Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

(Catatan Perjalanan 4): Naik Kereta Api Ekonomi Surabaya - Semarang

24 Desember 2016   11:17 Diperbarui: 24 Desember 2016   11:54 1699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Gile loe, berani naik kereta ekonomi! Gempor kaki loe jam-jaman di kereta sumpek begitu!" komentar seorang teman dari seberang telepon ketika saya beritahu saya dan keluarga akan ke Semarang dari Surabaya dengan menumpang kereta kelas ekonomi.

"Hehehe, gimana lagi... Budgetnya cuma sanggup beli tiket ekonomi," tanggap saya. Sebelumnya saya sudah berniat naik bus saja dari Surabaya ke Semarang untuk mengoptimalkan biaya perjalanan. Setahu saya, tiket kereta api bisnis lebih mahal dari tiket bus atau mini van dan berdasarkan pengalaman belasan tahun lalu saya tak berpikir untuk membawa beberapa koper dengan menggunakan kereta ekonomi. Lalu, saya ingat kereta api Indonesia telah berubah.

Membeli tiket kereta Maharani yang melayani Stasiun Surabaya Pasar Turi - Semarang Poncol seharga Rp. 158.208 untuk bertiga adalah pilihan rasional bagi saya dibandingkan dengan kereta super nyaman kelas eksekutif seperti Sembrani yang akan menyedot dompet saya minimum Rp. 1.020.000 plus biaya pemesanan. Tiket Maharani cuma Rp. 49.000 per orang, dengan tambahan untuk keseluruhan pesananan handling fee Rp. 3.708 dan convenience fee Rp. 7.500 jelas penghematan luar biasa. Tinggal sekarang, seberapa banyakkah ketidaknyamanan yang akan saya dapatkan akibat penghematan ongkos itu ?

Lama tak lagi menggunakan jasa kereta api, sejak Bandung-Jakarta jauh lebih praktis diarungi dengan "travel"ala Cipaganti dan XTrans, saya bahkan sudah lupa "tata laksana" menaiki kereta api. Mungkin bukan sekedar lupa, tapi memang zaman sudah berubah. Zaman saya sekitar hampir setiap akhir pekan melaju ke Bandung di atas kereta api Parahyangan (kadang dapat tempat duduk, kadang berdiri di dalam gerbong, kadang berdiri di bordes) memang tak dapat lagi dijadikan referensi. Kala itu, saya harus berlari-lari begitu tiba di Stasiun Gambir untuk berlomba antri membeli tiket kereta api Parahyangan Non AC yang selalu laris manis di akhir pekan.  

Dalam voucher tiket kereta api yang saya pesan secara online tertera pesan "Tunjukkan voucher pada petugas loket stasiun untuk menukarkan dengan tiket atau gunakan untuk mencetak tiket pada mesin pencetak tiket yang tersedia di stasiun tertentu." Berbekal instruksi tersebut, sehari sebelum tanggal keberangkatan saya mendatangi bagian informasi di Stasiun Pasar Turi dan diberi tahu bahwa PT KAI tidak mengeluarkan tiket, cukup menggunakan kode booking untuk check-in. Wow! Betapa udiknya saya! Hal sederhana begini kok tidak tahu ?

Karena check-in baru dapat dilakukan maksimal 12 jam sebelum keberangkatan, maka saya disarankan untuk melakukan check in pada saat akan berangkat saja. Saya manut saja. Jadwal kereta Maharani Surabaya-Semarang adalah pukul 06.00 dan sekitar pukul 05.00 keesokan harinya saya sudah siap di depan mesin check-in. Prosedurnya memang sederhana cukup masukkan kode booking ke perangkat komputer, tekan tombol eksekusi tiga lembar boarding pass langsung tercetak mulus. Tak pakai antri, tak pakai ribet. Ruang tunggu yang berada di dalam gedung Stasiun Pasar Turi yang relatif tua terasa tenang dan nyaman karena hanya penumpang yang memiliki boarding pass yang boleh masuk (ada pemeriksaan identitas di pintu masuk). Tersedia cukup banyak kursi, praktis semua penumpang yang menunggu kebagian tempat duduk. Ruangan terasa sejuk karena berpendingin dan ada beberapa stop kontak di kiri kanan yang bisa digunakan untuk mengisi batre gadget.

Sekitar lima belas menit sebelum pukul 06.00 penumpang diizinkan masuk ke platform dan tak lama kemudian kereta Maharani siap di jalur. Tampangnya jelas kalah jauh dibandingkan dengan Kereta Sembrani yang baru tiba dari Jakarta dan parkir di rel sebelah. Dari jendela yang khas kereta lama tampak suasana dalam gerbong terlihat rada suram dibandingkan dengan kereta eksekutif di sebelahnya yang terang benderang memamerkan jajaran kursi mirip tempat duduk di pesawat udara

Tak lama menunggu, penumpang dipersilakan masuk ke dalam gerbong. Tempat duduk penumpang tersusun di sebelah kiri dan kanan lorong; setiap baris terdiri dari 5 tempat duduk - 2 penumpang di sisi kiri lorong gerbong dan 3 penumpang di sisi kanan. Setiap baris berhadap-hadapan dengan baris tempat duduk penumpang lain; dengan demikian setiap baris penumpang memunggungi penumpang lain yang berbagi sandaran tempat duduk. Dengan susunan tempat duduk yang sangat ekonomis seperti ini, mau tidak mau, sebagian penumpang akan menghadap ke arah berlawanan dengan arah kereta. Antara satu nomor tempat duduk dengan yang lain tidak ada pembatas. Tentu saja, jangan berharap sandaran kursi dapat direbahkan. Satu gerbong dapat diisi oleh 106 penumpang; bukan kelipatan 5, karena tempat duduk di dekat kamar kecil cuma hanya ada satu sisi.

Udara di dalam gerbong cukup adem, ada enam pendigin ruangan (dari ukurannya mungkin sekitar 2-3 PK) yang ditempel di bagian atas lorong kereta. Tempat barang di atas kursi duduk berupa rak tanpa penutup. Perlu baik-baik meletakkan koper atau barang bawaan lain yang berukuran besar agar cukup aman ketika kereta berguncang. Tepat pukul 06.00 kereta mulai bergerak. Wow, kejutan yang keren, saya tidak berharap kereta ekonomi taat waktu seperti itu.

Meskipun nomor tempat duduk dapat dipilih secara gratis ketika melakukan pemesanan, pada saat saya membeli tiket online ternyata kursi-kursi yang sebaris untuk bertiga sudah habis. Jadinya kami duduk terpisah dan bergabung dengan penumpang lain. Nostalgia duduk berdempet dengan orang asing ketika naik Parahyangan dulu muncul kembali. No problem. Berangkat dari Surabaya masih ada beberapa kursi yang kosong. Menurut ibu yang duduk di seberang saya, kursi kosong itu mungkin dipesan oleh penumpang yang naik di stasiun yang akan disinggahi nanti.

Kejutan menyenangkan berikutnya hadir ketika melihat di bawah jendela ada 2 stop kontak. Ha! Handphone Android kampungan saya yang hanya sanggup bertahan kurang dari 1/2 jam dengan batre menemukan nafasnya kembali melalui 'infus energi' yang disediakan oleh PT KAI ini.

Kejutan lain datang ketika petugas KA menawarkan makanan dan saya memesan nasi goreng. Ternyata yang dibawa nasi goreng 'instan' yang dikemas dalam wadah plastik apik dan dihidangkan setelah dipanaskan dengan microwave. Saya jadi ingat masa-masa jadi pelanggan setia kereta Parahyangan dulu ketika muncul isu bahwa nasi goreng yang disiapkan di kereta restorasi itu berasal dari sisa makanan penumpang sebelumnya, sehingga disarankan pesan sandwich saja kalau perlu makan di kereta. Baik wadah makanan maupun minuman di dalam kereta Maharani semuanya sekali pakai, sehingga higienisnya terjamin.

Kereta berhenti, menaikkan dan menurunkan penumpang di Lamongan, Babat, Bojonegoro, Cepu, Randublatung dan Ngrombo. Tidak lama, mungkin hanya sekitar 5 menit atau kurang di setiap persinggahan. Hal kontras yang saya ingat dengan KA ekonomi zaman dulu adalah absennya pedagang asongan yang keluar masuk kereta setiap kali berhenti. Selain menambah sesaknya dan sumuknya udara di kereta yang pengap beraroma keringat, kesemrawutan pedagang dan entah siapa saja yang hilir mudik di dalam gerbong setiap stasiun perhentian selalu menimbulkan kekuatiran akan keamanan barang-barang bawaan. Yang juga absen dari kereta ekonomi ini adalah praktis tidak pernah berhenti karena mendahulukan kereta lain menggunakan jalur - itu bagian yang paling menyebalkan di zaman saya jadi pengguna kereta api ekonomi dulu.

Ketika menggunakan kamar kecil terasa ruangan toilet sedikit pengap dan kumuh, tapi air mengalir dan pintunya bisa dikunci. Lumayanlah.  Ini jauh lebih baik dibandingkan salah satu kereta ekonomi yang pernah saya tumpangi dulu tak ada air dan lubang toiletnya langsung membuka ke jalur rel di bawahnya. 

Kejutan akhir yang juga menyenangkan dari KA Maharani, kereta api tiba di Stasiun Tawang Semarang sebelum pukul 10.30, sedikit lebih cepat dari jadwal. Empat jam 30 menit menempuh Surabaya - Semarang memang masih lebih lama daripada waktu tempuh Kereta Argo Anggrek yang cuma perlu 3 jam 24 menit atau Sembrani 3 jam 55 menit. Tapi, untuk setiap penghematan waktu dan kenyamanan yang ditambahkan tentu ada biayanya.  Dengan tarif yang hanya sekitar 1/6 tarif kereta eksekutif, bagi para penumpang yang tidak diburu waktu, tidak juga terlalu menuntut kenyamanan sekelas pesawat udara serta tidak juga punya reputasi kelas sosial yang harus dijaga, naik kereta api Maharani boleh jadi salah satu pilihan ketika bepergian dari Surabaya ke Semarang atau sebaliknya.

Well, Semarang, here we come. Thank you, Maharani. Naik kereta ekonomi juga bisa aman dan nyaman. Thank you, Pak Ignasius Jonan yang telah menginisiasi reformasi di perkeretaapian Indonesia. Bravo, PT KAI !

#sby-smg 23.12.2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun