Indonesia sebagai sebuah Republik dibangun oleh banyak tangan, baik dari Aceh hingga dari Papua. Tak ada yang bisa mengklaim keberhasilan kemerdekaan hingga pembangunan saat ini, hanya milik satu orang atau golongan saja. Ini peran banyak pihak.
Sebagai sebuah fakta, peran tokoh masyarakat Indonesia Timur tidak kalah dengan tokoh lainnya. Harus diakui pula banyak pemimpin yang berprestasi dari sektor wilayah ini.
Namun sayangnya, telah menjadi kenyataan pula bahwa wilayah Timur sedikit tertinggal dibandingkan wilayah Barat Indonesia. Ketimpangan pembangunan itu nyata dan dibiarkan telah lama. Oleh karena itu harus diatasi dengan usaha pemerataan pembangunan.
Untuk itu, kemudian muncul sebuah gagasan bahwa untuk memajukan wilayah Timur, perlu ada duet pemimpin nasional yang berasal dari Barat dan Timur, yakni pasangan Capres dan Cawapres yang mengakomodir dua wilayah tersebut. Dengan begitu, wilayah Timur tidak akan terlupakan dan terbelangkalai selama seperti saat ini.
Pasangan Jokowi-JK telah membuktikan percepatan pembangunan di seluruh Indonesia. Bahkan mereka memiliki komitmen kuat untuk membangun Indonesia dari wilayah pinggiran, terluar, dan tertinggal dengan paradigma Indonesia-sentris.
Hal ini yang perlu dilanjutkan ke depannya, pasca duet Jokowi-JK berhenti di tahun 2019 nanti. Mengingat JK sendiri sudah menyatakan hendak pensiun dan akan mundur dari politik.
Di sisi lain saat ini pemerintahan Jokowi sedang digoyang oleh isu politisasi agama yang dimainkan oleh pihak oposisi. Isu anti Islam, musuh Islam, pro Asing dan Cina, dan komunis, kerap menghajar pemerintahan Jokowi, yang parahnya dipercaya oleh sebagian masyarakat. Sebagai sebuah fitnah itu ternyata cukup merepotkan stabilitas pemerintahan sehingga pembangunan sedikit terhambat.
Persoalan ini yang kemudian dibahas oleh Budi Setiawan dalam tulisannya di catatan Facebook. Untuk mengatasi itu, menurutnya perlu ada koalisi strategis antara Presiden Jokowi dengan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi. Menurut Jokowi-TGB bisa mengatasi ketimpangan pembangunan di Indonesia Timur sekaligus menghajar balik serangan isu SARA.
Namun, dia lupa bahwa banyak tokoh berprestasi dari Indonesia Timur lainnya. Tak hanya TGB. Sikap glorifikasi pada TGB itu bisa mengaburkan realitas dan opsi tokoh politik yang bersih, relijius dan prestatif.
Selain TGB, Indonesia Timur juga memiliki tokoh mumpuni lainnya. Seperti misalnya Syahrul Yasin Limpo yang cukup sukses memimpin Sulawesi Selatan, kemudian Tri Rismaharini yang menjadi Walikota Surabaya, dan Nurdin Abdullah yang memimpin Bantaeng. Namun entah karena kurang riset atau pengetahuannya mengenai realitas politik, Budi Setiawan justru mejudging negatif mantan gubernur Sulawesi Selatan itu. Dia menyebut bahwa SYL merupakan tokoh politik yang membangun dinasti di Sulsel.
Politik dinasti dalam definisianya adalah sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.
Sistem di atas bertransformasi seturut iklim demokrasi sehingga coraknya sedikit berubah karena pemimpin dipilih rakyat. Tetapi karena telah memiliki sumber daya material lebih banyak dari keturunannya maka memiliki kemungkinan keterpilihan yang lebih tinggi.
Bila diamati dengan seksama melalui pengertian tersebut, maka tidak tepat untuk menggambarkan posisi SYL di tengah dinamika politik di Sulsel sebagai dinasti. Memang benar beberapa anggota keluarga besarnya menempati posisi jabatan publik, namun itu tidak menjadi sebuah dinasti. Bahkan adik kandungnya sendiri pun juga belum berhasil menjadi gubernur, kalah dengan calon lain di Pilkada Sulsel.
Di sisi lain, banyak terobosan pemerintahan yang diberikan oleh SYL. Dia pernah menjadi pemimpin daerah terbaik versi Kemendagri. Sehingga kekuasaan yang diperolehnya tidak semata karena faktor keturunan, melainkan karena prestasi yang didukung oleh warga Sulsel.
SYL lebih dekat disebut sebagai keluarga pelayan alih-alih sebagai dinasti. Beberapa orang anggota keluarganya yang menerima jabatan publik semata-mata karena pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena itu, kenyataan tersebut menjadi bukti bahwa keluarga SYL bukanlah dinasti politik di Sulsel. Dia tidak sebagaimana keluarga Atut di Banten atau Fuad Amin di Bangkalan. Mereka itulah contoh dinasti politik, dimana kekuasaan di satu daerah dikendalikan oleh keluarganya saja.
Klaim sepihak Budi Setiawan seperti di atas perlu diluruskan agar tidak menjadi glorifikasi yang berlebihan. Kita harus banyak menengok tokoh dari Timur dengan cara pandang yang luas agar tidak menutupi kemungkinan adanya pemimpin lain yang layak di Indonesia Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H