Sekali lagi pak tua diam dan terlihat menimbang-nimbang. Beberapa saat kemudian dia mengguman," Baiklah kita sepakat membagi hasilnya, Tuan. Datanglah besok malam, Tuan, saya akan tunjukkan dan berikan bagian Tuan. Jangan seorang pun tahu, anak istrimu pun jangan. Jika ada yang tahu, maka kesepakatan kita batal."
Sang petugas mendengus mengiyakan. Istri dan ketiga anaknya sedang berlibur ke negeri seberang dan tak perlu tahu apa yang sedang dia kerjakan. Bendahara negeri sebagai atasannya tak perlu diberitahu - itu sudah pasti. Rekan petugas pajak juga tak perlu diajak - siapa yang mau berbagi rejeki?
Keesokan malamnya pak tua dan petugas pajak menyusuri pematang sawah dan memasuki hutan ke arah muara sungai. Pak tua melangkah cepat diikuti sang petugas yang sedikit tertatih membopong perut gendutnya. Sepanjang jalan pak tua tak berbicara sepatah kata pun. Jalur yang mereka lalui menghindar dari pemukiman dan mereka tak berpapasan dengan seorang manusia pun. Berbekal cahaya bulan mereka akhirnya tiba di sebuah tempat yang tampak seperti empang di tengah-tengah rerimbunan pohon.
"Di sini," ucap pak tua ketika menghentikan langkahnya.
"Di mana ?" tanya sang petugas sambil mengamati genangan air kehitaman yang permukaannya berjarak sekitar tinggi orang dewasa dari tebing tempat mereka sedang berdiri.
"Saya menangkap buaya di sini dan mengambil kulitnya dan menjualnya ke kota yang jauh agar tak diketahui orang-orang sedesa."
Sang petugas mengamati lebih teliti dan mencoba mencari-cari yang bergerak di hamparan air. Terlalu gelap.
"Seberapa sering ?"
"Sudah dua kali."
Sang petugas kecewa. "Bukankah katamu uang penghasilan rahasiamu sangat banyak?"
"Itu sangat sangat banyak bagi keluarga kami. Kulit seekor buaya cukup untuk nafkah empat bulan. Ketika panen gagal, itu jadi penyambung hidup kami."