Mohon tunggu...
Fanny Wiriaatmadja
Fanny Wiriaatmadja Mohon Tunggu... -

A writer and an employee | An observer and an analyst | Write anything than comes to her mind (travel, movie, food, book, people behavior, memory) | Protagonist Outside, Antagonist Inside | Know me more at www.fannywa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Novelis dan Tokohnya

22 Agustus 2013   14:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:58 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Itu pagi yang sangat cerah, ketika Danu bersiul-siul memasuki ruangan kantornya, sebelum kemudian berhenti mendadak baik dalam segi siulan maupun langkah karena melihat sebuah surat dengan amplop tidak wajar di mejanya. Jantungnya berdegup. Again. Surat ini lagi.. Ini kali kedua dia menerimanya; yang pertama adalah dua hari lalu, dan dia sama sekali tidak suka isinya.

Perlahan diraihnya surat itu dan dikeluarkan, kemudian dibacanya. Degupan jantungnya masih sama keras dan kencangnya. Bulir keringat muncul setitik. Pengikutnya pasti akan banyak, berebut membanjiri keningnya. Dan sesuai dugaannya, itu surat kaleng yang sama dengan hari-hari lalu. Ancaman yang sama, isi yang sama. "Aku tahu kecuranganmu. Hentikan itu atau aku laporkan. Semua demi kebaikanmu sendiri."

Tangannya mulai bergetar dan berkeringat. Basah. Tidak nyaman. Sama seperti hatinya yang gelisah tak terbendung. Siapapun orang ini, dia serius, dan pasti tahu semuanya. Nama demi nama bertaburan di otaknya, praduga dan tuduhan mulai berkecamuk di benaknya. Siapa yang kira-kira cukup tidak menyukainya untuk melakukan semua ini?

Ya, Danu memang melakukan penggelapan dana perusahaan mulai sebulan lalu, saat sebuah sistem baru diterapkan di kantor dan sebagai penggagas, dia menemukan celah dalam sistem yang tidak diketahui siapapun untuk melakukan penggelapan itu. Main api yang ternyata nikmat dan nagih, sehingga berkali-kali dia lakukan lagi, makin hari dengan jumlah dana yang makin tinggi, tapi tetap dalam batas supaya tidak menmbulkan kecurigaan. Apalah artinya belasan jutaan dibanding dengan triliunan?

Sekarang si pengirim surat kaleng ini tahu. Danu pucat pasti. Mungkin ini memang teguran dari Tuhan. Teringatlah dia akan wajah istrinya, wajah anaknya yang setiap sore menyambutnya dengan senyum merekah. Mereka semua sayang padanya, bangga padanya. Apa harus dia melakukan semua ini? Duit ini toh tidak juga membuat mereka lebih bahagia walaupun bisa digunakan untuk jalan-jalan ataupun membelikan mainan baru buat si kecil. Istrinya malah mulai bertanya-tanya waktu mendadak dia merencanakan liburan sekeluarga ke Bangkok bulan depan.

Dia tercenung. Termenung. Terdiam. Terpaku. Berpikir. Menelan ludah. Menggeleng. Hampa. Shock. Takut. Ngeri.

Dan dalam hitungan jam diamnya itu, dia tahu dia harus mempertahankan integritasnya. Ya, memang si pengirim surat kaleng membuatnya ketakutan. Benar. Tapi dia bersyukur nyalinya cukup kecil sehingga surat tadi ampuh untuk menegurnya. Sepertinya memang sudah saatnya berhenti sebelum semua terlanjur dalam. Sebelum dia meniru Rumors dengan lagu teranyar mereka, "Butiran Debu" : Terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Dia tersenyum pahit. Lagu bodoh yang seakan jadi ramalan untuknya.

Kini dalam hitungan hari, dia sadar dan tercelik, dipicu oleh rasa takut. Sungguh dia masih bersyukur. Maka detik itu dia memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar. Dia hanya 'penjahat' amatiran yang memang tidak punya hati berandalan. Dan dia ingin hidup tenang, apalagi bersama keluarganya. Dana yang diambilnya memang sudah terpakai, dan dia sungguh buntu untuk mengembalikannya lagi. Tapi yang penting dia bertobat dan tidak melakukan lagi kan? Dia berdoa semoga itu cukup. Semoga dosanya terampuni.

Surat itu tidak datang lagi berhari-hari. Danu lega. Melangkah dalam mantap, membuka lembaran baru. Sampai kemudian di sebuah hari Jumat, dia menemukan amplop yang sama lagi. Dia pucat pasi. Tulisannya hampir sama tapi lebih panjang. Dan lebih menakutkan.

"Beri aku uang atau aku adukan semua penggelapan dan uang yang tidak bisa kamu kembalikan itu."

Danu terduduk lemas. Ya Tuhan, apakah pertobatannya tidak cukup? Apakah harus ada hukuman seperti ini? Dia mengurut-ngurut kepalanya dengan panik. Tenang.. Ini hanya ancaman. Ini hanya ancaman. Aku sudah tidak melakukannya lagi. Tapi uang itu.. Uang yang sudah digelapkan dan dipakainya, yang sungguh dia yakin tidak bisa dia kembalikan. Kalaupun bisa, dia tidak tahu caranya tanpa membuat aksinya itu terdeteksi oleh perusahaan. Sistem tidak mengakomodir pengembalian dana. Dia sudah mencoba mencari. Tidak ada possibility untuk itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun