Hari ini tepat 5 tahun saya bergabung dengan Kompasiana. Jika eksistensi di Kompasiana dihitung sebagai usia, maka saya baru saja melalui fase balita. Lepas usia balita, biasanya kanak-kanak akan memasuki tahapan baru. Beberapa keterampilan dasar untuk mengurus diri sendiri sudah dikuasai, dan tidak lagi harus didampingi orang tua ketika ikut sekolah taman kanak-kanak. Setelah itu, anak-anak akan masuk ke jalur pendidikan yang membawanya semakin matang, dewasa dan akhirnya mandiri.
Setelah 5 tahun "ngompasiana", saya sudah bisa apa ? Setelah ini, hendak kemana ?
Mencoba melihat ke belakang, saya merasa tidak banyak meningkatkan kemampuan menulis di sini. Salah saya. Kurang tekun mencari dan mengolah ide yang layak ditulis. Beberapa hari lalu saya membaca tulisan seorang Kompasianer yang mengingatkan bahwa untuk menjadi penulis yang baik, haruslah konsisten menulis. Analoginya begini : menyedot air dari tanah dengan pompa tangan, tidak boleh berhenti memompa ketika air sudah mengalir. Sekali kita berhenti, maka proses "memancing" air harus diulangi. Setiap orang yang pernah menggunakan pompa Dragon (pompa tangan) tahu bagian tersulit memompa air tanah adalah menarik air pertama kali ketika pipa dari sumber air masih kosong. Beberapa kali memompa hanya akan menghasilkan suara angin - tak ada air yang keluar.
Tulisan Kompasiner itu menyadarkan saya. Dengan jumlah artikel di Kompasiana hanya 122, saya menghasilkan rata-rata 2 tulisan per bulan. Itu mirip dengan sering berhenti memompa dan menyebabkan aliran air terputus sehingga perlu di"starter" lagi. Pantas saja, kadang-kadang saya bisa mandek menulis sampai beberapa minggu.
Awal tahun lalu, dalam rangka refleksi artikel saya yang ke-100 di Kompasiana, saya menuliskan enjoy dengan pola menulis sesuai mood. Kapan ingin menulis, menulislah - kalau lagi tidak ingin, jangan tulis apa-apa. Tidak ada tekanan, tidak ada target.
Memang Kompasiana memberi ruang katarsis sehingga ada perasaan enjoy, tapi sekarang saya menyadari menulis di Kompasiana bisa lebih dari sekedar enjoy meluapkan perasaan, mengabadikan kenangan atau mendeklarasikan opini. Jika keterampilan menulis tak cukup baik, maka pesan yang ingin diberikan kepada orang lain ataupun kepada diri sendiri bisa tak sampai. Orang lain atau bahkan diri sendiri mungkin tak akan memahami atau salah memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan.
Karena saya menulis sesuai mood dan mem"posting" artikel segera setelah tulisan mencapai titik akhir, saya sering menemukan kesalahan dalam alur, kata, ungkapan, data atau ejaan setelah tulisan ditayangkan. Untungnya, Admin Kompasiana memberi kesempatan tak terhingga untuk mengedit tulisan. Banyaknya kekeliruan yang terdeteksi dalam tulisan yang telah dipublikasikan merupakan indikasi bahwa kualitas tulisan saya memang masih jelek.
Indikator lain tentang belum baik atau kurang menariknya tulisan-tulisan saya tampak dari jumlah hits yang seringkali cuma 2 digit dan miskin komentar. Kalau lebih dari 2 digit apalagi lebih dari 3 digit, itu lebih disebabkan memang topiknya benar-benar hot (seringkali tentang politik), dimana siapa pun yang menulis pasti dikerubuti oleh pembaca. Kadang-kadang ada rekan Kompasianer yang mampir dan mungkin merasa kasihan lalu memberi vote atau berkomentar pendek.Â
Nick name 'Fantasi' yang saya pilih asal-asalan ketika mendaftar di Kompasiana membuat saya sering dipanggil Mbak, Ibu atau Sis dalam kolom komentar, padahal di dalam artikel secara implisit menunjukkan saya pria beristri. Hal ini sekali lagi menandakan mereka yang menyapa itu sebenarnya tak membaca isi artikel. Saya tak pernah mengoreksi kekeliruan panggilan itu, karena saya berterimakasih ada rekan yang meluangkan waktu untuk mengklik tombol 'beri nilai' atau menulis sebaris kalimat di kolom komentar. Tanpa mereka, mungkin tulisan saya hanya dapat hits 1 (satu), yaitu dari saya sendiri - bukankah itu akan sangat mendemotivasi ? Saya harus tahu diri, hits dan komentar tak selalu mewakili apresiasi terhadap tulisan, tapi mungkin apresiasi terhadap penulis sebagai sesama Kompasianer.
Sadar tulisan saya memang belum berkualitas, saya tak menuntut banyak dari Kompasiana. Mau sering error, mau sulit login, mau lelet, mau tidak objektif memberi label pilihan/HL dan sebagainya (sebagaimana dikeluhkan beberapa Kompasianer), Â tidak terlalu merisaukan saya. Masalah keamanan ketika server Kompasiana ngaco lebih mengkhawatirkan. Setidak-tidaknya dalam dua kesempatan yang berbeda saya pernah login dengan akun saya dan tanpa saya mau masuk ke akun anggota Kompasiana lain. Hal seperti ini tidak bisa ditoleransi, karena betapa bahayanya jika ada Kompasianer yang jahil menghapus akun atau tulisan kita. Sama buruknya dengan itu, akan sangat tidak menyenangkan kalau tiba-tiba di akun Kompasiana kita ada tulisan yang secara administratif adalah tanggung-jawab kita tetapi bukan kita sendiri yang menulis dan isinya justru tidak kita setujui.
Seringnya error pada situs Kompasiana memang kadang membuat saya malas berkunjung. Hilangnya notifikasi tentang adanya komentar baru di artikel kita atau artikel penulis lain yang pernah kita komentari juga membuat motivasi untuk connecting ikut tergerus. Lebih buruk lagi, kita tidak membalas komentar karena tidak tahu ada komentar yang belum terbaca, sehingga terkesan kita tak mempedulikan pengunjung ke blog kita.
Error Kompasiana memang kadang-kadang  menyebalkan. Berkurangnya jumlah hits dan hilangnya komentar di artikel lawas membuat diri merasa di PHP-in oleh Kompasiana. Meskipun saya bukan pemburu hits, tapi milestone di Kompasiana perlu untuk dijadikan sebagai bahan introspeksi. Jumlah HL yang saya dapat (dicatat oleh Admin cuma 5, meskipun saya hitung ada 6) selama 5 tahun bisa menjadi tanda seberapa kurang seringnya saya mengangkat isu atau topik yang pantas di"HL"kan.
Sejujurnya, Kompasiana yang saya kenal 5 tahun lalu dan beberapa tahun sesudahnya, lebih menarik dibandingkan Kompasiana sekarang. Namun, bagaimanapun juga, Kompasiana telah memberikan kesempatan kepada saya untuk merasa "eksis". Atau, setidak-tidaknya, menyediakan repository untuk tulisan-tulisan saya yang pastinya tidak bakalan diterima di media mainstream.
Sekarang, setelah 5 tahun menjadi Kompasianer yang bertepatan pula dengan awal tahun 2017 ini, saya merasa sudah saatnya untuk masuk ke fase berikutnya dalam aktivitas menulis di media sosial. Kalau saja saya bisa secara reguler mengangkat isu-isu yang jadi perhatian publik dan mengemasnya dalam tulisan yang kaya data, analisis dan wawasan, mungkin saya bisa menjadi blogger yang lebih baik. Siapa tahu suatu hari saya akan menjadi jurnalis warga yang baik pula ? Atau, mungkin menerbitkan buku yang merupakan kompilasi tulisan di Kompasiana ? Untuk saat ini, tampaknya itu seperti mimpi di siang bolong, tapi ... siapa tahu 'kan ?
Setelah 5 tahun menjadi Kompasianer, saatnya untuk sadar sudah bukan lagi balita yang cuma sanggup menulis se'jadi'nya. Saatnya untuk belajar. Saatnya untuk lebih tekun. Lebih disiplin. Saatnya untuk berani bermimpi. Dan tetap enjoy, tentu saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI