Dunia maya dan media baru yang datang bersamanya adalah realitas yang menakjubkan.Sekaligus menakutkan.
Setiap orang sekarang dapat menyebarluaskan berita, gagasan dan pendapat ke khalayak dalam tempo sekejap, menjangkau seluruh dunia, nyaris tanpa biaya, nyaris tanpa sensor atau batasan apapun. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, yang dipuncaki dengan meruyaknya media sosial ke seluruh pelosok dan ke seluruh lapisan masyarakat memungkinkan fenomena baru ini.
Ratusan juta orang mendadak menjadi pewarta yang bisa mengabarkan apa saja melalui komputer jinjing dan telepon genggamnya : mulai dari jumlah demonstran yang tewas yang ditutup-tutupi oleh pemerintah, hingga tentang si kecil yang lupa gosok gigi tadi pagi.
Ratusan juta orang mendadak menjadi pakar dalam bidang apa saja untuk mengomentari berita atau pendapat yang tersebar di forum maya; amunisinya mulai dari ayat-ayat Kitab Suci, teori pakar dari seluruh penjuru bumi, pengalaman pribadi dan - tentu saja - tautan situs yang ditunjukkan oleh mesin pencari Google.
Ratusan juta orang yang tadinya diam dan tak pernah menyiapkan diri untuk mengeluarkan suaranya di media publik, sekarang menjadi produsen kata-kata dan gambar-gambar yang membanjiri milyaran halaman situs di internet.
Kesempatan itu tersedia begitu mudah : cuma mendaftarkan alamat surel gratisan dan identitas pribadi - boleh jujur, boleh bohong-bohongan; pintu-pintu untuk menyebarluaskan informasi dan gagasan pribadi terbuka sangat lebar. Lazimnya setiap situs mewajibkan pendaftar untuk membaca Terms & Conditions (syarat dan ketentuan) untuk berpartisipasi dalam komunitas, tapi ini biasanya tidak begitu diperhatikan. Tinggal klik "I agree" atau "saya setuju", selanjutnya orang-orang melibatkan diri dalam komunitas maya dengan cara yang diasumsikannya sendiri.
Melalui tulisan dan gambar yang diunggah di halaman-halaman komunitas maya, orang-orang membagikan setiap informasi dan gagasan yang dimiliki; dan melalui fasilitas di balong komentar, orang-orang menanggapi informasi dan gagasan orang lain. Interaksi terjalin di antara orang-orang yang hadir di sebuah forum maya. Namun, sebagian besar tidak tahu, bahkan mungkin tidak pernah mendengar, aturan yang disebut dengan netiquette (etiket berinteraksi di dunia maya). Sebagian tidak tahu atau tidak peduli dengan etika dalam hubungan antar manusia yang berlaku di dunia nyata dan di dunia maya. Anonimitas menambah keleluasaan untuk bersikap, berujar dan berinteraksi, seakan-akan media baru telah menyediakan kebebasan tanpa batas.
Bagaikan jalan raya yang minim rambu dan dijejali oleh orang-orang yang bahkan tak tahu apakah harus berjalan dan mengemudi di sisi kiri atau di sisi kanan, dunia maya menyaksikan benturan dan tabrakan antara anggota masyarakatnya. Masing-masing mengambil jalannnya sendiri, ingin mendahului, merebut jalur, menubruk bila perlu, memaki jika terganggu, meradang dan menerjang jika diserang. Dunia maya menjadi realitas yang menakutkan. Manusia menjadi liar dan demikian ganas satu sama lain; memojokkan dan menghina dengan kata-kata kasar plus pelintiran logika dan informasi bohong menjadi salah satu cara menyingkirkan orang lain untuk menempatkan pendapat pribadi di puncak piramida kebenaran.
Dunia maya yang idealnya dijadikan tempat pertemuan gagasan untuk melahirkan gagasan baru yang lebih baik berubah menjadi lahan untuk memaksakan gagasan. Media baru yang diniatkan untuk membuka seluas-luasnya kesempatan bagi para awam untuk berpartisipasi dalam isu aktual, berubah menjadi medan pertarungan pendapat, citra dan idola yang harus dimenangkan dengan segala cara.
Kesempatan untuk menyampaikan gagasan dan pendapat tanpa moderasi membuat banyak orang tergagap-gagap menanggapinya. Belum pernah ada kebebasan sebesar ini mereka dapatkan di dunia nyata. Mereka meneriakkan aspirasi dan pikiran mereka sesuka hati, mengabaikan perasaan golongan lain dan mem-bully orang lain yang berbeda pendapat. Mereka lupa, setiap individu hanyalah sebuah simpul di dalam tali temali jejaring sosial; semua menjadi subyek, tak ada yang hanya sekedar obyek; tak ada yang lebih berhak dari yang lain untuk menguasai ruang publik tersebut.
Tidak dipahaminya etiket berinteraksi di dunia maya membuat situasi tambah semrawut. Namun, etiket internet saja tidak cukup.
Pertarungan, perselisihan dan perdebatan yang tidak produktif di dunia maya hanyalah lanjutan dari ketidakmampuan menanggapi perbedaan di dunia nyata. Jika di dunia nyata konflik akibat perbedaan tersebut bisa dipendam karena adanya etika sosial yang sudah dikenal sejak kanak-kanak, maka dunia maya menjadi tempat penyaluran konflik terpendam tersebut. Sumpah serapah yang ditahan-tahan di dunia nyata meledak tanpa henti bagaikan rentetan mercon di dunia maya. Ide-ide liar yang terkekang di dunia nyata karena menjaga perasaan pihak lain menemukan habitatnya di dunia maya dan memancing kehadiran ide yang lebih liar lagi.
Pseudonim, anonimitas dan tidak adanya interaksi "face-to-face" menjadi penyebab orang-orang berperilaku berbeda di dunia maya dengan di dunia nyata. Di balik avatar dan nama semu di dunia maya kebanyakan adalah orang-orang biasa yang dalam keseharian adalah orang baik-baik yang berbahasa lembut dan toleran terhadap perbedaan. Namun, mereka berubah menjadi orang yang beringas dan intoleran ketika masuk ke dalam dunia maya. *)
Mereka tak berbeda dengan orang-orang yang bermain video game. Seorang yang tak punya nyali menyembelih ayam di dunia nyata, dengan mudah akan menembak mati dan memancung leher ratusan musuh dan menikmati erangan sakaratul maut di tengah-tengah genangan darah di permainan virtual. Bagi sebagian orang, tanpa mereka sadari, dunia maya tak lebih dari sebuah permainan virtual; audiens dan lawan berdebat adalah obyek dan musuh yang tak lebih dari kata-kata dan gambar yang diciptakan secara elektronis oleh mesin komputer dan jaringan internet.
Alih-alih mengingat sesama anggota komunitas ataupun khalayak luas sebagai audiens tulisannya, sebagian orang menulis atau berkomentar hanya sekedar memuaskan syahwat berpendapatnya dengan memuncratkan apa pun yang ada di benaknya. Tak ada kendali internal; tak ada batasan sosial. Mereka beropini tentang orang lain dan pendapat lain, tanpa peduli bahwa orang lain tersebut atau orang yang berpendapat lain itu ada di sekitar mereka, membaca dengan seksama setiap kata dan gambar yang tayang di monitornya.
Mereka lupa bahwa orang yang namanya disebut, atau pendapatnya, keyakinannya dan golongannya disinggung dalam tulisan tersebut bisa tersinggung atas suatu misinformasi, misrepresentasi, misinferensi dan miskomunikasi. Jika pun para penulis tersebut menyadari tentang hal tersebut, mereka menganggap ketersinggungan tersebut adalah kebodohan pribadi atau golongan, karena dari sisi pemberi opini tidak ada niat menyinggung, hanya menyampaikan fakta apa adanya atau memberikan hasil runtutan penalaran yang sah. Ketersinggungan itu seringkali memicu perlawanan berupa kemarahan dan perdebatan yang tidak mencari pemahaman bersama, tetapi klaim meng-klaim kebenaran dalam rangka mempertahankan posisi masing-masing.
Kebebasan adalah ciri dari dunia maya dan media baru. Mencoba mengendalikan konflik karena perbedaan pendapat dengan cara membuat aturan-aturan dan pengendalian yang keras mengkhianati ide dasar dari media baru, yang pada ujungnya akan membuat media baru tersebut akan kehilangan kekuatan dan daya tariknya. Namun, membiarkan saja setiap orang membuat aturannya sendiri tentu adalah solusi ekstrem yang pasti gagal. Ketika hukum dan aturan formal tak hendak dijadikan sebagai rambu-rambu utama, maka kecerdasan bersama dan etika dapat dijadikan sebagai sandaran.
Para pengguna media baru perlu diedukasi tentang realitas dunia maya. Adalah tanggung-jawab komunitas untuk mengulang-ulangi pemahaman ini kepada anggota baru dan anggota lama, karena hanya melalui pemahaman bersama yang benar tentang realitas tersebut bisa membuat komunitas bertahan. Kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam cara berinteraksi yang dicontohkan dan diingatkan dari waktu ke waktu akan menjadi norma yang melekat di dalam dan mengikat komunitas. Dengan perkataan lain, ini menjadi kecerdasan bersama dalam komunitas tersebut. Tentu, tidak ada jaminan akan ada yang menyimpang; namun, sanksi sosial dari komunitas berupa teguran dari sesama anggota (bukan dari administratur pengelola komunitas) atau pengucilan akan membuat norma yang baik tersebut bertahan.
Jadi, bagaimanakah sebaiknya berinteraksi di dunia maya, khususnya ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda pendapat ?
- Dunia maya bukan dunia nyata. Kita menjadi pribadi yang berbeda ketika masuk ke dunia maya. Kita memandang manusia lain secara berbeda ketika berinteraksi di dunia maya. Meskipun kita berupaya untuk menganggap orang yang berinteraksi dengan kita di dunia maya adalah senyata makhluk yang kita kenal di dunia nyata, proses interaksi yang berlangsung melalui perantaraan komputer dan internet mau tidak mau menciptakan realitas yang berbeda dibandingkan dengan "face-to-face" di dunia nyata, dan sangat mungkin kita akan hadir dengan moralitas yang berbeda pula. *)Â Kesadaran akan hal ini mewajibkan kita untuk memeriksa diri sendiri ketika mengungkapkan gagasan di dunia maya.
- Kebanyakan interaksi di dunia maya bersifat insidental (tak direncanakan, tak diniati) dan temporer (interaksi akan berakhir begitu saja). Sebagian orang masuk ke gelanggang diskusi sekedar "njeplak", "ignoran" terhadap topik yang diperbincangkan, "cuma jadi penggembira", "kompor" dan "tape recorder rusak". Bereaksi secara negatif terhadap tulisan atau komentar yang sejatinya bernilai rendah dari orang-orang yang berbeda pendapat dengan cara demikian akan membangkitkan perdebatan yang tak berguna. Sebaris kalimat terimakasih sebagai "certificate of attendance" mereka dan emoticon senyum cukuplah untuk menghargai partisipasi mereka. Lebih baik berfokus untuk menanggapi atau mengomentari tulisan atau komentar lain yang sungguh-sungguh menyapa untuk mencari kebaikan dan kebenaran.
- Untuk mereka yang memang serius mendiskusikan perbedaan pun tak perlu berharap bahwa dengan semuanya akan berujung pada pemahaman bersama. Diskusi di dunia maya akan selalu mencapai suatu kesepakatan hanyalah mimpi yang dipaksakan. Orang-orang mampir ke sebuah situs tidak selalu untuk mencari kebenaran, tapi sebagian membawa misi menyampaikan kebenaran yang sudah 'final'; harus diingat pula bahwa ada kebenaran yang tak perlu didamaikan, seperti kebenaran dalam agama dan ideologi. Ada yang datang membawa informasi yang bias dan memasang filter terhadap informasi tandingan jika itu melemahkan argumennya. Sebagian datang dengan alur pikir yang telah terpatri mati di benaknya, tak bisa lagi diubah meski disodorkan ratusan teori tentang kesesatan bepikir.
- Memasuki suatu komunitas - termasuk di dunia maya - bertujuan untuk berinteraksi dengan anggota lain yang memiliki "common interest", tetapi dalam kesamaan minat dan kepentingan tersebut tak bisa dihindari terdapat perbedaan dalam aspek lain, bahkan perbedaan itu mungkin sangat prinsipil. Jika kita menyadari bahwa perbedaan adalah suatu keniscayaan, kita tak akan memaksakan konsensus. **) Kita akan belajar untuk menerima kenyataan bahwa perbedaan tertentu akan menempatkan kita dalam kendaraan yang berbeda dengan tujuan yang berbeda dan jalur yang berbeda; kita dapat berada dalam komunitas (dan bumi) yang sama dalam situasi demikian tanpa harus berupaya meniadakan satu sama lainnya. Kita harus belajar hidup selama hayat di kandung badan dengan semua perbedaan itu. Ada kalanya lintasan gagasan kita saling bersilang; itulah saatnya kita menggunakan kebijakan untuk menahan diri agar tidak saling bertabrakan. Ketika kita berpapasan di dunia maya, tak ada kewajiban saling menyapa jika itu akan membawa kemudharatan.
- Akhirnya, dasar etika dalam hubungan antar manusia adalah : saya manusia, kamu manusia, mereka manusia; kita memiliki banyak kesamaan sekaligus banyak perbedaan; sama seperti saya ingin dianggap, dihargai dan dihormati dalam aspek diri saya yang berbeda, demikian juga saya selayaknya memperlakukan orang lain. Ini berlaku di dunia nyata, juga di dunia maya. Interaksi dengan orang-orang yang berbeda pendapat di dunia maya haruslah dengan selalu mengingat bahwa di balik akun dan avatar mereka ada manusia nyata yang terdiri dari darah, daging dan jiwa.
Catatan :*) dari Thomas Ploug,"Ethics in Cyberspace: How Cyberspace May Influence Interpersonal Interaction", Springer, 2009
**) dari Catherine Lumby and Elspeth Probyn, "Remote Control: New Media, New Ethics", Cambridge University Press, 2003
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H