Hari ini merupakan Puasa Pertama di Bulan Ramadhan khusunya di Indonesia, karena ada beberapa negara yang menurut perhitungan hisab dan rukyat baru akan dilaksanakan besok pagi, seperti di Maroko salah satunya.
Namun, kemeriahan Ramadhan kali ini secara histori memang sedikit kalah dengan Ramadhan sebelumnya. Namun dari sisi spiritual, saat inilah yang tepat untuk menempa diri dan keluarga dari tantangan di era global.
Ramdika, merupakan kepanjangan dari Ramadhan di Kampung. Ramdhan di kampung selalu menjadi hal yang menarik karena penyambutannya setiap tahun dikemas dengan sajian budaya. Berikut ini beberapa kisah menarik Ramdika hingga pertanyaan apakah masyarakat di desa atau kampung gamang menghadapi pandemi covid-19 di tengah Ramdhan yang dijalani?.
Tarawih hari pertama
Ditempat saya lahir, biasanya warga berduyun-duyun mencari shaf terakhir 20 menit setelah shalat magrib usai. Masjid, mushola, menjadi idola karena merupakan salah satu momen spesial menyambut awal Ramadhan.
Bunyi suara pujian, menggema dimana-mana, diseluruh pelosok desa. Mereka yang belum baligh pun mengikuti rangkaian ibadah di hari pertama tersebut. Bahkan ketika itu, meskipun sebenarnya hukumnya sunnah, namun seperti terlihat wajib.
Uniknya, terkadang sampai meninggalkan yang wajib dan hanya mengerjakan yang sunnah. Itulah kemudian saya menyebutnya spesial. Karena mereka yang tidak pernah ke masjid atau mushola pun kemudian seperti tersedot perhatiannya beribadah di rumah Allah.
Riang gembira menyambut Ramadhan pun terus berlanjut pasca tarawih, diantaranya dengan menyalakan petasan sebagai tanda dimulainya awal Ramadhan. Tiap sisi desa selalu bersaut-sautan antara bunyi petasan yang satu dan yang lain. Meskipun sebenarnya mengganggu, namun apalah daya, kita hanya ikut menikmatinya saja sembari mengelus dada.
Usut punya usut, kondisi seperti itu nampaknya terus dipertahankan hingga saat ini. Tadi malam, kabar mengejutkan datang dari berbagai grup WA yang mengabarkan bahwasanya banyak dari mushola di desa tetap mengadakan shalat tarawih berjamaah. Saya terenyuh membaca dan menyaksikan foto-fotonya. Karena bagaimana mungkin, di tengah kondisi pandemi covid-19 seperti ini mereka ternyata belum mengetahui istilah physical distancing. Tidak terbayangkan dalam hati saya jika ada salah satu penderita positif COVID-19 dan menginfeksi seluruh jamaah, tentunya akan menjadi preseden buruk bagi warga yang melakukannya.
Sosialisasi rupanya tidak sampai menyeluruh diterima hingga ke pedesaan, yang membuat sedih adalah mereka tidak mematuhi himbauan atau seruan MUI dan para pemuka agama yang seharusnya mereka patuhi. Sebegitukah pemahaman mereka?, jika memang tetap buka dan melaksanakan ibadah, tentunya dengan protap yang telah disampaikan oleh pemerintah dan MUI tentunya.
Berbeda dengan mereka, berbeda dengan keluarga penulis. Alhamdulillah keluarga penulis menjaga jarak aman dengan tidak shalat tarawih berjamaah di masjid atau mushola. Jama'ah dilakukan di rumah, karena memang shalat tawarih pahalanya lebih utama jika dilakukan dirumah.