Mohon tunggu...
Famanti Naz
Famanti Naz Mohon Tunggu... Freelancer - 45 yo woman with a kid

I'm female..fearless..funny (my name). Saya cuman perempuan yang senang sekali memperhatikan hal-hal kecil, remeh TAPI berpotensi besar dan tidak terkira jika kita sedikit peduli. Penyakit alergi politik saya semakin menjadi ketika bapak saya bilang: ..."Mau temenan sama si politik?? siap-siap aja nge-bau-in neraka..." Semoga kompasiana tidak bosan menjadi teman terbaik saya, menjadi 'tempat sampah' isi kepala yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan konyol... :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mbok Jamu Identitasmu Dulu....

10 Oktober 2010   03:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:34 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ide tulisan ini muncul begitu saja di suatu malam ketika saya mengeloni putri semata wayang saya dengan cerita-cerita masa kecil. Saya bercerita tentang cita-cita semasa kecil yang sering berubah-ubah, mulai dari dokter, arsitek, psikolog, diplomat, pelukis, dan tukang jamu!!!!!.... Saya lupa alasan saya memilih profesi tukang jamu sebagai cita-cita, namun saya ingat sekali, dulu saya memiliki seperangkat mainan dadakan berupa 'peralatan perang' mbok jamu : mulai selendang kain penggendong bakul, kaleng Khong Guan bulat tanpa tutup yang saya anggap pengganti bakul, aneka botol bekas kosmetik dan obat yang saya isi dengan air sebagai botol dan jamunya, embel kecil dan gelas mainan plastik, serta sejumput kain panjang sebagai jariknya mbok jamu. Dan untuk menyelami peran mbok jamu tersebut saya tidak pernah lupa mencepol rambut saya yang kebetulan sudah panjang sedari kecil, dditambah beberapa patah bahasa jawa yang saya pelajari dari nenek saya yang memang lahir di kota tukang jamu. Berteriak: "Jamu..jamu.. Jamunya mbaaaaaaakkk???.." Aneka tetek bengek yang saya tuliskan di atas sudah tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa identitas tukang jamu di mata saya (entah di mata umum) adalah : wanita, etnis jawa, gelungan di kepala, pakaian yang terdiri : kebaya dan jarik, selendang dan bakul jamu, aneka jamu yang dikemas dalam botol kaca, serta ember sebagai pengganti sink darurat. Identitas ini sudah tertanam di benak saya berpuluh-puluh tahun, yang kemudian saya sadari bahwa tukang jamu saat ini sudah mengalami banyak perubahan identitas, branding baru yang agak kagok di mata saya.  Jika beberapa tahun yang lalu saya melihat para mbok jamu yang sudah tidak berkebaya dan bercepol digantikan dengan blus biasa dan kunciran ekor kuda, maka saat ini saya menyadari bahwa selain tidak berkebaya dan bercepol, mereka sudah tidak memakai jarik yang menghasilkan langkah-langkah khas ketika berjalan, tidak menggunakan selendang dan bakul untuk mengangkut seluruh jamu yang dibawa, yang kemudian digantikan oleh sepeda dengan boncengan yang didesain khusus agar si botol dan ember dapat tertampung dengan manis.  Awalnya saya pikir perubahan ini hanya perubahan fisik saja, ternyata tidak!!! setelah saya perhatikan lebih lama pelayanan mereka pun berubah, jika dahulu hanya etnis jawa saja yang memonopoli profesi ini, sekarang saya sudah menemukan etnis lain menggeluti profesi ini. Kualitas dan varian jamu pun berubah, dulu setiap jenis ramuan jamu akan dikemas terpisah satu per satu dalam botol (e.g. kunyit, beras kencur, jahe, dll) yang baru dicampur dengan takaran tertentu disesuaikan dengan kondisi dan permintaan pelanggan. Saat ini mereka sudah membuat ramuan instant sesuai dengan permintaan pasar: ramuan masuk angin, pegal-pegal, khusus wanita, dll, hasilnya komunikasi yang tercipta saat ini pun sudah tidak seakrab dahulu, karena sudah timbal balik pertanyaan untuk mendiagnosa keluhan pelanggan yang digunakan sebagai dasar pembuatan ramuan jamu. Di satu sisi ini adalah dampak dari tuntutan masyarakat dan jaman, yang menginginkan kecepatan dalam pelayanan serta harga jual yang masuk akal, mempengaruhi mereka untuk merubah konsep pelayanannya lebih efisien dari segi waktu, tenaga, biaya. Harga harnet (konde) adalah biaya, langkah kaki yang terbuang adalah waktu, aneka jamu yang digendong dan percakapan melelahkan adalah tenaga. Jadi siapa bilang pengusaha besar saja yang melakukan revitalisasi, mereka pun melakukakannya, mengubah brand yang sudah melekat dengan identitas lain. Sehingga 10 tahun ke depan, anak kita tidak akan menggambarkan mbok jamu adalah : "wanita, etnis jawa, gelungan di kepala, kebaya dan jarik, selendang dan bakul jamu, aneka jamu yang dikemas dalam botol kaca, serta ember sebagai pengganti sink darurat"..... Mbok jamu oh mbok jamu.... 10 tahun lagi tidak ada anak yang menyanyikan lagu : Mbok jamu...Mbok jamu..lengang luwes dan kemayu.... Mbok jamu..mbok jamu.. ada apa di bakulmu??...... Gambar diambil dari : danangharrywibowo.blogspot.com/2...amu.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun