Mohon tunggu...
Faozan Fathurohman
Faozan Fathurohman Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Mahasiswa Hukum Keluarga S1 Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pesona Pernikahan Anak di Bumi Nusantara

13 November 2020   20:09 Diperbarui: 13 November 2020   20:16 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pernikahan menjadi sebuah momentum yang dinanti-nantikan oleh setiap orang. Ia menjadi gerbang awal membentuk sebuah keluarga yang kekal dan bahagia. Mereka akan saling mengasihi, mengayomi, menghormati, serta mengisi satu sama lain. 

Akantetapi di saat yang bersamaan pula tidak dapat dipungkiri bahwa suami dan istri terkadang dihadapkan dengan permasalahan yang begitu pelik mengenai pemenuhan hak dan kewajiban terhadap masing-masing pihak. Oleh karenanya pernikahan dilangsungkan oleh mereka yang sudah dewasa baik secara fisik maupun emosional agar nantinya mereka dapat mengontrol situasi yang terjadi dalam hubungan keluarga.

Realitasnya akhir-akhir ini diskursus mengenai pernikahan anak menjadi tema yang hangat untuk diperbincangkan. Berdasarkan penelitian tahun 2018 yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) yang bekerja sama dengan UNICEF dan PUSKAPA menyatakan bahwa perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun sebanyak 1,22 juta jiwa dan angka tersebut mendudukan Indonesia sebagai negara ke 10 dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia. 

Bila kita sedikit mundur 3 tahun sebelumnya, pada tahun 2015 perempuan umur 20-24 tahun yang menikah pertamanya di bawah usia 15 tahun sebanyak 61,3 ribu jiwa. Tentu dengan angka tersebut sangatlah miris keadaan perkawinan anak di Indonesia. Ditambah dengan angka penurunan perkawinan anak pada tahun 2008 hingga 2018 masih cenderung lambat.

The Convention on the Rights of the Child (konvensi Hak-Hak Anak) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sepakat bahwa yang dinamakan anak merupakan seseorang yang masih berusia di bawah 18 tahun. 

Dengan demikian pernikahan (perkawinan) yang dilakukan oleh seseorang (baik pihak suami maupun istri) belum mencapai usia 18 tahun maka disebut dengan penikahan anak. Mereka yang harusnya menikmati masa bermain mereka, menghabiskan waktu pendidikan mereka guna menggapai cita-cita, menumbuh kembangkan perkembangan fisik, emosional, dan sosial harus direnggut karena dipaksa atau kondisi tertentu agar menikah di bawah usia 18 tahun.

Jelas bahwa regulasi kita mengatur dengan ketat mengenai pencegahan pernikahan anak. Pasal 7 Undang-Undang No 16 Tahun 2019 yang merubah undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa seseorang baru dapat melakukan pernikahan setelah berumur 19 tahun. 

Kemudian pada pasal 15 ayat (1) KHI dijelaskan bahwa maksud dari ditetapkannya batas minimal usia boleh menikah sebagaimana yang ditetapkan pada Undang-Undang Perkawinan --yakni 19 tahun- guna mewujudkan kemaslahatan dalam rumah tangga. Tentunya jika kita kaitkan pada pasal 3 KHI bahwa tujuan dari perkawinan yaitu mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 

Ditegaskan juga pada pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa tujuan dari pernikahan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Prof. Dr. Amir Syarifuddin pun menjelaskan undang-undang perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri haruslah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar nantinya dapat diwujudkan perkawinan secara baik tanpa diakhiri dengan perceraian serta mendapatkan keturunan yang sehat pula.

Ketika salah satu atau kemungkinan terburuk suami dan istri menikah pada usia di bawah 18 tahun yang belum memiliki kesiapan fisik dan mental yang sempurna, maka menurut BPS berpeluang lebih besar memilki tingkat kesejahteraan yang rendah. Hal ini dikarenakan mereka yang harusnya pada usia 18 tahun mengenyam pendidikan formal guna memperbaiki integritas diri untuk masa depan, justru dialihkan perhatiannya kepada urusan rumah tangga. 

Ditambah dengan kondisi psikis anak yang cenderung labil dalam mengambil keputusan berisiko pada gagalnya penyelesaian masalah yang hadir dalam keluarga sehingga berakhir dengan perceraian. Pada aspek kesehatan pun menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2017 kehamilan pada usia muda sangat beresiko pada kematian ibu dan bayi, kelainan dan cacat bawaan pada bayi, bayi lahir prematur, beberapa penyakit menular seksual, serta depresi pasca melahirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun