Mohon tunggu...
Fantasia Imanda Putri
Fantasia Imanda Putri Mohon Tunggu... Freelancer - Profil Baca

Musik, suka buat film pendek, suka foto-foto. Everything that makes me greater.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sehelai Rambut Nenek

6 Juni 2017   17:16 Diperbarui: 6 Juni 2017   17:22 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuletakkan tas punggungku di atas kursi yang sudah lapuk. Kurebahkan tubuhku di kursi panjang. Sungguh hari yang melelahkan setelah melakukan perjalanan panjang menuju rumah ini, rumah nenek. Bibi tak mengatakan apa-apa, tetapi ia begitu baiknya padaku, mau menyediakan segelas teh manis hangat.

"Mbok yo diminum dulu, biar capeknya berkurang",

Bibi langsung pergi ke belakang tanpa meminta diri. Di rumah ini, yang kutahu hanya bibi dan nenek saja. Yang lainnya, pak Joko, suami bibi, mungkin sedang bertugas di luar. Yang kutahu Pak Joko adalah seorang guru Sekolah Dasar. Lokasi sekolahnya tak jauh dari rumah ini. Aku pernah ke sana hanya untuk menengoknya saja. Pak Joko merupakan sosok yang sederhana bagiku, namun pemikirannya tak sesederhana yang dibayangkan. Ia pernah menasehati: "Janganlah hidup untuk diri sendiri, hiduplah untuk orang lain. Tak hanya berguna bagi diri sendiri, tetapi juga berguna bagi orang lain". Nasehat itu selalu terngiang. Tiada bosan-bosannya aku mengingatnya.

Lelah menjadi berkurang saat aku menjamah ruang tamu. Kulihat foto-foto nenek terpajang di dinding dengan bingkai lama. Disampingnya ada fotoku semasa kecil. Dulu beliau cantik, batinku, sampai sekarang pun juga masih cantik. Melihat foto nenek beberapa waktu tahun yang lalu membuatku ingin bertemu dengannya. Barangkali ia ada di kamar, sedang istirahat.

Kamar nenek dekat dengan ruang makan, tak berpintu, hanya ditutupi kain saja. Kamarnya sangat kecil, hanya bisa ditempati oleh ranjang dan meja kecil untuk menaruh makanan dan minuman. Selama ini yang mengurusi nenek hanya bibi saja, tetapi itu pun nenek tak banyak meminta. Bibi lebih menghabiskan waktunya kurang-lebih di dapur dan ruang makan. Sesekali ia juga melihat nenek dibalik kain.

Sungguh patah hati melihat keadaan nenek. Kulihat wajahnya yang penuh kerutan, menandakan perjalanan hidup pada saat itu yang.. ah sudahlah, semakin sedih aku dibuatnya. Ditambah sekarang ini beliau sakit tak bisa jalan. Tubuh telah dimakan usia, seiring dengan benda-benda milik nenek di rumah ini.

Sesungguhnya aku ingin mendengar nenek bicara. Bicara sedikit pun tak apa, yang penting bisa menyenangkan hatiku. Yang penting pula bisa menghilangkan rasa penasaranku. Tanpa disadari bibi menungguku untuk menoleh ke arahnya. Ia berada di sebelahku. Aku tersadar, lalu memulai:

"Eh, Bi.. anu.."

"Masuk aja Non, nggak apa-apa"

"Saya takut ganggu nenek, Bi.."

Bibi dengan kalemnya membantu membangunkan nenek dari ranjang. Ia lalu menuntun:

"Nek, ada cucumu. Katanya mau mengajak ngobrol"

Aku masuk ke dalam kamarnya, lalu duduk di belakangnya dengan hati-hati. Terlihat jelas tubuhku sangat berbeda dengan tubuhnya. Tubuhku masih kuat dan tegak, sedang tubuhnya yang kecil itu hampir tak berdaya...

"Nek.. gimana kabar nenek.."

"Kabar nenek baik", sahutnya. Suaranya sudah tak sejernih suara yang kudengar dulu.

Kubelai rambut putihnya yang panjang, lalu kuraba kedua tangannya yang berurat itu. Sebentar-sebentar beliau memandang ke arahku, aku disenyumi olehnya.

"Nek, bolehkah aku mendengar ceritamu? Untuk sekali saja seumur hidupku", pintaku.

"Nenek sudah lupa-lupa inget", ucapnya.

Aku diam kemudian untuk mencari kata-kata apa lagi yang bisa kusampaikan padanya, tetapi kedua tanganku tak berhenti membelai rambutnya yang putih itu.

"Nek..", panggilku. Kusambung lagi, "Aku ingin nenek bisa seperti semula"

Nenek mendekatkan kepalanya ke arahku, mungkin ia tak mengerti maksudku.

"Sehat, nek, sehat.. Aku ingin nenek sehat..", bisikku padanya.

Nenek lalu menganggukkan kepalanya. Kubelai rambutnya lagi, lagi dan lagi... nenek kemudian meminta kepadaku, ia ingin kembali dibaringkan tubuhnya. Rambutnya dibiarkan terurai begitu saja. Entah.. sehelai rambut itu membuatku tertarik. Aku bisa membelai rambutnya, sehelai demi sehelai. Sehelai rambut yang punya filosofi tersendiri bagiku. Sayang aku tak bisa dengar ceritanya, tetapi aku senang, ia mau bicara sedikit.

Aku mulai meninggalkan nenek. Ia telah memejamkan matanya. Semoga ini bukan yang terakhir kalinya ia melihatku.

Termenung di ruang tamu. Aku masih memikirkan ucapan-ucapan nenek tadi. Meskipun sedikit namun berarti bagiku. Kemudian bibi datang, dan duduk di seberangku.

"Cerita apa non, barusan?", bibi bertanya.

"Ingatan nenek sudah memudar, Bi.. tapi aku bersyukur sekali ia mau bicara sedikit", jawabku.

"Maklum lah.. sekarang nenek hanya bisa berbaring saja..", tiba-tiba hening, lalu lanjut kembali, "Bibi juga jarang ngajak nenek ngobrol.."

"Hmm..."

"Nenek itu dulu rajin sekali. Sejak muda ia selalu begitu. Nenek adalah pekerja keras semasa mudanya. Kalau sekarang ia tak bisa jalan, maklumilah..", cerita bibi. Aku hanya mengangguk saja. Kami berdua terus mengobrol tentang nenek, sampai pada waktunya aku membutuhkan istirahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun