Mohon tunggu...
fanny s alam
fanny s alam Mohon Tunggu... -

Pengelola Bandung's School of Peace Indonesia (Sekolah Damai Mingguan Indonesia Bandung) dan penggiat komunitas di kota Bandung untuk kota yang ramah bagi semua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stigma, Siapa yang Salah?

8 Juli 2018   14:18 Diperbarui: 8 Juli 2018   14:29 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Serangan bom yang ditenggarai dilakukan oleh kelompok teroris di beberapa gereja dan fasilitas publik dan markas polisi di Surabaya serta beberapa kota di Indonesia beberapa waktu lalu di bulan Mei 2018 menjelang minggu puasa memang mengejutkan masyarakat. 

Teror ini juga berimbas dengan korban jiwa dan banyak yang mengalami luka-luka serius. Sementara itu, kondisi ini menyebabkan aparat semakin siaga, terutama di tempat ibadah dan fasilitas publik lainnya, seperti sekolah, taman, serta pusat perbelanjaan.

Para pelaku teror telah diungkap jati dirinya oleh aparat, yang lebih mengejutkan lagi pelaku melibatkan keluarga dengan mengenakan bom bunuh diri. Identitas agama merupakan hal yang paling sering diekspos di berita-berita, terutama karena diidentifikasi juga bahwa salah satu pelaku adalah perempuan bercadar. 

Kondisi ini semakin menguatkan asumsi negativitas bahwa teror ini sengaja dilakukan kelompok beragama tertentu untuk mencapai tujuan ideologinya sesuai dengan bentuk kepatuhan terhadap agama dan kepercayaannya. Identitas secara fisik yang terlihat dalam proses identifikasi adalah cadar, dan hal ini sama halnya menguatkan pemikiran yang kembali cenderung negatif tentang perempuan bercadar dan meluas kepada perempuan berjilbab lainnya.

Negativitas terhadap kelompok ini, terutama perempuan bercadar, bukan tidak beralasan. Cadar dapat dikenakan oleh kelompok ekstrimis sebagai bentuk pengaburan identitas,seperti banyak ditemukan di kelompok ISIS, dimana para pria menyamar membawakan bom dalam cadar yang dikenakan. 

Di satu sisi, banyak orang yang melihat mereka sebagai kelompok yang ekslusif, sulit untuk berinteraksi dengan masyarakat lainnya, bahkan menganggap mereka bagian dari kelompok agama yang fundamental mengarah ke ekstrimisme. Benarkah mereka pembawa ajaran teror? 

Benarkah mereka adalah kelompok yang cenderung melanggengkan radikalisme sehingga mereka bisa sedemikian tanpa rasa bersalah melakukan tindakan melanggar hukum dan menimbulkan korban jiwa baik terluka maupun meninggal. Seberapa lama mereka menanggung stigma dan bagaimana masyarakat secara perlahan dapat mereduksi stigma terhadap mereka.

Tentang Stigma

Stigma muncul karena pandangan orang secara dominan ke kelompok yang lebih rendah atau marginal dianggap benar dan dapat menggiring opini publik secara masif. Bahkan stigma dapat muncul karena ketidaksukaan yang bahkan dapat menggiring ke arah kebencian , yang dapat diungkapkan dalam bentuk ucapan maupun tindakan. 

Stigma dapat dimulai dari hal kecil, seperti perkataan mengejek, mengajak yang lain berbuat sama kepada objek, bahkan dalam skala besar stigma ini dilembagakan oleh negara hingga memiliki perangkat undang-undang, aturan, dan aparat relevan untuk mengatasi hal yang dianggap berbeda dan meresahkan. Kita masih ingat pemerintah Indonesia masa orde baru memberlakukan pelarangan terhadap partai komunis Indonesia atau PKI. 

Penerbitan TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 menjadi tonggak penting pelembagaan stigma terhadap PKI beserta para pendukungnya dan bahkan hal ini dijadikan pembenaran untuk menumpas siapapun yang dituduh terlibat tanpa perlu pengadilan yang objektif. Akhir-akhir ini, banyak stigma yang justru dimulai dari masyarakat sendiri melihat kelompok masyarakat marginal, seperti penderita HIV/AIDS, pelabelan penyakit sosial oleh pemerintah dan masyarakat terhadap kelompok, seperti pengemis, tuna wisma, pekerja seks komersial, bahkan kelompok agama atau kepercayaan yang dianggap tidak sejalan dengan yang sudah  ada. 

Seperti yang dikemukakan oleh para pakar medis Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, Corrigan dalam Fiorilo, Volpe, Bhugra (2016), stigma biasanya ditujukan kepada orang-orang yang berbeda dengan kondisi yang dianggap umum oleh mayoritas tertentu, khususnya yang menjadi korban kejahatan, kemiskinan, serta kelompok dengan penyakit tertentu, serta pelabelan oleh masyarakat sebagai "yang bersalah". 

Di bagian lain, stigma memiliki korelasi kuat dengan rasa malu serta kecenderungan untuk menyalahkan kelompok yang berbeda dari yang dianggap benar secara nilai mayoritas. Jelas kondisi ini, menurut Paryati et.al 2012, dipengaruhi faktor-faktor relevan, seperti pendidikan, lingkungan, sosial , budaya, ideologi, ekonomi.

Stigma dapat dikaitkan dengan relasi kuasa timpang antara kelompok yang menganggap satu hal lumrah secara mayoritas dan menekan kelompok minoritas yang dianggap tidak sepaham. Relasi kuasa ini dipengaruhi oleh konstruksi budaya yang juga berbaur dengan sistem agama serta sistem ekonomi yang berlaku dan diikuti secara mayoritas. 

Sebagai contoh, stigma terhadap perempuan. Bahwa perempuan yang dikatakan baik itu adalah yang setia dan patuh terhadap suami dan hanya tinggal di rumah mengerjakan pekerjaan domestik. Ketika ada perempuan yang menolak pembagian peran seperti itu, maka tidak hanya suami yang akan berpandangan buruk terhadapnya, tetapi juga masyarakat sekitar dan bahkan kelompok perempuan sendiri. 

Stigma terhadap penderita HIV/AIDS muncul karena masyarakat dan juga keluarga penderita menganggap penyakit ini berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya justru menyudutkan keberadaan penderitanya sendiri seakan-akan mereka tidak layak hidup dalam keluarga dan masyarakat. Banyak stigma terhadap mereka justru datang dari informasi "katanya" atau " dengar-dengar" tanpa menyelidiki atau berusaha bertanya baik-baik alih-alih malah langsung menstigma. 

Hal terbaru sudah tentu mengenai perempuan bercadar karena ada sekelompok mereka melakukan teror kepada aparat kepolisian dan teror bom. Masyarakat pasti bertanya ada apa dengan mereka dan setiap kali melihat mereka dengan pandangan curiga sekaligus mungkin secara tidak langsung menstigma keberadaan mereka dengan pandangan mereka yang dianggap radikal, konservatif, kolot hingga tukang bom.

Siapa yang Salah tentang Stigma

Pertanyaan ini sebenarnya bisa menjadi paradoks karena sejak awal pembahasan selalu berkutat dengan masyarakat kelompok mayoritas yang menstigma versus kelompok minoritas atau yang dianggap lain yang distigma, tetapi lebih jauh dari itu sebenarnya hal ini berkaitan dengan ketidakmauan masyarakat untuk mengetahui lebih dalam kelompok yang mereka stigma. 

Masyarakat yang awalnya tidak peduli tentang kelompok minoritas sekarang berubah memberi perhatian namun dalam konteks menstigma.

Mereka bisa jadi mendapatkan informasi selintas begitu saja tanpa menggali lebih dalam siapa kelompok yang mereka stigma, apa yang sedang dialaminya, mengapa mereka diperlakukan dengan distigma. Kebanyakan masyarakat menstigma karena kekhawatiran yang tidak beralasan dan tidak berlatar belakang informasi yang tepat tentang satu kelompok minoritas atau kelompok yang lain. 

Ditambah pula keinginan masyarakat untuk merasa solidaritas serta dianggap ada oleh kelompok masyarakat yang sepakat untuk menstigma kelompok minoritas serta yang lain tertentu juga merupakan kontribusi mengapa stigma tetap terpapar walau pun akses informasi telah terbuka lebar dan mudah.

Ketidaksetujuan akan satu kelompok dengan prinsipnya merupakan kewajaran karena berbeda dan ketidaksetujuan sebenarnya seharusnya disikapi dengan terbuka dan tidak selamanya kita sebagai bagian masyarakat selalu harus setuju dengan pendapat berbeda atau dengan kelompok yang ada bersama kita, akan tetapi kita harus bersepakat untuk tidak memperburuknya dengan menambahkan stigma terhadap kelompok minoritas atau yang lain serta berbeda dengan kita. 

Perbedaan yang ada dalam setiap segi hidup kita bukan harus direspon dalam bentuk kekerasan baru yang akan mengarah ke konflik yang lebih besar dan tidak akan selesai karena satu stigma yang dilabelkan terhadap mereka. 

Di satu sisi, kekuatan literasi masyarakat untuk saling melihat dan memeriksa setiap informasi mengenai satu kelompok minoritas atau yang lain perlu dilakukan karena selain untuk menambah wawasan kita juga semakin paham akan banyak hal tentang mereka dan ini ditujukan untuk mereduksi potensi stigma dan bentuk lanjutannya, seperti kekerasan fisik dan konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi. 

Kuncinya berada di kita sebagai masyarakat yang masih ingat akan sila ke dua dan ke lima Pancasila yang menekankan sisi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial yang merata.

Oleh Fanny S Alam Koordinator Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun