Membangunkan sahur
Di desa saya, Ramadhan pertama merupakan momen yang paling spesial, karena masing-masing menunjukkan jati dirinya. Biasanya, selama sepuluh hari pertama ini semua masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan yang terbaik.
Salah satunya adalah dengan membangunkan di kala waktu sahur tiba. Mereka dengan sukarela tanpa dibayar sepeserpun keliling desa dengan melantunkan musik calung sambil bernyanyi "sahur-sahur". Meskipun hanya dua kata, namun hingga kini masih teringat jelas di dalam memori saya beserta syairnya yang mudah untuk di mengerti.
Menjadi heran ketika grup musik penggugah sahur itu rupanya menyantap makanan menjelang imsyak, karena tugas mereka hampir selesai mendekati waktu tersebut. Sangat mulia bukan?.
Aktivitas ini hingga sekarang masih ada, mereka tidak pernah tau apa itu pandemi covid-19, yang mereka tahu, mereka berbagi kepada sesame melalui musik agar masyarakat bangun tepat waktu ketika sahur.
Shalat Subuh
Selepas sahur, banyak jama'ah berbondong-bondong menuju mushola atau masjid. Mereka beribadah shalat subuh dan mengikuti ceramah dari pemuka agama setempat (kyai atau ustadz). Meskipun kemudian didalam masjid atau mushola banyak yang tertidur pulas, namun hal itu tidak mengurangi rasa hormat mereka dengan hadir di dalam majlis yang diisi oleh ustadz atau kyai yang berpengalaman.
Namun, sekali lagi ini hanya berlaku sepuluh hari pertama, di sepuluh hari kedua bahkan ketiga akan sangat menyedihkan. Mungkin hanya hitungan jari saja yang hadir, karena fokus mereka sudah berbeda lagi.
Situasi sulit ini ditambah lagi dengan kondisi Pandemi COVID-19, meskipun tarawih mereka datang, namun mereka rupanya mengurungkan niat untuk datang shalat subuh berjama'ah.
Jalan-jalan pagi (JJP)
Jalan-jalan pagi (JJP) merupakan salah satu aktivitas rutin yang dilakukan saat saya masih kecil. Semua hampir keluar rumah untuk bersama-sama sekedar lari kecil, dan bercengkerama satu dengan yang lain. Minimal kami menempuh jarak sekitar 1km sampai 3 km.