Idealnya demikian, akan tetapi korupsi seakan-akan telah menjadi bagian kehidupan yang melekat dalam sisi pemerintahan Indonesia. Transparansi Internasional pernah merilis peringkat indeks korupsi terhadap 176 negara 2017 ini, menempatkan Indonesia di peringkat 90 dengan skor 37. Skor ini mengalami peningkatan namun penurunan dalam peringkat.Â
Kenaikan skor ini menurut Koordinator Divisi Politik ICW, Donald Fariz, disebabkan belum signifikan dampak sebagai bagian kerja dari presiden RI sekarang dalam percepatan menekan banyak praktek yang disinyalir korupsi dalam berbagai sektor. Birokrasi kembali menjadi hal yang paling disorot, terutama dalam masalah perizinan dan pengurusan dokumen keperluan masyarakat pribadi.Â
Mungkin masih teringat juga kasus pengadaan e-KTP ketika masyarakat telah memenuhi kewajibannya untuk pengisian data dan formulir namun hingga sekarang masyarakat masih terkendala untuk mendapatkan hak mereka dalam dokumen kependudukan. Dengan berbagai alasan dikemukakan blanko masih kosong atau kekosongan cetak KTP itu sendiri. Masalah klasik yang dapat diselesaikan jika masyarakat bisa membayar lebih.
Semangat anti korupsi yang ada pada hari anti korupsi di Indonesia sudah ada dalam pembentukan perundangan hingga aparat pemerintah dalam satuan tugas anti korupsi, seperti KPK, namun semua kelengkapan tersebut seakan-akan menguap ketika masyarakat masih mengalami kendala dalam mengakses pelayanan publik yang memiliki tendensi tinggi akan munculnya korupsi, yang pada akhirnya merugikan masyarakat sendiri. Terlebih lagi hal ini juga melanggar hak asasi manusia bagi masyarakat karena mereka diperlakukan tidak adil dan semestinya oleh aparat pelaksana pelayanan publik.
Refleksi
Konteks HAM di Indonesia harus diperluas, tidak hanya berkonsentrasi kepada hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kebebasan dan hak hidup, tetapi bagaimana pemenuhan hak masyarakat akan pelayanan publik berstandar baik, dimana pelayanan publik masih rentan mengalami tindak korupsi yang justru diinisiasi oleh aparat pemerintah.Â
Aturan perundang-undangan serta mengenai satuan kerja aparat anti korupsi sudah diluncurkan, tetapi budaya korupsi, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak masyarakat dalam mengakses layanan publik dalam waktu cepat, tanpa biaya atau jika ada biaya maka transparansi diperlukan untuk melihat alur penggunaan biaya tersebut, masih jauh dari harapan.Â
Korupsi yang terjadi di negara kita bukan hanya yang bersifat penggelapan dan penyimpangan uang dalam jumlah besar oleh para pejabat, tetapi juga pengutipan sejumlah uang dengan dalih memperlancar urusan pelayanan publik, dan ini dialami masyarakat serta belum mendapatkan perhatian serius. Masalah mental dan lingkungan penyebab korupsi yang sudah mengakar sejak dulu sebenarnya bisa didobrak bermulai dari ketaatan para aparat serta kembali mengingatkan peraturan perundangan yang sudah berlaku.Â
Keinginan kuat para pemimpin untuk mengeliminasi praktek korupsi di level lembaga-lembaga pemerintah penyedia jasa pelayanan publik diharapkan menjadi kendali penuh dan panutan bagi para bawahannya. Hal ini ditambah perlunya inisiatif perspektif HAM bagi para aparat pelaksana pelayanan publik sehingga masyarakat dapat mengakomodasi keperluannya tanpa perlu merasa khawatir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H