Kisah penjual minyak ular pertama kali saya dengar ketika mengikuti kuliah Metodologi Penelitian belasan tahun lalu. Saya sudah tidak ingat detailnya dan juga tidak tahu apakah cerita itu karangan dosen yang membagikan cerita itu atau apakah dia hanya mengutip.
Kira-kira intinya begini : Ada seorang penjual minyak ular yang gemar bercerita. Dia memikat orang-orang mampir di lapaknya dengan cerita humor, petualangan, romansa hingga horor. Selesai bercerita, kepada orang-orang yang berkerumun itu dia akan menawarkan minyak ular yang bisa menyembuhkan gatal-gatal dan bermacam-macam penyakit kulit lainnya.
Cara si penjual minyak ular mendeskripsikan objek atau situasi cukup unik. Dalam setiap bagian dari ceritanya ia selalu menggunakan ular sebagai perbandingan. Misalnya, ia akan bercerita "Ayam jantan yang perkasa itu memiliki sangat nyaring, kaki yang kokok dan cakar yang tajam bagaikan taring ular." Atau, "Sang pemuda membisikkan kata-kata rayuan bagaikan ular yang menggoda Siti Hawa ". Ada pula, "Gajah mengangkat kayu besar itu dengan belalainya yang panjang seperti ular." Bahkan, "Angin menyusup melalui daun jendela seperti desisan ular". Apa pun plot dan tema ceritanya, dia akan banyak menggunakan kata "ular". Selalu akan ada "ular" di dalamnya, meskipun isi cerita tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan ular.
Guru saya menggunakan kisah penjual minyak ular untuk mengilustrasikan bagaimana pengetahuan yang terbatas bisa membuat seorang peneliti memaksakan model yang dikenalnya ke setiap permasalahan yang dihadapi. Mereka yang memakai kacamata berlensa biru akan melihat sebagian besar objek menjadi biru atau kebiruan.
Saya teringat akan pelajaran lama ini, karena melihat ada kemiripannya dengan sikap segelintir orang terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Ketika Ahok memindahkan pemukim ilegal di Kampung Pulo dan Kalijodo ke rusunawa, dia dituding mengusir pribumi dari tanah mereka. Ketika Ahok membiarkan tempat yang diduga pusat prostitusi di pusat kota, dia dituduh melindungi bisnis pengusaha yang sama ras dengannya. Ketika Ahok melarang pedagang kambing tetapi membiarkan pedagang ikan di suatu ruas jalan, Ahok ditengarai mengistimewakan perayaan agama tertentu. Ketika Teman Ahok yang terdiri dari berbagai ras mengumpulkan fotokopi KTP untuk mendukung Ahok maju sebagai calon gubernur dari jalur independen, segelintir orang memelototi, "Lihatin tuh, yang nyetor KTP kebanyakan Tionghoa."
Padahal, jika mau objektif, apa sulitnya menggugat Ahok semata-mata dari hal-hal yang dilakukan atau tidak dilakukannya dalam jabatannya sebagai gubernur? Mengapa harus dikait-kaitkan dengan agama atau ras? Apakah sebagian kita sudah menempelkan lensa SARA di permukaan kornea mata?
Tidakkah cukup mempersoalkan relokasi penduduk dari aspek legal, ekonomi dan sosial saja ? Mengapa harus memeriksa ras yang direlokasi dan yang merelokasi ?
Mengapa pula harus nyinyir dan mengintip pilihan politik warga Tionghoa dalam Pilkada ? Bukankah di Pilkada Medan 2015 komunitas Tionghoa lebih mendukung calon walikota/wakil walikota yang dua-duanya pribumi meskipun saingannya mengusung Tionghoa sebagai calon wakil walikota ? Lagi pula, 5,5% penduduk Tionghoa Jakarta tak akan cukup mengantarkan Ahok jadi gubernur.
Ada dua artikel menarik di Kompasiana terkait primordialisme dalam pengisian jabatan publik. Tanza Erlambang menulis tentang aspek kedekatan agama dan suku dalam keputusan memilih kontestan untuk jabatan publik. Sementara itu, Neo Truthseeker menulis tentang penggunaan isu primordialisme oleh kelompok anti Ahok. Belajar dari dua tulisan ini, sebenarnya tak perlu melancarkan serangan-serangan berbau SARA kepada Ahok untuk bisa memenangi Pilkada DKI Jakarta 2017. Warga DKI akan memilih yang terbaik dan kalau ada kandidata yang sama baik (bahkan asalkan cukup baik), orang-orang akan cenderung memilih kandidat yang memiliki kedekatan primordial dengan mereka. Kekurangan Ahok dalam memimpin dan mengelola Jakarta selama ini tentu saja boleh dan legal dijadikan isu untuk menarik pemilih. Tetapi, sungguh tak ksatria menggunakan isu agama dan ras dalam merebut jabatan publik.
Mengalahkan Ahok tidaklah sulit jika saja partai-partai terbuka mengusung kandidat terbaik dari dalam atau luar partai. Bukankah Jokowi - yang cuma walikota dari kota kecil - bisa jadi gubernur DKI Jakarta dan bahkan jadi presiden RI tanpa harus membawa-bawa isu SARA ? Apa sulitnya mengalahkan Ahok yang minor dukungan partai dan - ya - memang minoritas dari sisi suku dan agama tanpa harus mengungkit-ungkit keminorannya ? Ahok hanya bisa menang jika mekanisme rekrutmen bakal calon gubernur dan egoisme ketua/elit partai akhirnya menampilkan kandidat kelas KW 2 sebagai penantang Ahok di Pilgub DKI 2017.
Jadi, mengapa kita masih terus dibombardir dengan pernyataan-pernyataan dan tulisan-tulisan yang mengungkit SARA untuk mendiskreditkan Ahok ? Seperti cerita penjual minyak ular yang tak bisa melepaskan diri dari "ular"nya, tampaknya sebagian kita sudah terbelenggu dengan pikiran picik dan melihat setiap objek atau peristiwa dengan menggunakan lensa SARA. Jangan-jangan sebagian dari kita sudah terlalu lama menjadi penjual minyak ular.
Â
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H