Tidak dapat dipungkiri bahwa keikutsertaan negara dalam meratifikasi ini terkait dengan UUD 1945 pasal 26 , yaitu hak atas kewarganegaraan, pasal 27 ayat 1, yaitu persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia dalam hukum dan pemerintahan, pasal 27 ayat 2, yaitu hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan layak bagi kemanusiaan.Â
Negara pada akhirnya perlu menyadari bahwa ketimpangan dalam setiap perlakuan yang mengarahkan kepada stigma, diskriminasi, serta pelanggaran HAM secara umum tidak memberikan fondasi baik , terutama bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya dalam jangka panjang.Â
Oleh karena itu, ditekankan sekali lagi dalam UU nomor 12 tahun 2005 dalam pasal 9 bahwa setiap orang berhak akan kebebasan dan keamanan pribadi serta pasal 26 bahwa semua orang berkedudukan sama di mata hukum dan perlindungan tanpa diskriminasi apa pun terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain. Secara umum, negara menjamin setiap warga negara bahkan tanpa melihat status orientasi seksual dalam hak dan kewajibannya.
Dasar penandatanganan konvenan internasional ICCPR yang pada akhirnya diratifikasi menjadi UU nomor 12 tahun 2005 oleh negara kita berasal dari definisi HAM itu sendiri yang dilansir ohchr.org yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada semua manusia apapun kewarganegaraannya, tempat tinggal, jenis kelamin, Â bangsanya, sukunya, warna kulitnya, bahasanya, dan apapun status-status atas hak-hak asasi kita tanpa diskriminasi.
Sedangkan, secara spesifik mengenai LGBT, negara menggarisbawahi ketentuannya dalam kitab undang-undang hukum pidana pasal 292 yang melarang tindakan homoseksual yang dilakukan terhadap anak-anak di bawah umur. Tentunya aturan ini tidak mengatur dengan tegas mengenai tindakan homoseksual yang dilakukan sesama orang dewasa.
Ketidakjelasan negara dalam bertindak menghadapi masalah-masalah yang melibatkan kelompok LGBT menjadi sangat kontras ketika mengetahui bahwa negara telah menandatangani konvenan internasional hingga meratifikasi menjadi bagian perundangan negara, namun di satu sisi peraturan hukum belum mengakomodir secara jelas keberadaan posisi kelompok LGBT secara adil dan setara, terutama jika melihat kasus-kasus diskriminatif terhadap mereka, belum lagi tindakan kriminalisasi.Â
Berhubungan dengan hal ini pula, maka dilaksanakan pertemuan komisi ahli hukum internasional dalam forum International Service for Human Rights di Universitas Gadjah Mada di Yogjakarta tanggal 6-9 November 2006 , menghasilkan 29 prinsip yang diterapkan untuk standar hukum hak asasi manusia internasional untuk mengatasi pelecehan terhadap LGBT dan inter seks terangkum dalam Prinsip Yogyakarta atau dikenal dengan Yogyakarta Principles.Â
Menekankan pentingnya hak-hak bagi kelompok LGBT dan inter seks, Prinsip Yogyakarta mengelaborasi hak-hak yang pada dasarnya mencegah kriminalisasi dan diskriminasi terhadap kelompok tersebut. Hak-hak tersebut terangkum dalam PrinsipÂ
1 : hak penikmatan HAM secara universal, PrinsipÂ
2 : hak atas kesetaraan dan non diskriminasi, PrinsipÂ
3 : hak atas pengakuan di mata hukum, Prinsip