[caption caption="Foto FC"][/caption]
Fatihnokturnal. No. Peserta 111
Kusebut gado-gado, karena diaryku berikut ini memang seperti gado-gado.
13 April 2014
Ry, setelah baca buku-buku berlatar jaman dulu kayak Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk-nya Hamka juga Panggil Aku Kartini Saja-nya Om Pram, rasanya asik ya hubungan jarak jauh jaman dulu, mengirim surat per bulan atau per beberapa minggu sambil menahan rindu akan surat yang datang.
Beda dengan sekarang, Ry. Chat lewat sosial media tak kenal waktu, bahkan bukan hanya yang LDR, hal kayak gini juga kena teman-temanku yang pacaran.
Ada temanku yang sampai susah menjalankan hobinya gara-gara pacarnya minta dichat melulu, ditinggal main futsal ngambek, ditinggal main game ngambek, ditinggal boker ngambek.
Nah, apalagi yang LDR? Belum lagi jika kehabisan bahan pembicaraan, aku merasa LDR yang dulu memendam rindu berbalik membuat rindu itu seperti dihabiskan dengan chat-chat yang nonstop.
Bahkan ada temanku yang bercerita bahwa pacarnya sampai berkata kepadanya karena chatnya jarang ditanggapi,
"Dasar manusia tak berperasaan!"
Padahal apalah yang lebih tak berperasaan dibanding melarang seseorang untuk memiliki dirinya sendiri.
Bukan begitu, Ry?
Ah, aku menulis seperti ini tetapi tetap juga menjadi bagian darinya, Ry.
23 Februari 2016
Ini tentang Marita, si pelacur gang Dolly, haram memang, tapi apa boleh buat, dia sudah terbiasa, pekerjaan itu pekerjaan turun temurun dari zaman Soekarno masih menjabat jadi Panglima Besar Revolusi mungkin.
Tapi anaknya tidak, Arita, setelah diberi beberapa buku oleh salah satu lelaki baik yang menjadi pelanggan mamanya, ia mempunyai pikiran sendiri, menjadi anak kecil yang kritis. Ia lalu memutuskan untuk tidak mengikuti jejak mamanya.
Lalu, ada pria bernama Bambang. Percayalah, namanya tidak segagah namanya. Ia adalah seseorang yang melambai, dan banyak orang yang mengatakan dia adalah seorang gay. Itu semua karena ia sangat dekat dengan kakak-kakak perempuannya, ia sendiri pun anak bungsu.
Tapi dia menjadi pria yang gagah setelah berkenalan Arita saat sedang melihat-lihat pria tampan di balai kota. Memang berangsur-angsur, tapi saat paling gagah terjadi saat ia memutuskan kawin lari dengan Arita.
Itu bukan akhir cerita, pada dasarnya, penyakit menyukai sesama jenis bukanlah penyakit yang gampang disembuhkan. Itu dirasakan Arista saat merasakan betapa dinginnya Bambang saat berhubungan badan bersamanya, dan entah kebetulan hubungan mereka pun tidak kunjung menghasilkan anak.
Arista tetap sabar, dan Bambang pun sabar berusaha untuk menghilangkan penyakitnya, pada suatu hari kesabaran itu berbuah, Bambang dan Arista dengan nafsu yang liar bercinta hingga sebulan kemudian Arista hamil. Betapa bahagianya mereka berdua.
Lama mereka menunggu, Bambang yang memang sudah bekerja makin giat bekerja untuk anaknya nanti; dia sengaja tidak melakukan pemeriksaan USG agar lebih tegang saat kelahiran.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, anak itu lahir berjenis kelamin perempuan, Arista menamainya Fadhilah, Bambang menambahkannya dengan Karimah. Fadhilah Karimah.
Arista yang merasa perlu untuk menunjukkannya pada ibunya, ia yakin itu akan membuat ibunya senang setelah ia kabur bertahun-tahun. Memang, ibunya sangaaat senang melihatnya. Tapi ia kaget melihat Bambang.
Bambang rupanya anak kandung Marita, beberapa tahun ia bersamanya sebelum suaminya Nasrudin si pejabat bajingan itu menikah dengan istri yang lebih muda. Sejak itulah Marita memutuskan untuk pergi menjadi pelacur di Dolly; meninggalkan Bambang bersama kakak-kakak perempuannya.
Singkat cerita saja, pernikahan Bambang dan Arista pun kandas. Bambang memutuskan bekerja di Taman Lawang, Arista memutuskan kembali ke Dolly, melanjutkan takdirnya sebagai pelacur, Fadhilah Karimah yang tumbuh bersama ibunya sejak umur dua tahun pun akhirnya umur dua belas tahun sudah mempunyai hasrat libido yang tinggi; yang membuat walikota Surabaya yang baik hati Tri Risma Maharani itu menangis.
Ini bukan cerpen, walaupun mungkin ini nanti akan kujadikan cerpen. Tapi aku yakin ini adalah cerpen untuk kusimpan saja. Ini terlalu mengerikan.
Hidup manusia memang kompleks, bukan? Aku tidak mendukung pelacur, apalagi LGBT. Karena seorang gadis yang berlibido tinggi karena sering melihat mamanya melayani pelanggannya dan seorang istri yang stress karena mempunyai suami yang menyukai sesama jenis itu kisah nyata, terjadi di Dolly.
Tapi rasa-rasanya aku mempunyai kata yang tepat untuk mereka; jangan didukung keberadaannya, dukung kesembuhannya, dukung perbaikan hidupnya.
Ah, andai manusia mencoba untuk saling mengerti satu sama lain.
Sama seperti tadi, teman-teman mengiraku marah karena sore tadi aku diejek-ejek soal kebiasaan lamaku yang buruk.
Padahal diamku justru karena kesedihan yang mendalam, setelah temanku Ali koki yang sudah dipecat dari asrama dengan susah payah mencari pekerjaan, sampai meminjam uangku karena ia baru akan mendapatkan pekerjaan dan belum mendapatkan uang. Kupikir, bagaimana nasib ibunya yang diabetes itu, Ali adalah anak laki satu-satunya di keluarga itu. Akhirnya kuberi saja uangku itu secara cuma-cuma. Toh, uang sakuku per bulan dari Dar Zayed Foundation ini sangat mencukupi.
Alay? Memang. Tapi itu biasa saja bagiku yang bahkan melihat berita ‘Kebakaran Menyebabkan 3 Korban Tewas’ saja bisa stress seharian, yang ketika melihat berita maling (baik maling ayam ataupun koruptor) ditangkap langsung sedih berpikir tentang nasib anak istri dan kerabatnya yang tentu ikut menanggung beban.
Ah, coba saja manusia mau mengerti betapa kompleksnya ini semua, kadang mereka itu hanya memikirkan diri sendiri. Bahkan tadi mereka justru lebih mengejekku yang diam karena mengiraku ngambek; itu karena mereka tidak mau berpikir bahwa mungkin ada penyebab lain kenapa aku diam.
Tapi, tapi, apa bedanya denganku? Bukannya aku sama saja, aku tidak memikirkan bahwa betapa wajarnya temanku bersikap seperti itu?
Berarti aku juga tidak memikirkan orang lain?
Tapi apa boleh buat; aku manusia, teman-temanku manusia, Bambang, Marita, Arita, dan Fadhilah Karimah juga manusia.
18 Maret 2015
“Ah bego lu mah”
“Heran gue ada anak kayak lo”
“Gakpunya otak lu ya!?”
Kata-kata terakhir itu yang paling kubenci, kata-kata yang ia teriakkan tepat di telinga kananku sambil kemudian ia tertawa-tawa.
Ah, tapi sudahlah dia berbicara dengan mulutnya bukan dengan otaknya.
***
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Perhelatan Festival Fiksi My Diary di Kompasiana dan Karya Para Peserta
Silahkan bergabung di grup FB: Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H