Mohon tunggu...
Famanti Naz
Famanti Naz Mohon Tunggu... Freelancer - 45 yo woman with a kid

I'm female..fearless..funny (my name). Saya cuman perempuan yang senang sekali memperhatikan hal-hal kecil, remeh TAPI berpotensi besar dan tidak terkira jika kita sedikit peduli. Penyakit alergi politik saya semakin menjadi ketika bapak saya bilang: ..."Mau temenan sama si politik?? siap-siap aja nge-bau-in neraka..." Semoga kompasiana tidak bosan menjadi teman terbaik saya, menjadi 'tempat sampah' isi kepala yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan konyol... :)

Selanjutnya

Tutup

Money

Good Organization = Good People

17 September 2010   10:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya baca kalimat ini satu pojok publik di kantor lama saya. Tulisan tersebut di buat dalam ukuran besar dengan font tebal dan berwarna terang. Setiap hari saya lewati tulisan itu, saya baca, tapi tidak pernah saya pikirkan dibaliknya.

Waktu berlalu dengan cepat, dan saya juga sudah melompat ke 2 perusahaan setelah kantor saya di awal cerita. Baru sekarang saya menyadari makna dari kalimat tersebut

Good Organization = Good people!!!!

Ternyata di balik komunitas, atau perusahaan, atau lembaga besar yang kuat dan terpercaya dibangun oleh orang-orang terpercaya, orang-orang yang memiliki skill yang mumpuni dan integritas yang tidak terbantahkan. Orang-orang terpilih.

Mengapa saya bisa menyimpulkan seperti itu? Karena saya mengalaminya sendiri, setelah total menetap di 4 perusahaan berbeda selama hampir 10 tahun, saya sudah bisa mengklasifikasikan grade perusahaan berdasarkan orang-orang di dalamnya. Kebetulan di 2 perusahaan pertama saya bekerja di perusahaan asing yang memiliki struktur organisasi dan deksripsi kerja yang jelas, sistem kerja antar divisi yang rapih terencana, pemilihan sumber daya manusia cukup kompetitif, dan terakhir dukungan fasilitas kerja yang baik. Selama bekerja, jarang sekali saya memiliki konflik antar pegawai atau divisi dalam menjalankan tugas, jika ada pun mudah diselesaikan dan tidak berlarut-larut menjadi masalah besar karena kami sudah mengantongi petunjuk kerja yang sudah dibakukan melalui aturan-aturan dan format pelaporan.

Pengembangan pekerjaan pun mudah dilakukan yang berimbas juga pada bertambahnya pengalaman kerja, network, dan ilmu yang tidak saya dapat dari bangku perkuliahan. Namun sayangnya, kenikmatan kerja itu harus berhenti karena saya harus pindah kota mengikuti saran suami (kantor pertama), dan alasan bahwa saya butuh waktu lebih untuk anak saya (kantor ke-2).

Setelah pindah ke kota yang lebih kecil tempat kelahiran, saya berlabuh di sebuah perusahaan keluarga berskala Nasional, yang kemudian saya tinggalkan 11 bulan kemudian, padahal saya diberikan posisi bagus dengan gaji yang menggiurkan. Keputusan mundur saya pilih karena saya letih berkonflik dengan teman sejawat untuk hal-hal sepele yang semestinya terjadi di perusahaan besar (planning yang buruk dan dokumentasi yang berantakan, kebijakan yang mencla-mencle). Saya gemas dengan performance kerja di lingkungan saya, lambat, tidak memiliki insiatif, tidak bertanggung jawab, dan tidak memiliki rasa kebersamaan dalam tim. Padahal di sisi lain, Dept yang saya bawahi adalah bagian yang berhubungan dan mendukung langsung para frontliner dan media massa. Rasanya tiap hari saya harus perang urat syaraf dan siasat-menyiasati pekerjaan, padahal di sisi lain saya bukan pemarah. Habis energi saya untuk hal-hal non teknis dibandingkan bekerja. Kadang saya mengutuk : ”Waduh perusahaan besar kok sistemnya gak jauh sama home industri sih, semua nya berantakan dan kotor, persis seperti ruangan-ruangan dalam kantornya”.

Tak perlu menunggu lama, akhirnya setelah saya mengundurkan diri di perusahaan ke-3 saya, saya nemplok di perusahaan keluarga lokal. Ketika menjalani psikotest dan interview, secara fisik perusahaan ini jauh lebih baik dari perusahaan sebelumnya, kantornya rapih dan bersih, tampilan para karyawan dan karyawati nya pun lebih jali (maklum sebelumnya saya kerja di manufaktur dan saat ini ini di ritel) Saya lebih tertarik untuk join setelah salah seorang teman saya mereferensikan perusahaan tersebut.

Akhirnya, saya putuskan untuk menjadi karyawan... tapi apa yang terjadi, ternyata tidak perlu waktu yang lama untuk menyadari bahwa kondisi perusahaan yang menjadi tumpuan hidup saya ini tidak lebih baik (bahkan lebih buruk) dari perusahaan sebelumnya.

Saya menyadari makna bahwa untuk membangun suatu perusahaan memang diperlukan modal (uang & teknologi) yang besar, namun bila tidak dibarengi SDM yang cukup dan baik, akhirnya akan investasi yang ditanamkan tidak akan berarti dan tidak menghasilkan apa apa kecuali konflik dan masalah yang tertunda.

Setelah melakukan sedikit investigasi, akhirnya saya simpulkan bahwa perusahaan saya saat ini tidak mau menginvestasi karyawan berpendidikan dan pengalaman yang cukup untuk di level staff dengan alasan klise ”tidak ada bugdet”, dan untuk level supervisor pun direkrut dari fresh graduate mulai D1 sampai S1 (jarang), dan di level manajerial mereka baru berani dengan ”PD” menggaji orang yang berpendidikan cukup, namun sayangnya sedikit sekali yang berpengalaman dan bermental pemimpin padahal dengan kompetisi mini ritel saat serta rencana perusahaan internal untuk melakukan ekspansi besar-besaran hingga di beberapa negara Asia tenggara diperlukan orang-orang besar dalam tanda kutip.

Akhirnya adu konflik pun tak terelakan lagi, tak tanggung-tanggung, saya selalu berargumentasi (berat) dengan atasan langsung dengan membantah semua program ”CM” - cari muka, atau program Sangkuriang dengan perencanaan berdasarkan estimasi belaka. Semakin hari, saya semakin tahu ”siapa” atasan dan rekan-rekan kerja saya, mereka sebatas bekerja untuk hidup, tidak bekerja dengan ”passion” karena kebijakan perusahaan mengungkung mereka untuk menjadi zombi orang-orang kuat dan memiliki kepentingan pribadi. Permasalahan saya dan atasan saya semakin runcing, tanpa menunggu untuk meledak akhirnya saya putuskan untuk mundur 6 bulan kemudian sebelum tertulari virus zombi yang berakibat pada mental saya di kemudian hari.

Di akhir masa pengunduran diri saya, selentingan saya mendapat kabar, bahwa saya dituduh memiliki keinginan untuk mengakuisisi posisi atasan saya. Masya Allah, saya pikir atasan saya hanya memiliki sifat kekanak-kanakan dan minus leadership saja, ternyata beliau juga orang picik. Tapi saya sudah tidak ambil pusing, toh bukan tanggung jawab saya.

Sekali lagi, sungguh sayang perusahaan berpotensi besar tidak dibekali dengan kepala-kepala berisi dan memiliki nafsu untuk maju, berfikir ”out of the Box” melakukan terobosan-terobosan inovatif yang akhirnya memberikan nilai beda di pasar. Jika sholat adalah tiang agama, maka manusia berkualitas adalah tiang lembaga yang kuat.

Semoga, besok, lusa, atau nanti, saya bisa kembali bergabung di perusahaan besar untuk berkumpul (kembali) dengan orang-orang terpilih, bekerja, mengembangkan, membangun visi dan misi perusahaan dengan mata-mata terbelalak, nafas-nafas yang tercekat karena tidak bisa menahan semangat kerja yang membuncah di dada.

Sekali lagi.... GOOD ORGANIZATION = GOOD PEOPLE.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun