"Masih kau bela dia, bu?", ayah mulai dengan kemarahannya.
"Sudahlah. Kita mau makan, apa mau marah-marah disini?"Â
Semuanya terdiam.Â
Ardiyan sudah lama menjadi temanku. Bisa dibilang kita adalah sahabat dekat. Tapi jujur, aku jatuh hati padanya dan ia juga mengaku kalau ia suka padaku. Ardiyan mengerti bagaimana sikap keluargaku padanya, terutama ayah. Ayah sangat membenci dirinya seakan-akan ingin meludahinya. Namun hubunganku dengan Iyan masih berlanjut sampai sekarang.Â
Dan malam kedua, aku sudah berbohong pada orangtuaku sendiri. Aku bilang aku akan menjemput Clara, sahabatku, namun kenyataannya Clara memang ada di rumahnya sendiri.
Sudah pasti, kala itu aku bertemu dengan Iyan. Sudah lama tidak bertemu dengannya. Sikap keluarga membuat pertemuan itu terjadi secara diam-diam. Ibu, meskipun ia benar-benar baik bak malaikat, aku tetap merahasiakan pertemuan itu. Aku hanya tidak ingin pihak lain mengetahui.Â
"Yan, maafkan atas perkara ini".Â
"Dan sejujurnya aku telah berbuat salah. Jika seandainya aku tak datang ke rumahmu untuk menemui keluargamu, mungkin kau tak akan kena marah", jelasnya.Â
Aku terdiam dan berpikir sejenak.Â
"Aku sudah berpikir bahkan berkali-kali, tapi aku tetap ingin bertemu denganmu. Namun di sisi lain ini adalah keputusan yang salah"Â
"Benar, kamu salah jika ingin bertemu denganku", ia melanjutkan, "Memang lebih baik kita jalan masing-masing meskipun sebenarnya kita masih dalam ruang rindu"Â