih jalan selama masa kunjungan Perdana Menteri Tanaka, dan aksi protes mereka adalah antiasing, terutama Jepang; antibirokrasi, terutama ditujukan kepada teknokrat berpendidikan Barat yang mendorong pemerintah untuk lebih percaya pada investasi asing; dan antimiliter, terutama terhadap jenderal-jenderal yang dicurigai banyak diuntungkan dari perjanjian bisnis dengan orang-orang Tionghoa dan asing.
Jakarta berasap, penghancuran dan penjarahan terjadi di mana-mana. gak hanya menyasar produk-produk Jepang, massa juga melampiaskan kekesalannya kepada perusahaan-perusahaan Tionghoa. Salah satunya adalah Astra yang menjadi distributor barang-barang otomotif dari Jepang. Mobil-mobil dan sepeda motor buatan Jepang dan buatan asing lainnya dibakar, diceburkan ke sungai, atau, jika pemiliknya beruntung, hanya dikempeskan rodanya. Pada Peristiwa Malari ini, setidaknya sebelas orang tewas dan 300 lainnya luka-luka. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan ikut rusak. Toko-toko perhiasan pun tidak ketinggalan dijarah, sekitar 160 kg emas raib.
Sekitar 775 orang ditahan menyusul aksi pemerintah memadamkan kerusuhan tersebut, beberapa terdiri dari anak di bawah umur.
Dari Peristiwa Malari, Presiden Soeharto tampaknya mengambil sikap tegas: Go to hell with civil society. Secara gak langsung mengingatkan para demonstran who is the boss.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H