Sistem di atas bertransformasi seturut iklim demokrasi sehingga coraknya sedikit berubah karena pemimpin dipilih rakyat. Tetapi karena telah memiliki sumber daya material lebih banyak dari keturunannya maka memiliki kemungkinan keterpilihan yang lebih tinggi.
Bila diamati dengan seksama melalui pengertian tersebut, maka tidak tepat untuk menggambarkan posisi SYL di tengah dinamika politik di Sulsel sebagai dinasti. Memang benar beberapa anggota keluarga besarnya menempati posisi jabatan publik, namun itu tidak menjadi sebuah dinasti. Bahkan adik kandungnya sendiri pun juga belum berhasil menjadi gubernur, kalah dengan calon lain di Pilkada Sulsel.
Di sisi lain, banyak terobosan pemerintahan yang diberikan oleh SYL. Dia pernah menjadi pemimpin daerah terbaik versi Kemendagri. Sehingga kekuasaan yang diperolehnya tidak semata karena faktor keturunan, melainkan karena prestasi yang didukung oleh warga Sulsel.
SYL lebih dekat disebut sebagai keluarga pelayan alih-alih sebagai dinasti. Beberapa orang anggota keluarganya yang menerima jabatan publik semata-mata karena pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena itu, kenyataan tersebut menjadi bukti bahwa keluarga SYL bukanlah dinasti politik di Sulsel. Dia tidak sebagaimana keluarga Atut di Banten atau Fuad Amin di Bangkalan. Mereka itulah contoh dinasti politik, dimana kekuasaan di satu daerah dikendalikan oleh keluarganya saja.
Klaim sepihak Budi Setiawan seperti di atas perlu diluruskan agar tidak menjadi glorifikasi yang berlebihan. Kita harus banyak menengok tokoh dari Timur dengan cara pandang yang luas agar tidak menutupi kemungkinan adanya pemimpin lain yang layak di Indonesia Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H