Oleh Fanny S Alam
Koordinator Regional Bhinneka Nusantara Foundation Bandung
Jika kita memperhatikan terminologi kekerasan, maka tak pelak yang muncul dalam pikiran banyak orang adalah hal-hal yang bersifat destruktif, melumpuhkan, mencederai, serta banyak negativitas lainnya. Sejarah pun memperlihatkan bahwa kekerasan yang diambil sebagai jalan untuk mencapai hal tertentu, seperti perpanjangan kekuasaan hingga upaya untuk mempertahankan diri , terjadi di banyak belahan dunia.Â
Termasuk di Indonesia, yang bahkan dalam upaya mencapai kemerdekaan pun harus melalui tahapan kekerasan yang diwujudkan dalam perang.
Tentunya menjadi kontroversi ketika kita melibatkan kekerasan dalam upaya mencapai perdamaian. Bagaimana bisa? Bagaimana hal yang selalu diidentikkan dengan upaya merusak serta membawa dampak negatif yang bisa berkepanjangan dapat disebut merupakan salah satu upaya mencapai kesepakatan atau damai? Merujuk kepada hasil riset Johan Galtung (1969) yang mendefinisikan kekerasan lebih kepada usaha penghambatan kepada seseorang atau kelompok luas untuk merealisasikan potensi diri dan kelompoknya.Â
Berangkat dari hal tersebut, maka kekerasan bisa diterjemahkan tidak hanya secara sifat fisik, namun juga kekerasan struktural yang justru ada dalam tatanan sosial masyarakat, contohnya seperti upaya relokasi masyarakat di satu lokasi tertentu ketika ditemui bahwa mereka mungkin tidak sepakat dipindahkan. Atau, aturan khusus yang menyatakan pelarangan ibadah kelompok tertentu. Walaupun memang aturan-aturan tersebut bertujuan untuk menertibkan dalam kaca mata pemerintah, bagi masyarakat yang bersangkutan hal tersebut dapat merupakan bentuk kekerasan.
Melihat ke bagian dasar mengapa kekerasan dapat timbul justru bukan hanya karena upaya penjajahan, aneksasi melalui perang, namun juga karena mencari upaya untuk menyelaraskan ketidakseimbangan yang dialami masyarakat. Ketidakseimbangan yang dimaksud adalah ketika masyarakat berhadapan dengan penghalangan akan hak-hak dasar mereka sebagai bagian dari kehidupan mereka yang idealnya dapat dicukupi oleh merek (Staub, Ervin, 2003) akan tetapi tahapan pemenuhan yang seharusnya diakomodasi oleh pemerintah terhambat, sementara itu upaya pencapaiannya mendapatkan kesulitan justru dari agen-agen pemerintah itu sendiri.Â
Kekerasan pada akhirnya diambil sebagai langkah untuk menegaskan bahwa terjadi bentuk pembiaran penghalangan upaya pencapaian kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat tersebut.
Ketika muncul bentuk-bentuk kekerasan seperti itu, maka akan ada upaya-upaya untuk membatasi atau alternatif untuk memberikan keseimbangan sehingga akhirnya terjadi proses "win win solution" bagi kedua belah pihak. Social justice atau keadilan sosial menjadi hal yang kritis atau penting untuk diperjuangkan agar masyarakat mendapat rasa keadilan serta keamanan.Â
Kekerasan struktural yang bentuknya fleksibel bahkan bisa berubah wujud menjadi kekerasan yang merepresi secara fisik. Kita bisa memperlihatkan upaya-upaya yang bisa dilakukan secara keras atau secara "sunyi" tanpa perlu memperlihatkan kekerasan fisik kembali untuk mencapai kompromi damai. Secara struktural, pemerintah perlu menangani isu kekerasan ini dengan memperhatikan analisa konflik yang mengarahkan ke arah pembangunan yang berkelanjutan serta melibatkan partisipasi masyarakat.Â
Analisa ini penting dilakukan untuk memetakan kondisi masyarakat dalam keadaan yang sebenarnya bukan hanya mengambil sampel dan menggeneralisir keadaan yang ada. Kompleksitas pasti akan terjadi karena tidak mudah memetakan kondisi masyarakat yang sebenarnya ditambah perspektif para agen agen pemerintahan belum sampai atau bahkan kurang peduli melakukan analisa hingga detail.
Perdamaian adalah proses yang selalu berevolusi, tentunya mengikuti tren serta akan banyak pelibatan adaptasi dari kondisi politik, sosio, ekonomi, dan budaya dimana masyarakat tinggal. Evolusi perkembangan tahapan perdamaian dari satu tempat belum tentu bisa cocok ketika diaplikasikan ke satu lokasi dengan perbedaan latar belakang konteks masyarakat yang bersangkutan. Karena hal itulah analisa konflik akan bisa berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Local wisdom atau kearifan lokal menjadi satu tahapan kritis dalam memahami kebutuhan masyarakat lokal yang bersangkutan.
Damai itu mungkin bagi sebagian kalangan adalah utopia. Sebuah kata yang nyaris terlalu indah karena semua tatanan kehidupan berjalan dengan apa yang diharapkan. Realita tidak mengatakan demikian karena akan selalu ada bentuk-bentuk ketidaksepakatan akan hal yang berjalan. Dalam narasi Galtung (1969) masih terdapat beberapa kekosongan menjembatani kekerasan sebagai upaya untuk mencapai kedamaian, seperti bagaimana hubungannya dengan masalah kesetaraan bagi masyarakat secara politik, ekonomi, sosial budaya? Apakah ada upaya pembiaran dari kelompok politik berkuasa untuk hal tersebut sehingga pada akhirnya kita sampai pada akhir pertanyaan yang nyata: apakah justru kita berperan dalam mentoleransi bentuk-bentuk kekerasan sehingga hal-hal tersebut dianggap wajar walau pun banyak terjadi bentuk pelanggaran di dalamnya.Â
Kita harus menyadari bahwa memang kekerasan suka atau tidak merupakan hal yang sebenarnya adalah bagian dari hidup kita. Akan tetapi, usaha untuk mereduksi kekerasan dalam berbagai macam bentuk bukan hal yang utopia atau naif untuk dicapai karena selayaknya kita semua perlu mencapai tahapan tersebut agar kita sebagai masyarakat dapat berkembang dengan layak dan sebagai bagian dari negara, maka tahapan reduksi kekerasan harus terus diupayakan oleh pemerintah untuk menjamin keamanan dan keseimbangan hidup masyarakat dan negara dalam konteks pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H