Mohon tunggu...
Fany Gustiany
Fany Gustiany Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Saya adalah seorang introvert yang menyukai hewan dan music yang melankolis. Hobi saya menonton drama asia dan membaca novel fantasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis tentang Intoleransi dalam Konflik Israel dan Palestina: Perspektif Filsafat

2 Mei 2024   21:46 Diperbarui: 2 Mei 2024   21:48 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perselisihan yang sedang berlangsung antara Israel dan Palestina menonjol sebagai salah satu konflik paling rumit dan abadi dalam sejarah modern. Selama beberapa dekade, hal ini telah mengakibatkan banyak korban jiwa, pengungsian besar-besaran, dan luka psikologis yang parah bagi kedua pihak yang terlibat. Pada intinya, konflik muncul dari persaingan klaim atas tanah yang sama, yang berakar pada permadani narasi sejarah yang kompleks. Setelah pembagian Palestina oleh PBB pada tahun 1947 dan pendirian negara Israel pada tahun 1948, berbagai perang terjadi, termasuk Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur. Upaya perdamaian seperti Perundingan Oslo belum berhasil mencapai solusi yang berkelanjutan. Masalah-masalah teritorial, status Yerusalem, pemukiman Israel, dan blokade Gaza terus mempersulit upaya perdamaian. Konflik ini telah menyebabkan penderitaan besar bagi kedua belah pihak dan tetap menjadi tantangan besar dalam politik global. Namun, di balik dimensi politik dan sejarahnya, konflik ini juga mengungkapkan tingkat intoleransi yang tinggi antara orang-orang Israel dan Palestina. Dalam konteks ini, adalah penting untuk menganalisis konflik ini dari sudut pandang filsafat, menggali akar penyebab intoleransi, serta mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.

Selama beberapa generasi, konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah menimbulkan kesulitan besar bagi kedua komunitas tersebut. Asal usulnya berasal dari peristiwa-peristiwa penuh gejolak di awal abad ke-20, setelah runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah dan pendudukan Inggris di wilayah Palestina pasca-Perang Dunia I. Deklarasi Balfour tahun 1917 menganjurkan pembentukan tanah air Yahudi di Palestina, meningkatkan ketegangan antara populasi Yahudi Palestina dan Arab. Setelah Perang Dunia II, PBB mengambil tanggung jawab atas Palestina, mengusulkan rencana pembagian yang akan menciptakan negara terpisah bagi orang Arab dan Yahudi Palestina. Usulan ini, yang dirangkum dalam Resolusi PBB 181 tahun 1947, mendapat perlawanan dari orang-orang Arab Palestina, yang menyebabkan pecahnya Perang Arab-Israel pertama pada tahun 1948. Israel muncul sebagai pemenang, yang mengarah pada pembentukan negara Israel dan pengungsian warga Palestina.

 Selain itu, konflik ini terkait erat dengan upaya gerakan Zionis untuk mendirikan pemukiman Yahudi di Palestina dan tindakan Israel untuk mencaplok tanah, yang menimbulkan ancaman pengusiran warga Palestina dari wilayah leluhur mereka. Siklus konflik ini terus berlanjut melalui berbagai tahapan, termasuk Intifada pertama yang dimulai pada tahun 1987 dan diakhiri dengan Perjanjian Oslo pada tahun 1993, serta Intifada Kedua yang dimulai pada tahun 2000.

 Dalam beberapa tahun terakhir, jajak pendapat publik secara konsisten menunjukkan adanya kecenderungan empati yang lebih besar terhadap penderitaan penduduk Palestina, khususnya selama konflik-konflik terbaru. Berbagai faktor, termasuk penderitaan warga sipil, korban tragis pada anak-anak, dan penghancuran infrastruktur yang meluas di Gaza, telah berkontribusi signifikan terhadap sentimen ini, mendorong rasa empati yang meluas terhadap rakyat Palestina. Namun, konflik ini tidak akan mudah diselesaikan, dan beberapa analis percaya bahwa konflik ini tidak akan bisa didamaikan minimal 100 tahun ke depan, karena kompleksitasnya tidak hanya berdasarkan klaim historis, tetapi juga terkait dengan kebijakan Amerika Serikat yang mendukung Israel. Konflik antara Israel dan Palestina telah menyebabkan penderitaan yang besar bagi kedua belah pihak. Ribuan jiwa telah tewas, dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi. Dampak dari konflik ini tidak hanya berdampak pada pihak-pihak yang terlibat, namun juga memberikan konsekuensi global yang luas dengan mendorong ketidakstabilan di Timur Tengah dan memperburuk ketegangan internasional. Permusuhan yang terus-menerus antara Israel dan Palestina merupakan hambatan besar bagi pencapaian perdamaian abadi.

 Meskipun konflik Israel dan Palestina penuh dengan penderitaan dan kekerasan, ada beberapa hal positif yang dapat diidentifikasi. Salah satunya adalah perkembangan kesadaran nasional yang kuat di antara orang-orang Yahudi dan Palestina. Konflik ini telah memperkuat identitas nasional masing-masing kelompok, mendorong mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka dengan lebih gigih. Dari sudut pandang filsafat, hal ini mencerminkan upaya manusia untuk mencari arti dan tujuan dalam keadaan sulit, serta keinginan alami untuk mempertahankan hak dan martabatnya sebagai individu dan komunitas.

 Pemikiran filosofis yang relevan dalam konteks ini adalah pemikiran tentang identitas dan martabat manusia. Immanuel Kant, seorang filsuf terkenal, menekankan pentingnya menghormati martabat manusia sebagai individu yang otonom. Dalam konflik Israel dan Palestina, perjuangan untuk mempertahankan identitas nasional dan hak-hak wilayah dapat dipahami sebagai ekspresi dari dorongan manusia untuk mempertahankan martabatnya.

 Salah satu kritik terhadap konflik Israel dan Palestina adalah kurangnya kemauan politik untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. Konflik ini dipengaruhi oleh intervensi eksternal dan kepentingan politik yang kompleks. Kurangnya upaya nyata untuk menyelesaikan konflik ini mencerminkan kegagalan manusia dalam mencapai kedamaian dan keadilan.

 Dari sudut pandang filsafat politik, teori keadilan seperti yang dikemukakan oleh John Rawls memberikan pandangan kritis terhadap konflik ini. Rawls menekankan pentingnya menciptakan struktur sosial yang adil, di mana hak-hak individu diakui dan dilindungi. Kritik terhadap ketidakadilan dalam alokasi sumber daya dan perlakuan yang tidak setara terhadap kedua belah pihak mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan yang diusung oleh Rawls. Dalam analisis konflik Israel-Palestina, teori keadilan seperti yang dikemukakan oleh John Rawls memberikan pandangan kritis terhadap konflik ini. Teori Rawls berfokus pada prinsip keadilan sebagai suatu prinsip yang harus dijamin dalam sistem sosial dan politik. 

 Dalam konteks konflik Israel-Palestina, teori Rawls menawarkan kerangka kerja untuk meneliti apakah keputusan yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat mematuhi prinsip-prinsip keadilan. Rawls menggambarkan keadilan ke dalam dua prinsip utama: yang pertama berfokus pada kesetaraan dan yang kedua pada distribusi manfaat yang adil.

 Mengenai prinsip pertama, kesetaraan dalam pengambilan keputusan dan hak untuk membela kepentingan adalah yang terpenting. Oleh karena itu, pemeriksaan apakah kedua belah pihak mempunyai kesempatan yang adil untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan membela hak-hak mereka sangatlah penting.

 Prinsip kedua berkaitan dengan pemerataan manfaat dan beban. Dalam konteks konflik ini, prinsip ini mendorong penyelidikan apakah alokasi keuntungan dan kerugian sejalan dengan prinsip keadilan. Di sini, analisis mengungkapkan kesenjangan kekuatan yang mencolok, dengan Israel menggunakan kekuatan militer yang lebih besar dan mengakses sumber daya yang lebih luas dibandingkan dengan Palestina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun