Fanny S. Alam
Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung
Terdapat lembaga pendidikan tinggi milik pemerintah di Padang dan Bandung pada tahun 2016 dan 2017 tercatat pernah menerbitkan surat pernyataan bagi mahasiswa baru yang menyatakan mahasiswa harus tidak terlibat atau bukan bagian kelompok LGBT. Lalu sorotan terhadap bagaimana aparat hukum memperlakukan para tersangka yang terlibat kegiatan pesta sesama jenis di Surabaya dan kelapa gading, Jakarta menjadi perhatian masyarakat dengan intensitas tinggi.Â
Atensi terhadap contoh dua kejadian tersebut di atas kembali mempertanyakan komitmen pemerintah dalam isu hak asasi manusia di negara ini. Negara, melalui pemerintah, seharusnya menjamin kelangsungan hidup warga negaranya tanpa melihat latar belakang agama, ras, suku,etnis, jenjang pendapatan, hingga status orientasi seksual, akan tetapi negara selalu berada posisi "abu-abu" jika berhubungan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu orientasi seksual. Ketidaktegasan negara dalam hal ini menimbulkan bias perlakuan, tidak hanya dari masyarakat tetapi juga aparat hukum serta lainnya dalam bersikap terhadap kelompok LGBT.
Kontroversi yang dianggap paling telak terhadap negara ini dalam menyikapi kelompok LGBT adalah ketika Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat menyurati Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia bahwa posisi perhimpunan ini yang mengkategorikan LGBT sebagai masalah kejiwaan mengarahkan kelompok ini rentan mendapat pelabelan yang salah dan telah dibantah sejumlah bukti-bukti ilmiah (BBC.com , 17 Maret 2016).
 Namun, tetap hal ini belum dapat mengubah pandangan negara serta masyarakat luas mengenai kelompok LGBT. Stigma negatif yang sangat kuat terhadap mereka serta perilaku diskriminatif masih terjadi hingga sekarang. Sayangnya juga negara terkesan abai merespon apa yang terjadi terhadap kelompok ini, padahal secara resmi mereka juga warga negara Indonesia.
Apapun informasi yang seharusnya dapat memberikan perhatian dan perlindungan terhadap kelompok LGBT di negara ini masih berada dalam tahapan panjang karena sejak awal negara kita hanya mengakui dua jenis kelamin yang sah, yaitu laki dan perempuan tanpa pengakuan identitas gender lainnya.
 Hal ini bisa menjadi dasar mengapa negara berada pada posisi sulit untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan LGBT, sehingga ketika terjadi tindakan diskriminatif bahkan hingga kriminalisasi terhadap mereka, hal ini terkesan dianggap lumrah. Selain itu, nilai agama yang berkembang dan diambil secara dominan diaplikasikan dalam penyelesaian masalah yang berkaitan dengan LGBT sehingga keputusan hukum mengenai mereka akan selalu menyudutkan tanpa memperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara dalam hukum positif negara.
Instrumen HAM di Indonesia Tentang LGBT
Perilaku seksual kelompok LGBT bukan hal yang ingin diketengahkan di sini serta pembenarannya dalam hukum, Â namun lebih menyoroti bagaimana negara melalui pemerintah pusat hingga level bawah dapat lebih bertindak lebih bijaksana dalam menghadapi kasus-kasus yang berhubungan dengan LGBT serta mengembalikan posisi mereka sebagai warga negara Indonesia yang tetap memiliki hak dan kewajiban layaknya yang berorientasi seksual hetero. Perilaku adil dan setara dalam hal yang menyangkut hak warga negara dalam semua sisi inilah yang seharusnya dijamin negara bagi mereka sehingga tindakan-tindakan yang mengarah kepada stigma serta diskriminasi bisa perlahan dieliminasi.
Negara kita sebenarnya telah menandatangani konvenan internasional yang berhubungan dengan hak sipil dan politik masyarakat, yaitu International Convenant on Civil and Political Rights yang kedudukannya telah diratifikasi dalam UU nomor 12 tahun 2005.Â
Tidak dapat dipungkiri bahwa keikutsertaan negara dalam meratifikasi ini terkait dengan UUD 1945 pasal 26 , yaitu hak atas kewarganegaraan, pasal 27 ayat 1, yaitu persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia dalam hukum dan pemerintahan, pasal 27 ayat 2, yaitu hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan layak bagi kemanusiaan.Â
Negara pada akhirnya perlu menyadari bahwa ketimpangan dalam setiap perlakuan yang mengarahkan kepada stigma, diskriminasi, serta pelanggaran HAM secara umum tidak memberikan fondasi baik , terutama bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial, budaya dalam jangka panjang.Â
Oleh karena itu, ditekankan sekali lagi dalam UU nomor 12 tahun 2005 dalam pasal 9 bahwa setiap orang berhak akan kebebasan dan keamanan pribadi serta pasal 26 bahwa semua orang berkedudukan sama di mata hukum dan perlindungan tanpa diskriminasi apa pun terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, pendapat lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain. Secara umum, negara menjamin setiap warga negara bahkan tanpa melihat status orientasi seksual dalam hak dan kewajibannya.
Dasar penandatanganan konvenan internasional ICCPR yang pada akhirnya diratifikasi menjadi UU nomor 12 tahun 2005 oleh negara kita berasal dari definisi HAM itu sendiri yang dilansir ohchr.org yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada semua manusia apapun kewarganegaraannya, tempat tinggal, jenis kelamin, Â bangsanya, sukunya, warna kulitnya, bahasanya, dan apapun status-status atas hak-hak asasi kita tanpa diskriminasi.
Sedangkan, secara spesifik mengenai LGBT, negara menggarisbawahi ketentuannya dalam kitab undang-undang hukum pidana pasal 292 yang melarang tindakan homoseksual yang dilakukan terhadap anak-anak di bawah umur. Tentunya aturan ini tidak mengatur dengan tegas mengenai tindakan homoseksual yang dilakukan sesama orang dewasa.
Ketidakjelasan negara dalam bertindak menghadapi masalah-masalah yang melibatkan kelompok LGBT menjadi sangat kontras ketika mengetahui bahwa negara telah menandatangani konvenan internasional hingga meratifikasi menjadi bagian perundangan negara, namun di satu sisi peraturan hukum belum mengakomodir secara jelas keberadaan posisi kelompok LGBT secara adil dan setara, terutama jika melihat kasus-kasus diskriminatif terhadap mereka, belum lagi tindakan kriminalisasi.Â
Berhubungan dengan hal ini pula, maka dilaksanakan pertemuan komisi ahli hukum internasional dalam forum International Service for Human Rights di Universitas Gadjah Mada di Yogjakarta tanggal 6-9 November 2006 , menghasilkan 29 prinsip yang diterapkan untuk standar hukum hak asasi manusia internasional untuk mengatasi pelecehan terhadap LGBT dan inter seks terangkum dalam Prinsip Yogyakarta atau dikenal dengan Yogyakarta Principles.Â
Menekankan pentingnya hak-hak bagi kelompok LGBT dan inter seks, Prinsip Yogyakarta mengelaborasi hak-hak yang pada dasarnya mencegah kriminalisasi dan diskriminasi terhadap kelompok tersebut. Hak-hak tersebut terangkum dalam PrinsipÂ
1 : hak penikmatan HAM secara universal, PrinsipÂ
2 : hak atas kesetaraan dan non diskriminasi, PrinsipÂ
3 : hak atas pengakuan di mata hukum, Prinsip
4 : hak atas keamanan seseorang, Prinsip
5 : hak akan privasi, Prinsip
6: hak atas kebebasan dan kesewenang-wenangan terhadap perampasan kebebasan, PrinsipÂ
7 : hak atas pengadilan yang adil, serta PrinsipÂ
8: hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi dalam tahanan. (Kabar LGBT.org , 21 Februari 2016)
Refleksi
Adanya berbagai perangkat peraturan dan perundangan tentang HAM dan LGBT yang telah disebutkan seharusnya menjadi acuan bagi negara untuk bersikap menghadapi kejadian atau banyak tindak kriminalisasi dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT, akan tetapi mungkin sudah biasa terjadi di negara ini ketika aturan dan ratifikasi undang-undang telah dibukukan maka sosialisasi dan implementasi terhadap peraturan perundang-undangan di bawahnya bagi daerah tidak terjadi atau mungkin tersendat sehingga selalu terjadi pertentangan untuk mengambil keputusan bersifat hukum positif.Â
Khususnya untuk LGBT, selain negara belum mengakui identitas gender selain laki dan perempuan, nilai agama dan budaya akhirnya berperan dalam pengambilan keputusan hukum ketika menghadapi kasus-kasus yang berhubungan dengan LGBT.Â
Dampaknya bukan hanya terjadi ketika keputusan dibuat, namun lebih jauh lagi hal ini menegaskan betapa wajarnya tindak kriminalisasi dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT terjadi dan dianggap biasa oleh masyarakat dan negara melalui pemerintah dan aparatnya, sehingga ketika terdapat kasus dimana lembaga pendidikan tinggi melarang calon mahasiswa yang berasal dari kelompok LGBT diterima menjadi mahasiswanya, hal ini tetap dianggap lumrah oleh masyarakat dan dianggap sebagai pelajaran bagi siapa pun yang orientasi seksual nya berbeda untuk mengikuti apa yang sudah digariskan tanpa melihat bahwa mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara Indonesia lainnya dalam segi kehidupan.Â
Semua perangkat dan konvenan yang sudah diratifikasi oleh negara sekali lagi bukan berfokus kepada legalisasi perilaku seksual orientasi seksual yang berbeda, akan tetapi menekankan pentingnya perspektif HAM dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan kelompok LGBT serta secara umum menghargai hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara Indonesia demi persamaan kedudukan serta perlakuan yang tidak diskriminatif dan tidak adil bagi mereka dan itu semua sudah seharusnya dijamin oleh negara melalui pemerintah dan aparatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H