Pagi-pagi saya dapat pesan seorang teman yang mengabarkan telah mencopot (uninstall) aplikasi Bukalapak di perangkat androidnya dan mengajak melakukan hal yang sama. Alasannya : tak suka dengan cuitan CEO Bukalapak di Twitter yang mengajak ganti presiden dengan menyebutkan bahwa Indonesia memerlukan presiden bayru yang akan menaikkan anggaran R&D (research and development) agar Indonesia siap memasuki era Industri 4.0.
Menurut berbagai situs berita resmi, Achmad Zaky sang pemimpin, pendiri dan pemilik platform berjualan on-line itu mencuit Indonesia tidak mungkin siap menghadapi Revolusi Industri 4.0 dengan belanja R&D (2016) yang hanya US$ 2B ( alias 2 milyar dollar AS), sementara negara lain seperti Amerika Serikat mengeluarkan US$ 511 B, Korea US$ 91 B, Malaysia US$ 10B. Belakangan, setelah diprotes oleh pembaca cuitannya, diakui bahwa angka untuk Indonesia adalah untuk tahun 2013, tetapi menurut Zaky itu tidak akan mengubah secara signifikan posisi Indonesia sebagai negara yang sangat rendah pengeluarannya untuk R&D.
Terlepas dari ketidakakuratan angka R&D Indonesia tersebut, masalah sebenarnya adalah logika berpikir yang aneh untuk seorang CEO sekelas Achmad Zaky. Apakah cukup menaikkan anggaran R&D untuk membuat Indonesia bisa memasuki Industri 4.0 ? Apakah betul diperlukan pergantian presiden untuk menaikkan anggaran R&D ?
Pemerintah Indonesia sangat gencar mempromosikan Industri 4.0, sampai-sampai Rizal Ramli menyinyiri kebijakan tersebut. Menurut mantan menteri itu, Industri 4.0 tidak cocok untuk Indonesia karena akan menyebabkan pengangguran. Lebih baik Indonesia mengikuti jejak Jepang yang masuk ke era Industri 5.0 yang berpusat pada manusia.
Terlepas dari ngawurnya juga pernyataan Rizal Ramli (misalnya, tidak ada Industri 5.0, yang benar Society 5.0), setidak-tidaknya ada pengakuan bahwa Pemerintah giat menyongsong Industri 4.0. Meskipun terlambat dibandingkan beberapa negara Asean, Pemerintah sudah menyusun strategi memasuki revolusi industri 4.0 dalam suatu road map yang diberi nama Making Indonesia 4.0.
Dalam paparan A.T. Kearney, konsultan penyusunan road map tersebut, disebutkan bahwa penyusunan road map tersebut ditujukan untuk menjadikan Indonesia masuk sebagai global top 10 economy pada tahun 2030 dengan elemen sebagai berikut :
- Undisputed global leader : top 10 global economy
- Revive net export advantage : 10% net export
- APAC productivity-to-cost champion : 2 x current-productivity-to-cost
- Inspring the manufacturing tech revolution : 2% of R&D spending in GDP
Rendahnya pengeluaran R&D bukan tidak disadari oleh Pemerintah. Pada tahun 2045 ditargetkan belanja litbang nasional mencapai 4,2% dari PDB - setara dengan angka persentasi pengeluran R&D terhadap PDB Korea Selatan saat ini.Â
Bukan target yang mudah dan dapat dicapai dalam waktu singkat, karena banyak sektor lain yang juga meminta dana, mulai dari infrastruktur, subsidi listrik, subsidi BBM, subsidi jaminan sosial, subsidi rumah murah, anggaran desa, angggaran daerah tertinggal, bantuan rakyat miskin, anggaran daerah perbatasan, angaran bencana, kesehatan, pendidikan, pertahanan, belanja pegawai negeri dan tentara, pembayaran bunga hutang dan hutang yang jatuh tempo... Â
Menjadi pemimpin negeri haruslah bijak mengalokasikan dana yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang nyaris tanpa batas. Dengan menetapkan target pengeluaran R&D 2% pada 2030 dan 4,2% pada 2045, Pemerintahan Jokowi sudah melangkah dengan benar. Tapi, banyak orang-orang tidak sabar dan egois, maunya negara mendahulukan kepentingan kelompoknya saja tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar.
Perlu diperhatikan pula bahwa belanja R&D bukanlah berasal dari Pemerintah saja. Di negara-negara maju, pengeluaran R&D justru lebih banyak berasal dari sektor swasta. Di Jepang, misalnya, swasta berkontribusi 76%, sedangkan di China 74%.Â
Di Indonesia, kontribusi sektor swasta masih sangat kecil, pada tahun 2015 hanya 17% dan sisa 83% dari Pemerintah. Partisipasi swasta dalam R&D inilah yang  juga yang harus dipicu melalui berbagai kebijakan terkait, seperti pemberian berbagai insentif dan penyediaan infrastruktur yang diperlukan oleh industri untuk melakukan penelitian dan pengembangan di Indonesia.
Jadi, kelirunya Zaki bukan cuma soal data yang tidak update, tetapi mengaitkan anggaran R&D dengan pergantian presiden. Entah mengapa, sekarang ini banyak orang yang sebenarnya pintar sering ngawur memberi pendapat dan terkesan ingin menggiring ke arah cara pandang tertentu.
Meskipun CEO-nya ngawur, saya tidak meng-uninstall aplikasi Bukalapak dari gawai saya. Ternyata saya tidak bisa meng-uninstall karena belum pernah memasangnya di perangkat saya. Sementara situs belanja lainnya, Shopee dan Tokopedia yang sudah ada sejak lama saya biarkan tetap bercokol di ruang memori handphone.
Sumber :
ekonomi.inilah.com/
National Science Board, Science & Engineering Indicators 2018, Chapter 4: Research and Development : U.S. Trends and International Comparisons
kemenperin.go.id
mediaindonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H